Jakarta, Lontar.id – Media sosial riuh. Sebab hujan sebentar saja, beberapa titik di Jakarta sudah terendam banjir. Setiap hari, kita menghabiskan waktu untuk memaki siapa saja yang tidak becus ngurus Jakarta dan Indonesia.
Saya senang mendengar kalimat-kalimat yang menenangkan dari guru-guru agama di majelis ilmu dan di youtube-youtube. Katanya, ketika pemimpin bersalah, doakan. Berikan ia masukan tanpa harus mencaci.
Meski banyak sekali sengkarut soal bagaimana seharusnya bernegara dengan baik, tetapi itu adalah salah satu petuah yang bisa menyalurkan efek positif di belantara media sosial.
Pagi tadi, Sabtu 27 April 2019, seorang kawan memotret Kali Ciliwung yang meluap. Sabtu pagi seharusnya diisi dengan aktivitas leyeh-leyeh yang menyenangkan di kasur. Habis makan pagi, maka tidur lagi. Begitu.
Tetapi tidak, ia mengambil inisiatif untuk memotret salah satu kali yang paling terkenal di Jakarta. Rumah-rumah di bantaran kali juga tak luput ia foto. Dari hasilnya, saya rasa, tampaknya siapa pun pemimpinnya, Jakarta akan tetap kebanjiran. Lalu buat apa memaki atau julid atau nyinyir atau dengki melulu?
Bicara soal teknis memang banyak hal yang bisa dilakukan. Semisal, mengeruk lumpur kali atau banyak lagi ide-ide besar yang akan dilakukan–dan telah–oleh tuan-tuan besar di Jakarta. Tetapi itu tidak akan pernah cukup, karena energi membangun diri lebih kecil dari baku hujat dan main salah-salahan.
Alasannya sederhana. Beberapa hari yang lalu, Petugas UPK Badan Air Dinas Lingkungan Hidup mengangkat sampah bambu di pintu Air Manggarai, Jakarta, Rabu (24/4).
Tumpukan sampah sudah tidak wajar. Seakan-akan kampanye untuk membuang sampah pada tempatnya yang dipupuk dari kecil, dari SD, tidak pernah melekat di sanubari kita. Mengerikan. GTampang ingat kesalahan orang, tetapi cepat lupa pelajaran penting macam begitu. Nahas.
Sebuah kali itu tempat mengalirnya air. Tempat ikan-ikan hidup dan sebagainya. Tetapi kali sekarang, dijadikan tempat pembuangan sampah yang alami. Tak ada tempat sampah, kali pun jadi. Fenomena ini mengingatkan saya tentang lagu Pas Band, Anak Kali Sekarang.
Jakarta beberapa hari ini memang sering hujan. Sementara tetangga dari Jakarta, Bogor dan sekitarnya, insensitas hujannya meninggi. Itu sebab, debit air di Bendungan Katulampa hingga ke Pintu Air Manggarai meningkat.
Dari infonya, untuk dapat membersihkan kembali, petugas mengerahkan 2 unit alat berat beserta 15 truk untuk mengangkut sampah dari permukaan air. Sebanyak itukah alat berat dikerahkan?
Asal tahu saja, kebanyakan sampah tersebut adalah limbah rumah tangga dan potongan kayu yang menutupi hampir seluruh rongga saluran pintu air. Kayu dari mana? Limbah proyek atau apa? Kita-kita ini…
Jauh sebelum ia memotret satu pagi yang mendung di Ciliwung itu, ia sempat berujar padaku kalau rumah-rumah di pinggiran kali memang sudah mengikhlaskan dirinya untuk diserang banjir.
Sambil melihat dari jauh, di dekat pasar Bukit Duri, rumah-rumah itu tampak kumuh. Kayu-kayunya sudah kusam dan tak lama lagi ambruk. Tetapi tampak kumuh bukan berarti tidak layak ditinggali, bukan?
Saya ingat kata Cak Nun, kalau tidur tak butuh ranjang yang mewah. Kita bisa tidur di mana saja, ketika mata sudah sangat mengantuk. Itu pula yang dipraktikkan warga-warga miskin di sekitar Ciliwung.
“Kalau mereka kebanjiran, ya begitu saja. Itu sudah jadi kebiasaan mereka, Mau bagaimana lagi?”
Itu kata teman saya, yang memotret tingkah laku kaum pinggiran di Jakarta. Bagi mereka, banjir sudah tidak bahaya lagi. Mereka punya hiburan baru, yaitu berenang di banjir.
Setidaknya, kalimat itu pantas disematkan pada dua orang anak yang berada di dalam foto, yang diabadikan Ghazali. Siapa Ghazali? Ya, itu, teman saya yang kerap kuajak bercerita soal kehidupan manusia di pinggiran Jakarta.
Bahkan, setelah ia makan semangkuk bubur ayam di sana, pada saat hujan belum berhenti, anak-anak itu menggebah tinja atau berak atau tai atau kotoran manusia sambil tertawa. Teman saya jijiknya sudah sampai di kepala, tetapi anak itu menganggapnya hiburan.
Menyadari itu, sampai sekarang, kita memang belum berusaha sekuat tenaga untuk berbenah. Semua kewajiban ditimpakan pada pemimpin, baik Anies dan Ahok dan Fauzi Bowo dan lainnya. Ibu jari memang lebih keji dari ibu kota.