Lontar.id – Hidup di negara Australia selama 30 tahunan, mengubah cara pandang Khrisna tentang arti hidup. Perihal cara menjalani tuntutan kehidupan antara memenuhi kebutuhan dengan mengikuti keinginan.
Sabtu sore saya ngopi bersama dengan Khrisna di the coffee bean & tea leaf Hotel Ritz Carlton Mega Kuningan Jakarta. Pria paruh baya perawakan milenial ini seperti pemuda pada umumnya, suka nongkrong.
Khrisna merupakan generasi X. Sudah cukup tua. Berumur 50 tahunan dan masih tinggal bersama orang tua di perbatasan Depok dan Jakarta. Saya tak menanyakan detail kepastian tahun kelahirannya, toh soal umur, sebagian orang masih enggan menyebutkannya.
Saya bertemu dengan Khrisna saat mengikuti pelatihan di Bursa Efek Indonesia (BEI) atau di Indonesia Stock Exchange (IDX). Selepas dari kegiatan, kami pun beranjak ngopi hingga sore hari dan Khrisna menceritakan tentang pengalaman hidup selama tinggal di Australia.
Sejak tahun 1989, ia pertama kali berangkat ke Australia untuk menempuh jenjang pendidikan di salah satu institut swasta. Ia mengambil jurusan yang berkaitan dengan cara mengolah besi, lalu memperbaharui ke dalam bentuk yang lain.
Barulah pada akhir tahun 2017 kemarin, ia kembali ke tanah air dan bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta Selatan. Ia sangat ahli dalam bidang tersebut dan kerap mendapatkan kepercayaan dari pimpinan perusahaan.
Soal gaji di Jakarta memang sangat jauh jaraknya, karena ia hanya mendapatkan gaji sedikit lebih tinggi dari Upah Minimum Provinsi (UMP). Bila dibandingkan saat ia bekerja di Australia, dalam sepekan ia bisa memperoleh gaji 7000 dollar lalu dikalikan dalam sebulan.
Gaji tersebut menurutnya memang terbilang tinggi, bila dirupiahkan. Tapi uang sebesar itu, tak ada artinya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di Australia, sebab harga barang, makanan, tempat tinggal plus dan gaya hidup yang cukup tinggi, bisa menguras uang sebesar apa pun yang diperoleh.
Untuk mentaktisi pengeluaran lebih besar biaya sewa rumah, Khrisna tinggal di sebuah kontrakan bersama dengan teman-temannya dari negara-negara lain.
Khrisna pada awal-awal berangkat kuliah ke Australia, kondisi ekonominya serba cukup. Ayahnya merupakan seorang pebisnis sukses saat itu. Khrisna bisa memenuhi semua kebutuhan sehari-hari dan gaya hidup di Australia.
Dia bisa mendapatkan barang-barang kesukaannya dengan biaya kiriman yang amat besar. Bahkan saat Khrisna berada di Australia, ia pernah meminta dibelikan mobil Mercedes-Benz ke ayahnya, hanya untuk di panjang di rumah.
Meski mobil tersebut sudah terbeli, ia tak pernah memakainya sebab Khrisna masih ada di Australia. Saat kembali ke Indonesia, mobil Mercedes-Benz keluaran lama itu tetap tersimpan. Dia sehari-hari menggunakan mobil Innova warna putih.
Khrisna merasa menyesal telah meminta dibelikan mobil mewah, karena ia tak sempat kepikiran untuk menggunakan uang tersebut untuk usaha atau semacamnya yang bisa menghasilkan uang.
“Aku minta dibelikan mobil Mercedes-Benz, saat itu harganya Rp900 jutaan. Tapi sekarang sudah turun jauh. Aku menyesal beli mobil, kenapa bukan aku beli yang bermanfaat saja, ya sepeti bikin usaha,” kata Khrisna, Sabtu (27/7/2019) lalu.
Setelah ayahnya jatuh bangkrut. Khrisna mengubah dirinya. Saat ini ia lebih bisa menentukan barang apa yang harus dibeli dan tidak. Ia mengakui, mengikuti gaya hidup di Jakarta dan pamer ke teman-teman sekantor, tidak ada gunanya.
“Sekarang aku enggak banyak mengeluarkan duit buat beli barang yang aku butuhkan. Kalau mengikuti keinginan sesaat buat apa? Aku cukup begini saja.”
Selama dua tahun terakhir sepulang dari Australia, Khrisna menemukan banyak sekali teman-teman yang mengeluarkan biaya hidup yang jauh dari besaran gaji yang didapat setiap bulannya.
Dapat gaji lebih besar dari UMP, teman-temannya sudah kredit mobil. Punya mobil memang penting tinggal di jakarta, karena akan memudahkan aksesibiltas setiap hari.
Tetapi cicilan mobil dengan gaji yang jauh dari besaran iurannya, tidaklah bijak. Itu dinilai hanya mementingkan keinginan, ketimbang kebutuhan hidup.
Ia membandingkan dengan teman-temannya di Australia. Orang Australia sebagian besar tidaklah mementingkan gaya hidup. Uang yang mereka punya digunakan untuk membangun aset dan keperluan memperbaiki properti rumah.
Aset yang mereka simpan cukup banyak, meskipun setiap hari mereka menghabiskan waktu di rumah dengan membaca koran dan bermain dengan keluarga, tetapi mereka tetap mendapatkan uang dari hasil asetnya.
“Setiap bulan mereka dapur uang walau tanpa bekerja,” tandasnya.
Ditulis oleh Ruslan.