Lontar.id – KPU sudah mengumumkan hasil rekapitulasi akhir suara nasional, pemenangnya seperti yang ramai diberitakan yaitu paslon Jokowi-Ma’ruf meraih 55 persen, sedangkan paslon Prabowo-Sandi terpaut jauh diangka 44 persen.
Hasil rekapitulasi KPU ini tidak diterima begitu saja oleh kubu Prabowo-Sandi, sebab diklaim dicurangi melibatkan lembaga negara. Bahkan pemilu 2019 kali ini dikatakan sebagai pemilu terburuk atau yang paling curang sepanjang sejarah kepemiluan Indonesia.
Ini cukup mengangetkan, apakah memang benar pemilu 2019 paling curang sepanjang sejarah sejak pertama kali pemilu tahun 1955. Atau ini sekadar digunakan oknum politisi untuk mengaburkan makna niat aslinya. Sebab pemilu 2019 adalah pertarungan wacana, kepercayaan dan tentunya kepentingan. Siapa yang berkuasa maka akan menguasai sumber daya dan infrastruktur negara.
Saya meyakini setiap ajang pemilu di Indonesia dilakukan secara demokratis, sebagaimana digaungkan oleh para pendahulu. Dilakukan secara demokratis artinya melewati semua tahapan pemilu, mulai dari adanya dukungan partai politik, mekanisme pemilihan, penyelenggara pemilu, hak suara atau dikenal dengan one man one vote dan pelantikan presiden.
Semuanya melewati mekanisme yang sudah diatur dalam aturan pemilu, semua warga negara dilibatkan baik yang dari kalangan berpendidikan tinggi hingga yang sama sekali tidak pernah mengenyam dunia pendidikan. Karena di alam demokrasi, semua orang memiliki kedudukan yang sama, sebagaimana suara seorang profesor sama dengan seorang kuli bangunan.
Pertanyaan kritisnya, apakah pemilu yang berlangsung secara demokratis ini tidak terdapat kecurangan?
Sedemokratis apapun pelaksanaan pemilu, kecurangan itu tetaplah ada, entah itu dilakukan secara diam-diam atau terbuka. Selalu saja ada oknum yang memanfaatkan momentum untuk kepentingan pribadi dan golongan. Pelaku kecurangan bisa saja dari penyelenggara, partai politik, kandidat dan tim relawan paslon.
Mungkin Anda pernah mendengar dari sahabat, keluarga atau rekan sekantor. Bagaimana bahagianya mereka mendapatkan serangan fajar dari oknum politisi, bisa dibayangkan mereka dihargai seberapa banyak kepala keluarga dalam satu rumah. Tentu tawar menawar harga sudah umum dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan.
Serangan fajar pada dini hari adalah satu dari sekian kecurangan pemilu di Indonesia, bukan saja pada saat pemilu serentak 2019, lebih-lebih pada ajang pemilihan kepala daerah. Kecurangan pemilu semakin menjadi-jadi bak seperti wabah penyakit. Belum lagi aparatur sipil negara dikerahkan untuk mendukung salah satu paslon tertentu.
Apakah dengan dalih tersebut, bisakah kita mengklaim pemilu 2019 adalah yang paling tercurang sepanjang sejarah?
Klaim seperti ini sudah biasa kita dengar, saking keseringannya selalu muncul disetiap pemilihan. Siapa yang menggaungkannya, tentu dari kelompok yang kalah dan tidak mau menerima hasil keputusan.
Padahal sebelum pemilihan, kerap dilangsungkan deklarasi pemilu damai dan menerima kemenangan dan mengakui kekalahan. Tetapi yang terjadi tidak selalu begitu, pihak yang kalah selalu berdalih bahwa ia dicurangi dan menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Sebaliknya pihaknya menang merasa pemilu sudah sangat demokratis.
Jika menelisik pemilu di masa rezim orde baru (orba), pemilu tetap dilaksanakan setiap 5 tahun sekali, tetapi pemenang pemilu sudah diketahui sebelum dilakukan pemilihan. Partai Golkar selalu menjadi partai pemenang pemilu, sedangkan partai lain hanya sebatas partai pengembira saja.
Warga dipaksa memilih Soeharto dengan menggerakkan alat negara, jika tidak maka akan direpresif dan dijebloskan kedalam tahanan. Cara tersebut mampu membuat Soeharto berkuasa selama 32 tahun lamanya, jabatan presiden Indoensia paling lama dalam sejarah.
Jika mau membandingkan kecurangan pemilu pada rezim Soeharto dengan sekarang, tentu jauh berbeda. Kecurangan pemilu di Orba diketahui tapi tidak ada yang berani angkat bicara atau kritik, karena Soeharto menggunakan kekuatan ABRI menghalau para pengkritiknya.
Sedangkan pemilu 2019 memang berlangsung dengan curang, sangat sulit rasanya jika kedua paslon tidak menggunakan cara ini, sebab pragmatisme dan politik transaksional sudah mewabah. Pemilih kita cenderung memberikan hak suaranya kepada orang yang mau menukarnya dengan uang, sembako dan pemberian lainnya.
Apakah lantas pemilu 2019 bisa diaktakan sebagai pemilu paling curang dalam babak sejarah, menurut saya kesimpulan ini terlalu gegabah dan ahistoris. Sebab setiap pemilu dilaksanakan selalu berbarengan dengan kecurangan, jadi berhentilah mengutuk pemilu 2019 sebagai yang paling curang jika suaramu saja digadaikan.