Kenapa sih kita suka kagetan saat mendengar istilah lesbian, gay, transgender, trans-seksual, biseksual, dan istilah-istilah sejenis lainnya? Kenapa kita terbentuk dengan kecenderungan menolak konsep itu, padahal dalam realitasnya, mereka ada, tapi kita sulit menerimanya.
Seorang teman sering mengeluarkan lontaran candaan dengan mengatakan, “loh, saya ini bukan cuman biseks, tapi juga multiseks. Sama apa aja bisa, hehe.”
Ungkapan di atas menyiratkan, bahwa sebenarnya persoalan keberagaman orientasi sesksual adalah sesuatu yang biasa bahkan sangat lentur. Sehingga, tidak perlu paronoia duluan saat membicarakannya.
Dalam beberapa alasan mengapa saya cenderung tidak ambil pusing dengan pilihan orientasi seksual seseorang, ya karena di dunia ini, masih banyak yang perlu dipersoalkan selain mengurusi seksualitas seseorang. Alasan lainnya adalah karena orientasi seksual tidak menjadi satu-satunya syarat dalam menentukan gender seseorang.
Saya ingin mengambil contoh dalam budaya timur. Menurut Davies (2018), salah seorang peneliti gender di Indonesia, ia memandang bahwa pembentukan gender dalam budaya timur tidak hanya dipengaruhi oleh biological sex, tapi juga peran, posisi, dan pekerjaan.
Sebagai contoh, dalam suku Bugis, dikenal istilah gender ke-lima. Gender ke-lima ini disebut bissu yang memiliki identitas androgini, yakni di dalam dirinya terjadi perpaduan unsur feminin dan maskulin.
Identitas gendernya sebagai androgini tidak hanya dibentuk karena orientasi seksualnya, namun juga perannya sebagai pemimpin adat dan memiliki posisi yang tinggi dalam strata sosial masyarakat Bugis. Seorang bissu harus menguasai ilmu Bugis kuno, ilmu pengobatan, menguasai sejarah dan silsilah kerajaan, serta kemampuan lainnya.
Baca Juga: Keberagaman Gender dalam Suku Bugis dan Hal-Hal yang Luput
Pemahaman yang lebih radikal tentang gender dan tubuh datang dari beberapa teoritikus. Bagi Butler (pencetus teori performativitas), ia meniadakan material tubuh sebagai penentu gender seseorang. Menurutnya tidak ada ekspresi gender dibalik material tubuh. Justru penampilan atau performativitas seseorang yang menentukan gendernya. Sementara, menurut Schleifer (2006) menyatakan kebalikan dari argumen Butler. Menurutnya, seksualitas juga penting untuk membangun gender dan seks, meskipun keduanya (gender dan seks) dibentuk melalui interaksi seksual.
Gender dan seks yang terbangun melalui interkasi seksual bisa dilihat salah satunya dalam kehidupan kelompok perempuan kulit hitam yang diperlakukan sebagai budak seks dan pekerja oleh laki-laki. Dalam novel, The Colour Purple misalnya, dikisahkan salah satu tokoh utama yang mendapatkan represi seksual secara terus-menerus oleh ayah dan suaminya. Melalui represi tersebut, ia membalikkan ketakutan tubuhnya terhadap laki-laki dengan mendapatkan kenyamanan dalam tubuh perempuan.
Keputusannya menjadi lesbian karena praktik-praktik opresi dan kekecewaan terhadap tubuh sendiri. Saya pribadi, lebih bersepakat untuk menggabungkan kedua pemikiran tokoh itu dan menarik kesimpulan jika seksualitas seperti halnya identitas juga sangat cair.