Lontar.id- Presiden resmi menetapkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) pada Kamis, 24/10/2019. Sementara itu, hari ini, Selasa (05/11/2019), Komisi IX DPR RI yang membidangi kesehatan, ketenagakerjaan dan kependudukan menggelar Rapat Kerja (Raker) sekaligus Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kementerian Kesehatan. Rapat itu juga dihadiri oleh mitra kerja komisi IX, di antaranya BPJS, BPOM, dan BKKBN. Agenda itu tidak jauh dari pembahasan terkait naiknya iuran BPJS.
Baca Juga: Demokrat Pertanyakan, BPJS Tak Tanggung Subsidi Orang Miskin
Keputusan pemerintah menaikkan iuran BPJS tentu saja menuai penolakan dari masyarakat. Sebagai pengguna BPJS, saya juga ikut keberatan. BPJS yang awalnya hadir untuk meringankan beban kita dalam hal pembayaran layanan kesehatan, mau tidak mau, keputusan pemerintah saat ini menjadikan kita meringis dengan naiknya iuran yang tak tanggung-tanggung, hampir dua kali lipat. Besar iuran yang harus dibayarkan sebesar Rp 42.000 per bulan untuk kelas III, sebesar Rp 110.000 per bulan untuk kelas II, dan sebesar Rp 160.000 per bulan untuk kelas I.
Kenaikan itu membuat kita semakin geram ketika menelisik kembali bagaimana jaminan kesehatan tidak menjamin-jamin amat kesehatan kita. Dengan kata lain, layanan kesehatan kita masih buruk. Loh, ini pemerintah sudah menaikkan lagi iurannya.
Kenaikan iuran BPJS itu menjadikan saya mengingkat kembali bagaimana buruknya pelayanan kesehatan melalui kisah teman saya. Tahun 2017, seorang teman kos di Makassar mengalami kecelakaan motor. Lukanya memang agak parah. Ada tulang yang patah. Teman saya juga salah satu pengguna BPJS. Dari pihak Rumah Sakit di Makassar mengharuskan dia melakukan tindakan operasi. Jika tak salah biayanya saat itu mencapai 20 juta lebih. Sebagai pengguna BPJS, teman saya cukup membayar setengahnya, kurang lebih 10 juta rupiah.
Angka segitu memang tidak begitu tinggi untuk ukuran teman saya saat itu yang tergolong cukup mampu. Akan tetapi, menurut keluarganya, tindakan operasi yang ditawarkan oleh pihak Rumah sakit agak berlebihan. Ibu dari teman saya akhirnya menolak anaknya dioperasi. Saya sangat ingat waktu itu, ia mengatakan kalau di kampung anaknya bisa lebih cepat sembuh dan tidak perlu mengonsumsi obat-obatan yang tidak dibutuhkan.
Dua bulan berlalu semenjak teman saya dipulangkan dari Rumah Sakit tanpa tindakan operasi apapun. Saya mendapat kabar bahwa keadaannya membaik dan tangannya yang awalnya patah mulai bisa digerakkan. Sebenarnya, di awal saya juga sangsi dengan keputusan sang Ibu yang terpaksa memulangkan anaknya karena tidak bisa bernegosiasi dengan pihak Rumah Sakit sampai suatu hari saya kembali mendapatkan kabar kalau teman saya sudah pulih dan kondisinya kembali normal.
Kisah teman saya hanya satu dari banyaknya kisah lain. Dikutip dari CNN Indonesia mengungkapkan sepanjang tahun 2014, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) paling banyak dilaporkan karena tidak memberikan pelayanan.
Tidak memberikan pelayanan yang dimaksud yaitu melakukan penyimpangan prosedur, penundaan penanganan yang berlarut, bersikap diskriminatif, dan melakukan pungutan liar.
Ada kejadian, pasien menunggu jadwal operasi tetapi tidak memperoleh kejelasan waktu dan nomor urut operasi dikomoditikan menjadi uang.
Melihat rentetan kasus yang ada, kita masih berharap adanya peningkatan pelayanan kesehatan. Terkait naiknya iuran BPJS, pemerintah beralasan karena negara sedang mengalami defisit. Apapun itu, intinya jangan sampai menjadikan masyarakat yang kurang mampu semakin tercekik. Jangan sampai lagi, kenaikan tarif BPJS ini diikuti dengan kenaikan harga lain. Semoga Menteri Kesehatan kita yang baru memiliki terobosan bagus untuk membantu kerja presiden dalam hal layanan kesehatan. Semoga!