Jakarta, Lontar.id – “Kau akan lihat, tiga hari sebelum lebaran, jalanan di Jakarta akan lowong. Lihat saja,” ujar seorang kawanku, yang sudah tiga tahun bekerja dan menetap di ibu kota.
Ada benarnya juga, karena orang-orang nantinya akan pulang kampung. Di Jakarta, memang lebih banyak penduduk perantaunya. Tak mudik saat Lebaran, tak afdal. Bisa jadi seseorang yang lupa diri. Setidaknya menurut saya.
Setiap hari, dari pagi sampai sore, Jakarta biasanya macet. Perjalanan akan menjadi lambat. Untuk mentaktisinya, maka berangkat lebih cepat adalah jalan keluar yang paling nyata.
Sudah tak bisa untuk menahan laju produksi kendaraan di ibu kota. Hasrat manusia memang ingin selalu lebih. Jika sudah punya motor, biasanya ingin memiliki mobil. Jika sudah punya mobil, berniat tambah lagi.
Sebagai seorang lelaki yang bekerja di ibu kota, aku kerap merasakan kemacetan yang kian hari mau tidak mau aku maklumi. Kena macet adalah kebiasaaanku. Semuanya baik-baik saja, karena memang sudah tidak bisa diubah.
Lalu orang-orang macam aku berpikir, jika Lebaran dan hari raya lainnya mampu membuat Jakarta lebih lengang. Aku sudah menulis hal ini di tulisan sebelumnya.
Jika libur panjang, maka orang-orang lebih memilih pergi dari ibu kota. Mengunjungi sanak saudara di kampung, ke pantai, ke gunung. Masa kerja melulu? Mereka insan, bukan seekor sapi. Saat itu arus lalin di Jakarta tak macet, kecuali arus balik tiba.
Bicara soal mudik, aku pikir Jakarta nantinya tak jauh beda dari hari biasa saat Lebaran. Alasannya sederhana: tiket masih mahal sampai Agustus. Belum turun-turun juga, padahal Menteri Perhubungan sudah berjanji. Bisa dicek di laman-laman situs berita elektronik atau surat kabar.
Tiket dari Jakarta ke Makassar sudah hampir dua juta rupiah. Itu membuatku merasa ciut untuk pulang kampung. Alasan-alasannya, sudah kujelaskan di tulisan sebelumnya.
Soal salah-menyalahkan, lama-lama kupikir sudah tidak bisa lagi. Kenaikan tiket sungguh kompleks. Kebijakan itu dibuat oleh bukan hanya satu pihak saja. Ada banyak.
Dalam wawancara yang dilakukan Beritagar beberapa waktu lalu kepada Komisioner Ombudsman RI Bidang Transportasi, Alvin Lie, diakuinya kalau harga tiket bukan mainan kartel.
Ini masalah utilitas pesawat rendah, berarti efisiensi rendah, sehingga biayanya jadi tinggi. “Ya kayak Gojek saja kan. Sudah enggak ada lagi harga super murah. Promo juga, sudah tak ada lagi harga promo.”
Dalam kalimat ini, aku paham benar kalau usaha penerbangan juga dalam keadaan yang genting. Butuh keuntungan yang lebih dari tahun-tahun belakangan. Menaikkan tarif adalah solusi.
Ada pula bagian lain yang mengajakku berpikir untuk tidak sekadar memikirkan hasratku sendiri. “Konsern saya, kok selama ini tiket mahal karena avtur, biaya bandara, dan lain-lain. Kenapa disorotnya hanya dari luar?”
“Saya meminta faktor internal yang diminta juga dipertimbangkan. Misalnya, pengadaan pesawat, penyewaan , perawatan, perawatan, dan banyak lagi. Faktor internal ini sebenarnya tidak mudah.”
“Industri ini bukan industri yang setiap saat berubah. Rencana bisnisnya saja bisa untuk 10-20 tahun ke depan. Dari situ mereka memproyeksikan sekian pesawat dan biayanya.”
Ini adalah jawaban bagi pertanyaanku selama beberapa hari bahwa apakah selama beberapa tahun untung, perusahaan tidak cukup mampu membenahi keuangan karena bertahan pada harga wajar?
Benar saja, selama ini aku berpikir kalau mengelola pesawat itu mudah. Ternyata sulit dan rumit. Belum menggaji para karyawan termasuk pilot dan sebagainya. Tiap tahun, biaya hidup makin tinggi. Masa gaji mereka tidak naik-naik? Tuntutan juga makin banyak tiap zaman.
Artinya, menerapkan harga seperti biasanya rentan untuk rugi, jika tidak rugi malah untung sedikit saja. Dengan menaikkan tarif, malah merugikan masyarakat menengah ke bawah. Jika bukan merugikan, mungkin mengorbankan.
Banyak turunan dalam syahwat yang akan ditebas. Seperti duit belanja baju baru, sepatu baru, peci baru, sajadah baru, dan hal-hal berbau baru demi tiket pulang pergi Jakarta-Makassar.
Sebagai seseorang yang tidak paham hitungan yang rumit-rumit, aku tidak tahu bagaimana mengukur ritme untung rugi para pengusaha penerbangan khususnya pesawat terbang.
Tetapi biasanya, dalam strategi pemasaran dan membentuk ketergantungan pada pasar, jika sudah kelamaan harga murah lalu suatu saat dinaikkan, maka sudah tentu perusahaan ingin mereguk untung lebih.
Sebagai konsumen kita bisa apa? Perusahaan juga ingin hidup dan untung. Mereka punya sumber daya manusia di sana. Bukan perusahaan namanya, jika harus rugi terus-menerus.
Kebingungan diperparah setelah belum terbukanya Kementerian Perhubungan soal jalan keluar yang akan ia lakukan untuk mengatasi masalah ini. Itu makanya, ia didesak untuk mundur dari jabatannya dengan tagar #PecatBudiKarya.
Aku paham benar kalau tagar itu adalah muatan politis. Bisa jadi, ada seseorang yang didorong untuk menggantikan Budi Karya. Dan agar cepat dapat kuasa, maka tagar itu digemakan hingga sampai di kursi Presiden Jokowi di Istana Negara.
Terlepas dari itu, jika memang harga tiket tidak bisa kembali lagi seperti semula, artinya pernyataan Menteri Perhubungan, Budi Karya, adalah ucapan nina bobo saja? Berada dalam posisinya, kekuatan pemimpin dibutuhkan untuk mencari win-win solution.
Di sisi lain perusahaan pesawat terbang ingin untung banyak maka menaikkan harga, lalu kementerian mendesaknya agar menurunkan harga mereka demi mengerti kondisi masyarakat. Sebaliknya, perusahaan pesawat terbang yang harus menebas syahwatnya. Begitu logika dasarnya.
Jadi siapa yang lebih utama sekarang? Perusahaan pesawat yang berada di antara rugi dan untung, atau masyarakat yang dijembatani menteri perhubungan?
Jika masalah tidak selesai, maka Lebaran nanti, kemungkinan besar, Jakarta masih akan macet. Mari memprediksi.