Lontar.id – Anggota DPR sepakat merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengesahan revisi itu dilakukan pada Rapat Paripurna yang berlangsung sekitar 20 menit, Selasa (17/09/2019).
Namun anehnya, DPR tidak melibatkan lembaga antirasuah dalam urung rembuk pembahasan poin-poin yang akan direvisi, hal ini memunculkan anggapan jika pemerintah dan DPR sengaja melemahkan kerja institusi KPK.
Sementara pemerintah mengutus Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Syafruddin guna membahas secara bersama masa depan KPK. Meski banyak kalangan dari aktivis antikorupsi dan pimpinan KPK yang menolak untuk dilakukan revisi, namun Pemerintah-DPR enggan menggubris dan tetap meloloskan pembahasannya.
Harapan aktivis antikorupsi agar presiden tidak menyetujui pembahasan menuai jalan buntu. Karena Presiden Jokowi tetap mengirim surat presiden (surpres) ke DPR agar tetap dilanjutkan. Presiden dan DPR yang mewakili seluruh partai politik menyetujui revisi UU KPK.
Dengan adanya persetujuan dari pemerintah, apakah ini akan menjadi senjakala pemberantasan kasus mega korupsi di Indonesia?
Di tengah masih banyaknya kasus mega korupsi di Indonesia yang belum terselesaikan, pemerintah bersama DPR kadung mengubah aturan KPK yang selama ini telah dianggap berhasil menangkap koruptor dan mengembalikan uang negara. Lewat kewenangan penyadapan, KPK menjerat para kepala daerah, politisi dan pengusaha nakal di balik jeruji besi.
Pelemahan KPK ini memunculkan sejumlah spekulasi, bahwa kasus mega korupsi yang belum terselesaikan hingga saat ini akan berhenti di tengah jalan. Seperti kasus BLBI, EKTP, Bank Century, Hambalang dan sebagainya.
Padahal kasus tersebut melibatkan sejumlah orang-orang penting di republik ini, terutama yang berada di lingkaran kekuasaan. Di masa-masa yang akan datang, peran KPK tak akan lagi berani unjuk gigi seperti sebelumnya yang kerap melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT), pasalnya KPK yang baru ini akan memprioritaskan pencegahan ketimbang pemberantasan.
Lembaga KPK seolah dipaksakan menjadi eksekutif. Sikap pemerintah dan DPR yang menolak anggapan KPK dilemahkan tak lebih dari sekadar pemanis bibir saja. Jika merujuk pada poin-poin UU Revisi KPK yang disahkan, keinginan Pemerintah-DPR jelas ingin kewenangan KPK dibatasi pada ranah koordinasi dengan hadirnya dewan pengawas.
Belum lagi indikasi KPK ‘dicoklatkan’ semakin menyeruak setelah Ketua KPK yang baru terpilih masih berstatus sebagai polisi aktif. Di mana sejarah konflik dua institusi itu masih terekam jelas dalam ingatan publik.
KPK seakan disiapkan menjadi macan ompong, dan tidak berkutik lagi karena kewenangan serba dibatasi. Lalu apalagi yang bisa diharapkan dari peran KPK di masa yang akan datang.
Para elite akan melenggang mulus di luar sana, karena di revisi UU KPK yang baru ini bisa menghentikan perkara yang belum selesai direntang waktu 2 tahun. Sementara kasus-kasus besar, membutuhkan waktu yang lebih lama untuk ditangani.
Nasib KPK di Tangan MK
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhan menjelaskan keputusan DPR dan pemerintah merevisi UU KPK sangat rentan dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Karena keputusan ini dinilai sangat buruk dan akan mendapatkan kecamanan dari publik. Sebab publik masih menaruh harapan besar dari lembaga antirasuah dalam menangkap pelaku koruptor.
Selain itu, ICW juga menyayangkan pengesahan revisi UU KPK karena tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) tahun 2019. Kemudian para anggota DPR yang hadir menyepakatinya tak lebih dari 80 dari total 560 orang anggota DPR. Hal itu dianggap ICW telah melabrak aturan dan cacat secara formil.
“Krusialnya seluruh naskah yang disepakati tersebut justru akan memperlemah KPK dan membatasi kewenangan penindakan lembaga anti korupsi,” kata Kurnia Ramadhan dalam keterangan tertulisnya.
Pro kontra revisi UU KPK beberapa pekan terakhir ini mengalami eskalasi yang cukup tinggi. Pegiat dan aktivis anti korupsi kerap melakukan aksi mimbar bebas di gedung merah putih di Jl. Kuningan Jakarta Selatan.
Wadah Pegawai KPK berulang kali menggelar aksi unjuk rasa dan membacakan sejumlah poin rekomendasi yang didampingi Saut Sitomurang. Aksi ini ditenggarai menolak pengembosan kewenangan KPK yang kian dipersulit, menjadikan pegawai KPK sebagian ASN yang turut dan manut saja pada perintah atasan.
Membentuk Dewan Pengawas yang ditunjuk presiden, fungsi dewan pengawas ini agar KPK tidak semrawut dalam melakukan penyadapan terhadap calon terduga korupsi, sehingga harus mendapatkan persetujuan jika hendak melakukan penyadapan. Selain itu, menolak calon pimpinan KPK lolos seleksi yang telah melanggar kode etik.
Aksi Wadah KPK membentuk berikade sambil memegang tangan satu sama lain dan mengelilingi gedung merah putih. Lalu mereka menutup logo KPK dengan kain hitam dibagian kiri dan kanan sebagai simbol berkabung.
Sematan sebagai kelompok politik, taliban yang bergerak tanpa aturan melekat di wadah pegawai KPK, hal itu dituding oleh anggota DPR seperti Masinton Pasaribu dan Fahri Hamzah yang getol mengkritik KPK.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam pernyataannya di beberapa media mengatakan, ke depannya akan menertibkan WP KPK, lantaran dianggap keliru karena telah berubah seolah menjadi juru bicara.
“Ke depan harus kita tertibkan itu. Siapa yang boleh bicara mengatasnamakan lembaga, repot nanti kalau semua orang bisa bicara ini,” kata Alexander Marwata
Sementara, masa pendukung revisi UU KPK dari elemen mahasiswa dan masyarakat pun turut meramaikan. Massa yang diduga bayaran itu terkoordinir dan sempat melakukan pembakaran ban bekas hingga ricuh di gedung merah putih. Namun anehnya, pihak pengamanan seolah enggan menahan oknum provokator yang memicu lahirnya konflik.
Bentuk Otoritarian Legislatif
Senada diungkapkan oleh Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia, Anwar Razak. Menurutnya, RUU KPK begitu ngotot disahkan meski tidak ada dalam agenda Paripurna tanggal 17 September 2019.
“Sebagaimana undangan yang beredar kepada anggota DPR, RUU KPK ditetapkan,” kata Anwar.
Dikatakannya, dari segi jumlah anggota DPR, sangat jauh dari kata kourum. Paripurna hanya dihadiri 80 orang.
“Paripurna untuk pengambilan keputusan harus dihadiri 50% plus 1 jumlah anggota DPR. Semua prosedur formal dan keabsahan pengesahan UU diabaikan oleh DPR,” ucapnya.
“Ini adalah bentuk otoritarian legislatif. Di tengah tengah hujanan kritikan dan aksi-aksi penolakan oleh masyarakat, DPR tetap melakukan pengesahan,” lanjutnya.
Dengan pengesahan terse but kata Anwar, maka tamatlah sudah agenda pemberantasan korupsi. Kewenangan telah dikebiri dan komisioner bermasalah telah dipilih.
“Tidak ada lagi harapan yang bisa tunggu dari KPK selain hanya tukang stempel bagi para koruptor. Bahkan bisa jadi para koruptor yang sedang mendekam dalam penjara tidak lama lagi juga akan lepas,” katanya.
“Duka yang mendalam harus kita ucapkan atas tragedi ini. Mudah-mudahan masyarakat masih punya semangat untuk menata kembali agenda-agenda pemberantasan korupsi. Amiin,” terang Anwar.
Penulis: Ruslan