Ada kata-kata sakti dalam masyarakat Bugis yang biasanya ditujukan kepada perantau yang kira-kira berbunyi seperti ini: “Sejauh apapun kamu melangkah, setinggi apapun sekolahmu atau pangkatmu. Tetaplah pulang, mengikat buras.”
Kalimat di atas beberapa hari ini memenuhi beranda facebook saya. Kalimat itu, tiba-tiba menjadi sangat sakral bagi saya pribadi karena tahun ini memilih tidak pulang kampung. Jika tahun ini saya mudik lagi, pastilah saya tidak bisa memaknai kalimat sakti tersebut.
Kalimat itu juga memunculkan kerinduan dan membuat saya memutar ulang memori-memori saat berada di kampung mengikat buras bersama Ibu dan nenek serta keluarga yang lain. Pada momen seperti itu, kami akan berkumpul di ruang tengah membuat buras, saling berbincang dan keintiman dengan keluargapun semakin terjalin setelah lama tidak berjumpa.
Nenek saya sering mengatakan, “seandainya saya bersekolah seperti kalian (merujuk kepada cucu-cucunya), saya pasti lebih hebat dan pintar”. Nenek seolah ingin mengatakan, sekolah bisa membuatmu lebih pintar menulis, tapi belum tentu tuntas dalam urusan lain utamanya urusan dapur. Mendengar itu, saya biasanya membuktikan diri sebagai perempuan yang merantau dan sarjana dengan mengambil bagian inti dalam membuat buras, yakni mengisi beras ke dalam daunnya, lalu melipat. Saya juga sering mendapat bagian mengikatnya. Seringkali saya berhasil, dan hanya sesekali gagal. Hal itu membuat saya sedikit berbangga, kalau lebih lama di kampung mungkin saya bisa menandingi nenek membuat buras, tapi pasti tidak bisa menandingi dalam hal bertani dan mengangkat pacul.
Tahun ini, tradisi mengikat buras tidak bisa saya rasakan. Saya yakin, nenek dan Ibu merindukan momen kebersamaan kami, seperti saya merindukannya. Semoga saja, tahun depan saya bisa pulang mengikat buras dengan lebih baik. Jauh lebih baik dari kemapuan saya mengikat buras dua tahun lalu, sekaligus sebagai pembuktian kalau saya tidak hanya bisa menulis. Sekalipun saya tahu, nenek masih jauh lebih pintar karena bisa menyindir saya dengan kata-kata, saya bisa lebih pintar dari kalian jika saya juga sempat bersekolah.
***
Buras merupakan makanan tradisional dari Bugis. Komposisi bahan dan rasanya menyerupai ketupat, namun soal bentuk, buras bugis memiliki kekhasannya sendiri, agak mirip dengan lontong cuma lebih pipih dan dibungkus dengan daung pisang.
Panganan buras terbuat dari beras yang dimasak tertebih dahulu dengan santan yang banyak hingga menjadi nasi lembek lalu ditambahkkan garam secukupnya, dan selanjutnya dibungkus dengan daun pisang. Bagian dalamnya dibungkus dengan daun pisang yang muda, kemudian dibungkus kembali dengan daung pisang yang lebih tua. Biasanya dibuat menjadi dua-tiga bagian dalam satu ikatan (menggunakan tali rapia atau daun pisang) kemudian direbus hingga matang. Selain untuk hidangan pada hari lebaran, burasa juga banyak dipilih sebagai makanan untuk bekal dalam perjalanan karena mampu bertahan hingga 2 x 24 jam.
Buras juga seringkali dimaknai lebih filosofis. Misalnya mengaitkan bentuknya dengan ikatan persaudaraan. Buras yang diikat dan dililit satu sama lain agar tidak terlepas dan dapat mencapai kematangan sempurna melambangkan pentingnya ikatan silaturahmi. Manusia tidak bisa eksis (ada) tanpa melakukan ikatan/relasi dengan manusia yang lain.
Dalam tradisi jawa, juga dikenal makanan ketupat yang menyerupai buras. Bedanya ketupat dibungkus dengan daun pandan. Masyarakat Jawa mengenal lebaran Kupat, yang merupakan akronim Jawa dari kata ngaku lepat atau mengakui kekhilafan, kesalahan atau kekeliruan dengan saling maaf-memaafkan di hari lebaran.