Lontar.id – Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mencatat kasus kekerasan terhadap jurnalis, sepanjang tahun 2019 didominasi dari pihak kepolisian. Kekerasan tersebut berbentuk intimidasi dan kekerasan fisik.
Berdasarkan data yang dihimpun AJI Indonesia, sebanyak 53 kasus kekerasan jurnalis di 2019. Lebih dari separuhnya dilakukan polisi yaitu 30 kasus. Kemudian disusul oleh warga dan ormas sebanyak 6 kasus, pihak tidak dikenal 5 kasus, TNI dan lain-lain sebanyak 1 kasus.
Jika mengacu ke belakang, kekerasan terhadap jurnalis paling tinge terjadi pada tahun 2016 sebanyak 81 kasus, lalu turun di 2017 di 60 kasus dan 2018 naik menjadi 64 kasus. Sementara pada 2010 pernah berada di angka paling rendah yaitu 38 kasus dan 2011-2015 naik denna angka 40-50 kasus.
Padahal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 di dalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Artinya, jurnalis bebas melakukan peliputan, merekam audio visual dalam kepentingan kerja-kerja jurnalistik.
Ketua Aji Indonesia, Abdul Manan menjelaskan, kerja jurnalistik adalah memastikan adanya keterbukaan informasi dengan melaporkan kejadian. Tugas tersebut merupakan bagian dari kontrol sosial dan polisi sebagai institusi negara harus menjamin tidak adanya perlakuan yang mencederai kerja jurnalis. Namun pada saat kejadian demonstrasi di depan Bawaslu pada 21-22 Mei dan aksi Reformasi Dikorupsi depan Gedung DPR, Polisi masih menggunakan tangan besi. Korban berjatuhan, bukan saja dari para jurnalis, tetapi juga mahasiswa.
“Kekerasan oleh Polisi kalau dilihat dari statistik, tahun 2019 ada 53 kasus itu hampir separuh dilakukan oleh polisi. Kejadiannya di bulan Mei dan depan Bawaslu dan aksi mahasiswa di DPR,” kata Abdul Manan saat menyampaikan laporan akhir tahun yang mengusung tema “Potret Kebebasan Pers di Indonesia 2019, Catatan Akhir Aji” di Sekretariat Aji Indonesia, Jakarta, Senin (23/12/2019).
Polisi dalam menangani aksi demonstrasi, harus dibekali dengan edukasi tentang HAM dan kode etik jurnalistik. Hal itu penting sabab aksi demonstrasi sangat rentan dengan konflik.
Saat berhadapan dengan para jurnalis, aparat tidak memaksa mengambil dokumentasi jurnalis dan tidak melakukan kekerasan saat menindak para demonstran.
“Artinya polisi secara sengaja membungkam wartawan karena dia merekam kejahatan. Bukan karena wartawan melakukan yang tidak berhubungan dengan pekerjaannya, ini bukan hal baru. Dalam kasus yang lain juga ada,” ucap ketua AJI.
Abdul Manan mengecam keras tindakan kekerasan polisi, apalagi perilaku tersebut bertentangan dengan kebebasan pers yang dianut oleh negara. Bahkan Abdul Manan menuding polisi sengaja mengintimidasi jurnalis agar aksi kekerasan kepada demonstan tidak diketahui publik lewat pemberitaan media massa.
“Banyak kasus dilakukan oleh polisi, tahun 2019 kami merasa kalau ada yang disebut sebagai musuh kebebasan pers tahun 2019 itu adalah polisi,” terangnya.
Sasmito Madrin Ketua Bidan Advokasi menjelaskan, Aji mencatat kasus kekerasan berdasarkan pedoman yang disusun oleh dewan pers tentang penanganan kekerasan terhadpa jurnalis. Sepanjang 2019 yang masuk dalam catatan Aji hanya 53 kasus, itu belum termasuk para jurnalis yang kena lemparan batu dan kekerasan lainnya.
Aji hanya mencatat kekerasan fisik saat polisi mengambil paksa kamera jurnalis yang merekam aksi kekerasan polisi saat menangani para demonstran. Polanya mengambil paksa kamera dan menghapus foto dan video.
“Kasus kekerasan tidak tercover pemberitaan, misalnya ketika jurnalis meliput dan mendapatkan lemparan batu. Itu kita tidak masukkan sebagai aksi kekerasan, tetapi kecelakaan kerja karena tidak terkait dengan kerja-kerja jurnalistik,” tutupnya.
Editor: Ais Al-Jum’ah