Lontar.id-Yogyakarta – Penjual jasa jahit sepatu keliling masih bisa ditemukan di Yogyakarta, meski jumlahnya tidak sebanyak beberapa belas tahun lalu. Salah satunya adalah Paiman (61), warga Sumberagung, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul.
Dalam menjalani profesinya sebagai penjahit sepatu keliling, Paiman mengalami banyak suka maupun duka. Salah satunya adalah dipukuli oleh pelanggan yang tidak mau membayar ongkos jahit sepatu.
Siang itu, Kamis (7/11/2019), Paiman mengayuh sepedanya di Jl Parangtritis. Peluhnya meleleh membasahi wajahnya keriput dan pakaian yang dikenakannya.
Dia menoleh saat seorang pengendara sepeda motor menyapanya. Kemudian mereka berdua menepi. Rupanya si pengendara sepeda motor berniat memperbaiki sepatu miliknya.
Setelah berbicara selama beberapa menit, keduanya kembali berjalan menuju utara, lalu menyeberang dan singgah di bawah pohon rindang.
Paiman memarkir sepedanya tepat di bawah pohon, kemudian menyiapkan peralatan untuk memperbaiki sepatu, berupa jarum khusus jahit sepatu, lem, dan benang nilon. Tidak lupa dia menyiapkan selembar kain. Kain itu diletakkan di pangkuannya, sebagai pengalas sepatu yang akan dijahit.
Terik matahari siang tak terlalu terasa di bawah pohon itu. Angin yang bertiup sepoi-sepoi membuat Paiman merasa nyaman duduk di kursi kecil miliknya.
Deru knalpot kendaraan yang lalu lalang, tak dipedulikan. Paiman asyik mengatur irama jemarinya, menusukkan jarum dan menarik benang.
Sesekali tarian jemarinya terhenti, saat dia mengambil gunting dan memotong sisa benang yang terlalu panjang.
Paiman mengaku telah menjalani profesi ini selama 33 tahun. Tepatnya sejak tahun 1986. Saat itu dia tidak keliling tapi mangkal di kawasan Malioboro.
“Saya menjahit sepatu sejak 1986. Dulu mangkal di Malioboro, tapi digusur tahun 1998. Sejak itu saya menjahit sepatu keliling,” kata dia sambil terus menjahit.
Keterampilan memperbaiki sepatu, khususnya menjahit, diperoleh Paiman dari pelatihan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bantul puluhan tahun lalu.
Kata Paiman, saat itu belasan warga desanya mengikuti pelatihan tersebut. Setelah pelatihan, mereka diberi bantuan berupa peralatan. Beberapa dari peralatan menurutnya masih ada di rumah, meski banyak juga yang sudah rusak.
“Kalau di kampung saya, banyak juga yang buka jasa jahit sepatu, tapi cuma sedikit yang mau keliling begini,” imbuhnya.
Pengguna jasa Paiman bukan hanya konsumen langsung, tetapi juga penjual jasa jahit sepatu yang mangkal. Biasanya mereka menggunakan jasanya saat orderannya menumpuk.
Selain menjual jasa, Paiman juga memberi kesempatan orang yang ingin mencoba menjahit sepatu sendiri, karena tak jarang ada calon pelanggan yang penasaran.
Tapi, biasanya saat ada calon pelanggan yang ingin meminjam jarum Paiman dan mencoba menjahit sendiri, Paiman memperingatkan bahwa menjahit sepatu tidak semudah yang dilihat. Dibutuhkan keterampilan khusus agar jarum jahit yang cukup besar itu tidak menusuk jari sendiri.
“Pernah ada orang, Mas, waktu itu saya sudah kasih tahu, hati-hati, karena beresiko. Tapi dia bilang dia bisa. Tiba-tiba dia teriak. Ternyata tangannya tertusuk jarum. Jarumnya hampir masuk semua, terpaksa dibawa ke rumah sakit,” bebernya.
Paiman menawarkan jasanya hingga puluhan kilometer dari rumahnya, yakni sampai ke daerah Blok O, atau sekitar Kompleks Angkatan Udara, Yogyakarta.
Setiap pagi dia berangkat sekitar pukul 09.00, lalu kembali ke rumah pada pukul 16.00.
Kata Paiman, sejak dia memulai usahanya sebagai penjahit sepatu, tidak pernah sehari pun dia tidak mendapatkan pelanggan, meski kadang hanya satu atau dua pasang sepatu.
“Kalau penghasilan per hari, tidak pasti. Tapi yang jelas asal pergi keliling jahit sepatu, pasti ada (orang yang memperbaiki sepatu),” lanjutnya dalam bahasa Jawa.
Dalam menjual jasanya, Paiman mematok harga yang sangat terjangkau, yakni mulai Rp20.000 hingga Rp65.000, tergantung dari tingkat kesulitan dan bahan yang digunakan.
Untuk jasa jahit sol sepatu tanpa penggantian bahan, dia mematok harga Rp20.000-25.000 per pasang, sedangkan untuk penggantian sol, mulai dari Rp30.000 hingga Rp65.000.
Saat ditanya mengenai kendala yang dihadapi dalam menjalankan profesinya, Paiman mengatakan, salah satu kendala yang rutin adalah datangnya musim hujan. Paiman harus berbasah-basah dalam menawarkan jasanya.
Untungnya Paiman memiliki beberapa petak sawah, sehingga saat musim hujan tiba, atau musim tanam dan musim panen, dirinya tidak pergi menjual jasa jahit sepatu.
“Kalau tidak menjahit sepatu, saya kerja sawah. Iya, sawahnya milik saya sendiri,” jelasnya.
Pengalaman paling menyenangkan menjadi penjahit sepatu keliling, kata Paiman, saat dirinya diminta untuk menjahit sepatu milik wisatawan asing. Saat itu dirinya sedang mengayuh sepeda di daerah Prawirotaman.
“Saya dipanggil sama guidenya, terus disuruh jahitkan sepatunya londo (wisman). Pas sudah selesai saya dikasih tambahan uang jasa,” tuturnya.
Tapi, Paiman juga pernah apes. Dia dipukul oleh preman yang menggunakan jasanya. Setelah sepatu milik preman itu selesai dijahit, Paiman meminta ongkos atas jasanya. Bukan uang yang diberikan, Paiman justru dipukul dan dimaki-maki oleh preman itu.
“Pernah tidak dibayar, orangnya malah memukul terus pergi. Ya sudah, saya diam saja,” kenangnya.
Editor: Ais Al-Jum’ah