Jakarta, Lontar.id – Rencana memindahkan ibu kota itu bagus. Saya terkesima dengan idenya. Jokowi memainkan perannya seperti presiden yang terdahulu. Sayangnya cuma ide, dan tidak direalisasi.
Di Jakarta, barangkali harus ada sebagian perpindahan orang-orang menuju tempat baru. Tanah yang lebih hijau lagi, untuk kemudian dimanfaatkan, kalau bukan dimanfaatkan, dirusak dengan dalih apa saja.
Ibu kota sudah terlalu padat. Banyak sekali asap di jalanan. Asap kendaraan dan apa saja. Orang-orang jadi gampang marah di jalanan, demi saling salip. Saya kira, setiap gerak punya konsekuensi, dan muslim percaya, ada malaikat yang mencatatnya.
Jakarta seperti halnya kota lain, butuh dibangun. Jika memang Jokowi ingin, sebaiknya cari di daerah timur Indonesia. Sebab telinga orang timur sudah capek dibandingkan dengan orang-orang di tanah Jawa.
Tetapi mengapa hal sebesar itu diramaikan? Masih banyak waktu untuk warga maya untuk membahas hal lain yang lebih penting. Hal itu adalah menurunkan harga tiket pesawat.
Kalau boleh diberi kesempatan membisiki seorang presiden, maka saya boleh memintanya untuk menghentikan ocehannya soal ibu kota dan segera membereskan harga tiket pesawat kembali normal. Tidak wajar.
Bukannya pemindahan ibu kota adalah hal yang remeh. Namun, ada rencana jangka panjang dan pendek yang harus membuat masyarakat bertepuk tangan karenanya. Kebijakan itu politis. Yang pendek itu adalah penurunan harga tiket.
Sebagai perantau, saya sering duduk terdiam dan membayangkan bagaimana tiket yang akan saya lihat harganya jelang kepulangan saya kembali ke kampung halaman, sebelum takbir berkumandang di hari yang fitri.
Jika mahal, maka saya harus menyimpan beberapa juta uang di saku. Menyiapkan tiket pergi dan pulang itu sudah terdengar berat. Rp1,5 juta ke atas sekali jalan, belum bagasi, sudah bisa menghabiskan berapa duit tabungan. Belum membeli oleole untuk orangtua di rumah.
Lain lagi untuk memberi ibu uang belanja agar bisa masak enak. Jauh-jauh ke Jakarta, saya merasa malu untuk tidak memberinya ala kadar rezeki yang saya dapat. Pula menyiapkan salam tempel untuk ponakan-ponakan tercinta di desa.
Saya rindu suasana lebaran di kampung. Saya ke ibu kota untuk bersiap menyongsong sanak famili dengan pelukan yang hangat sambil berkata, anakmu ini ibu, berani berjibaku melawan nasib dan senantiasa patuh pada takdirnya.
Setelah saling berpelukan, mencium kaki ibu, waktunya untuk menyantap opor ayam dan burasa. Makanan bersantan jadi kegemaran saya. Opor ayam ibu, setahu saya, tidak begitu asin. Gurihnya sudah pasti.
Sementara ayamnya, empuknya bukan main. Ibu memasak dengan segenap jiwanya, meski saya tahu, sangat jarang orang bertamu di rumah kami yang reyot. Kata ibu, yang penting masak enak dulu, nanti kita yang makan.
Setiap kali ibu bilang begitu, air mata saya ingin tumpah. Ibu tidak pernah mengeluh jika tak ada yang menziarahi dirinya. Keluarga-keluarga tak melihatnya juga tak apa. Yang penting, silaturahmi masih tetap berjalan.
Di belakang rumah, ibu memelihara ayam kampung. Setiap lebaran, ayam itu disembelih, kemudian dipotong dan dijadikan bahan utama opor. Makan opor ayam kampung bersama ibu, sungguh nikmat, karena mengunyahnya lama. Daging ayam kampung itu alot.
Itu baru cerita saya. Belum cerita orang-orang yang lain. Bisa jadi, ada perantau yang ditunggu oleh saudaranya di desa, sementara ibu bapaknya sudah lama meninggal. Lebaran ini jadi momen satu-satunya mereka berkumpul.
Apa Jokowi bersama menterinya masih tidak bisa menyelesaikan masalah harga tiket pesawat itu? Sebab saya bersama kawan, sudah berusaha mengonfirmasi masalah ini di pihak terkait, namun wacana penurunan masih jadi isapan jempol. Liputannya bisa dibaca di sini.
Lalu tunggu apalagi? Apa anak-anak di rantau itu kurang penting didengar aspirasinya? Saya mohon, jika boleh, saya atau kami, para anak-anak rantau, butuh bantuan kebijakan pemerintah.
Memang ada tiket kapal laut. Harganya pasti di bawah tiket pesawatyang sekarang. Tetapi berapa orang yang memesan tiket kapal laut? Jika semua orang pindah, mau bagaimana dalam kapal itu?
Tetapi itu opsi kedua, yang terpaksa untuk dilakukan demi menuntaskan rindu kepada kampung halaman yang dicintai. Kita harus berlama-lama melihat laus lepas sambil menunggu sampai kapal sandar. Berhari-hari.
Saya takut, di rumah, ibu menunggu sendiri. Badan ibu bisa jadi kurang sehat dan berpikir tentang siapa yang akan memakan lahap opornya dan membawanya naik motor ke Bulukumba? Pasti ibu mengerti kalau saya bilang, tiket mahal, saya tidak bisa pulang.
Tetapi itu bukan jawaban yang baik. Saya sudah berusaha untuk pulang, tetapi penanggung jawab masalah ini seakan tidak peduli dengan nasib anak rantau. Paling tidak, saya akan berusaha peduli untuk menuruti keinginan maskpai, sekuat-kuatnya.
Masyarakat biasa memang tempatnya mengalah. Dari dulu sudah begitu.