Sulit untuk mendefinisikan seperti apa cinta saya kepada PSM. Penggambarannya mungkin seperti ini. Bukannya alay. PSM itu ada dalam setiap tarikan nafas. Klub yang telah menjadi bagian dari harga diriku. Begitu ungkapan Daeng Uki kepada Lontar.id.
Makassar, Lontar.id – Mengapa fanatisme itu ada? Mengapa bisa ada orang yang begitu menggilai sebuah klub. Segila-gilanya. Secinta-cintanya. Pertanyaan itu pun mengantarkan saya kepada Uki Nugraha. Si cowok bertampan preman. Namun punya sisi romantisme kuat kepada PSM.
Uki Nugraha sangat familiar dipanggil Daeng Uki. Saya pun menyambanginya di markas besar Laskar Ayam Jantan (LAJ), jalan Beruang, Makassar, Sulawesi Selatan, belum lama ini.
Orangnya baik. Ramah. Solidaritasnya sesama suporter juga awet dan terawat. Di sini saya melihat ada tatanan kehidupan kelompok suporter dari pertemuan saya dengannya. Yang pijakannya adalah kecintaan kepada PSM dan membuat keikhlasan dan solidaritas suporter begitu kuat.
Sebelum membuka pembicaraan, saya teringat bagaimana ekspresi kecewa Daeng Uki yang membuat air mata tak kuasa dibendung, memenuhi lini masa pemberitaan. Bahkan hampir semua berita yang mengisahkan kegagalan PSM juara memasang foto Daeng Uki yang tengah menangis. Ekspresi Deng Uki memang benar-benar mewakili kekecewaan seluruh fans PSM saat itu.
Daeng Uki pun bercerita, dirinya mengira-mengira itu puluhan tahun lalu. Saat usianya masih remaja. Kala itu dia punya usaha kecil-kecilan di sekitar Pantai Losari. Pernah suatu ketika ajakan temannya untuk segera bergegas ke Stadion Mattonging, sekarang Andi Mattalatta, menyaksikan PSM membuat lapaknya dibiarkan begitu saja. Daeng Uki tidak ambil pusing.
Daeng Uki mungkin saat itu tak sadar kalau sikapnya itu merupakan gejala cinta akut kepada klub sepak bola. Dia juga tak sadar PSM jugalah nantinya yang mewarnai di tiap-tiap jejak takdir kehidupan.
Jadilah Daeng Uki seperti sekarang ini. PSM sudah seperti agama keduanya. Lihat saja beberapa tatonya. Di lengannya ada logo PSM yang terlihat mencolok. Daeng Uki menyebut tatonya itu sebagai sebuah isyarat kedekatan. “Saya sudah tidak bisa jauh lagi dari PSM,” tambahnya.
Di usianya semakin matang. Daeng Uki seperti “ulamanya” fans PSM. Tafsir-tafsir soal dukung-mendukung, maupun menyanjung dan mengkritik tim sudah ada takarannya. Para pengikutnya, banyak yang mengamalkan tata caranya itu.
Dia pun juga dengan keras menolak ungkapan fanatisme buta. Sebab PSM baginya bukan lagi sekadar klub sepak bola yang hanya butuh sorakan kemenangan, lalu mendapat cibiran saat dilanda kekalahan. “Alaynya mungkin kalau saya bilang yah setiap nafas saya adalah PSM. Sudah menjadi bagian dari harga diri saya,” papar Daeng Uki.
Tidak mudah menjadi seorang Daeng Uki seperti sekarang. Berbagai masalah pernah menghinggapi Daeng Uki, termasuk dari keluarganya sendiri. Masa-masa pahit yang harus dilewati Daeng Uki untuk terus bisa hadir menemani PSM. Sebagai seorang yang sudah berkeluarga, menurut Daeng Uki, duka pasti bisa singgah kapan saja.
Saat PSM harus ber-home base di Jawa Timur, Daeng Uki pun memutuskan untuk menemani timnya itu. Namun sikap Daeng Uki mendapat pertentangan dari keluarga. Segila-gilanya suporter, sikapnya itu sangat sulit diterima nalar. Daeng Uki tak semestinya mengambil keputusan seekstrem itu. Sikapnya mungkin dipandang sudah keterlaluan.
Namun begitulah Daeng Uki. Dari cintanya kepada PSM kisahnya begitu penuh romansa. Semangatnya tak pernah kendur. Konsisten dengan cinta matinya itu. Di tanah air, Daeng Uki masuk dalam jajaran elite suporter yang namanya tersohor. Sampai-sampai komentator di teve juga merasa kurang shahih jika tak menyebut nama Daeng Uki acap kali laga PSM disiarakan langsung.
Karena itu pula perlahan keluarga besar Daeng Uki juga sudah mulai mengerti. Mereka dengan lapang dada menerima Daeng Uki. Salah satunya, rumah yang menjadi tempat bernaung Daeng Uki sekeluarga, sebagiannya dijadikan Bengkel Supporter LAJ.
Dari Bengkel Suporter LAJ, Daeng Uki membangun bisnisnya secara mandiri. Dari jersey, syal hingga pernak pernik PSM. Dan yang terpenting tempat itu juga menjadi persinggahan suporter tamu untuk beristirahat.
Hasil dari bisnisnya itu digunakan untuk kebutuhan internal LAJ. Tak lupa sisanya juga disisihkan untuk menghidupi keluarga.
“Alhamdulillah mereka mengerti bahwa PSM sudah menjadi hidup saya. Istri dan anak-anak saya bahkan biasa ikut saya menonton pertandingan PSM di Mattoanging, mereka mendukung sepenuhnya,” ungkap Ayah dua anak ini.
Jayalah PSM Reski Ilahi
Tidak banyak yang tahu, bahwa orang yang suaranya paling lantang dan berdiri tegak sebagai dirigen memipin suporter lain menyanyikan lagu kebanggaan PSM ini ternyata malah tidak begitu suka menendang bola.
Saat kebanyakan pencinta sepak bola tanah air juga memiliki kecintaan pada klub sepak bola asing, lain halnya Daeng Uki. Satu-satunya klub sepak bola yang ia kagumi sejak dulu hingga sekarang hanyalah PSM. Kecintaan mendalam ini jugalah yang membuat Daeng Uki tidak segan menyematkan nama PSM pada anak laki-lakinya, Jayalah PSM Reski Ilahi.
Jayalah PSM Reski Ilahi, yang justru dipanggil Daeng Uki dengan nama Aco kini sudah duduk di bangku kelas dua sekolah dasar. Mewarisi darah ayahnya, Aco sudah menaruh cinta pada PSM. Terlihat beberapa kali Daeng Uki memboyong Aco menonton pertandingan. Terakhir yang menjadi perhatian netizen adalah saat Liga 1 2018, di markas Persebaya, 10 November, PSM harus menelan pil kekalahan yang membuat Aco meneteskan air mata di pelukan Daeng Uki.
Sama seperti ayahnya, ketika saya bertanya apakah Aco mau menjadi pemain sepak bola di masa depan. Senyum malu-malu ia menggelengkan kepala dan menjawab tidak. Aco rupanya senang menjadi suporter seperti Daeng Uki. Beberapa kali Aco juga menemani Daeng Uki menabuh drum di atas “mimbar” dengan penuh semangat.“Saya suka sama PSM,” kata Aco singkat kepada saya.
Setiap hari Aco mengenakan pakaian tidak lepas dari warna merah, warna yang ia kenakan saat saya bertemu dengan anak berlesung pipi ini kemarin. Segala hal berbau PSM tidak luput dari rumah Daeng Uki.
Baca Juga: Fantasi Fans AC Milan Menghadirkan San Siro di Makassar
Dua Harapan dan Duka Daeng Uki
Pemain dan manajemen PSM Makassar kerap memberi apresiasi positif kepada barisan supporter yang mendedikasikan waktu dan tenaganya untuk mendukung PSM secara sukarela.
Hal yang membanggakan dan membahagiakan bagi Daeng Uki dan para supporter adalah ketika pemain PSM menyapa mereka di pinggir stadion usai berlaga.“Ini bentuk kerjasama tim, wajar jika kita saling berterima kasih antar supporter dan pemain. Terlebih saat mereka berhasil mencetak poin,” ungkap Daeng Uki.
Sebagai suporter, Daeng Uki mempunyai dua harapan besar yang ia ingin wujudkan. Harapan agar PSM Makassar selalu menjadi yang terbaik. Serta tidak ada lagi kabar-kabar duka tentang supporter dari klub manapun yang tawuran, bahkan sampai kehilangan nyawa hanya karena fanatisme buta.
“Saya ingin melihat semua suporter di Indonesia bisa satu tribun bersama, duduk bersama, berdiri bersama, bernyanyi bersama, berteriak bersama dalam damai meski dengan tim berbeda sebelum ajal menjemput saya,” ungkap Daeng Uki.
Sudah saatnya suporter menjadi dewasa. Sepak bola adalah kompetisi, soal menang dan kalah itu urusan nanti. Suporter harus menerima dengan lapang dada jika tim yang dijagokan kalah, sambil tetap mendukung dan mengirim doa terbaik. Bukan malah memberontak, apalagi sampai tawuran. Sebab konsekuensi dari perbuatan suporter yang demikian, malah bisa merugikan tim.
Alih-alih menilai siapa yang pantas menjadi pemain dan pelatih PSM Makassar, bagi Daeng Uki mereka yang terlibat dalam tim dan manajemen pasti akan berjuang demi nama baik PSM. Tugas supporter adalah mendukung tanpa pamrih. Pun saat PSM harus takluk di hadapan tim lain.
Meski saat di “mimbar” suporter, Daeng Uki tampil paling gagah menyuntikkan yel-yel “ewako” pada PSM, siapa sangka ia juga bisa menjadi yang paling terluka jika PSM kalah.
“Dua hal yang bisa membuat saya berduka itu adalah kehilangan orang-orang yang saya kasihi, dan saat PSM kalah. Saat pulang dari menonton, saya biasa langsung ke kamar itu, dan menangis. Saya tidak tahu, air mata saya keluar begitu saja,” tutup Daeng Uki.
Penulis: Miftah Aulia