Lontar.id– Seiring berjalannya waktu, perempuan-perempuan Sulawesi Selatan (Sulsel) nampak semakin menjadi komoditas. Para perempuan “dijual” dan “dibeli”. Hal itu tidak dapat dilihat di permukaan memang, tapi data-data menunjukkan bahwa banyak perempuan di Sulsel yang menikah di bawah umur, banyaknya kasus perjodohan, atau kasus pernikahan beda usia. Misalnya, seorang perempuan remaja yang menikah dengan seorang kakek berusia 70-80 tahun.
Informasi-infomasi itu dengan mudah didapatkan di media sosial dan media daring. Beberapa peristiwa yang viral bahkan awal-mulanya disebarkan oleh orang terdekat. Misalnya saja, video perjodohan yang saat ini tengah viral. Dalam video itu, sang mempelai perempuan terlihat menolak untuk melakukan ritual pernikahan Bugis, Mappakarawa (menjadikan dua mempelai saling bersentuhan). Salah satu ritual yang dianggap sakral untuk dijalankan. Prosesinya dilakukan dengan cara mempelai laki-laki diarahkan oleh pengampu adat untuk menyentuh beberapa bagian tubuh perempuan, seperti kepala, dada, dll. Penolakan untuk menjalankan ritual itu diringi dengan isakan tangis sang mempelai perempuan sembari memeluk seorang perempuan di sebelahnya.
Video yang terlanjur tersebar itu kemudian viral dan menimbulkan beragam tafsir dari netizen. Yang pasti, penolakan sang perempuan untuk melakukan ritual mappakarawa mengukuhkan posisi perempuan yang tidak ingin disentuh, dengan kata lain menolak untuk dijodohkan.
Alasan mengapa perempuan itu dijodohkan, berbagai informasi berseliweran, yang paling menyorot perhatian netizen karena mempelai laki-laki memiliki modal kapital yang besar, seorang pengusaha tambang.
Gerah dengan videonya yang tersebar luas, mempelai perempuan pun menuliskan klarifikasi melalui insta story nya. Ia menulis:

Dikutip dari berita Matasulsel.com, keluarga menolak anggapan yang menyatakan proses perjodohan itu berjalan karena imimng-iming uang.
“Orangtua laki-laki dan perempuan ada hubungan keluarga, orangtua mereka berharap dengan perjodohan ini keluarga mereka semakin dekat, Bukan karena faktor harta atau yang lain sehingga mereka dinikahkan,” ucap kerabat mempelai laki-laki yang enggan disebut namanya seperti dikutip dari Matasulsel.com.
Dari waktu ke waktu, konflik pra-pernikahan semakin intens terjadi, tidak hanya pada kasus di atas. Beberapa tahun belakangan ini, di Sulawesi Selatan fenomena menikahkan anak remaja dengan laki-laki beda usia 40-50 tahun seolah menjadi tren. Sebut saja, pada tahun 2017, seorang kakek usia 75 tahun menikahi anak SMA usia 18 tahun di Kabupaten Sinjai, Sulse.
Pada tahun 2018, seorang anak laki-laki berstatus siswa SD, menikah dengan perempuan remaja berusia 17 tahun, yang masih duduk di bangku SMA. Kemudian, di bulan ke-empat tahun 2018, dua sejoli yang masih duduk di bangku SMP berinisial S berusia 15 tahun dan perempuan FA, 14 tahun melangsungkan upacara pernikahan sederhana di rumah sang gadis.
Selanjutnya di tahun 2019, pada bulan Juni seorang kakek berusia 65 tahun menikah dengan gadis muda yang masih berusia 18 tahun. Pernikahan tersebut terjadi di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Rentetan kasus pernikahan di bawah umur dan beda usia ini membuat kita bertanya-tanya, mengapa hal itu menjadi sesuatu yang biasa saja di Sulawesi Selatan. BBC News dalam laporannya mengungkapkan jika di Desa Mattiro Uleng, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, pernikahan anak lumrah terjadi. Hal itu cukup ironis mengingat budaya pernikahan Sulsel yang kental dengan tradisi uang panaiknya, di mana laki-laki harus memiliki kecukupan materi yang besar untuk menikahi perempuan sebab harus memberikan uang pesta atau uang panaik.
Baca Juga: Uang Panaik dari Sudut Pandang Lelaki Kere
Hal itu juga berlaku pada tren pernikahan beda usia. Seorang kakek memberikan uang panaik sangat tinggi untuk menikah dengan remaja. Semakin hari, rasa-rasanya fenomena itu semakin biasa dan tak lagi menjadi perhatian masyarakat sehingga dengan begitu, kasus serupa gampang saja terjadi karena hilangnya tekanan sosial yang menganggap hal demikian melanggar aturan.
Seorang teman asal Solo menanyakan fenomena pernikahan di Sulsel yang rasa-rasanya semakin mengkomoditaskan perempuan. Sebagai perempuan Bugis, kenapa hal semacam itu banyak terjadi di Sulsel? Tanya teman saya.
Baca Juga: Mengapa Tradisi Uang Panaik Tak Lekang Oleh Waktu?
Saya sendiri belum pernah melakukan riset serius terkait fenomena itu. Hipotesa saya sederhana saja, barangkali karena faktor menghegemoninya uang panaik di tengah masyarakat Sulawesi Selatan. Pandangan bahwa semakin tinggi uang panaiknya seorang perempuan, maka semakin tinggi pula kelas sosialnya.
Akhirnya, dari waktu ke waktu standar itu mulai terbentuk. Untuk mendapatkan status sosial, keluarga tidak perlu membiayai pendidikan anaknya setinggi mungkin, tidak perlu kaya-raya, ataupun bergelar bangsawan dll. Padahal, makna dari uang panaik adalah jangan sampai mempelai laki-laki tidak mampu membiayai istrinya kelak.