Ridwan kamil dan Rahmat Baequni sedang mendapatkan perhatian nasional. Keduanya pada tanggal 6 Juni 2019 melakukan dialog terbuka yang di gelar di masjid PUSDAI Bandung dan difasilitasi MUI Jawa Barat. Hal ini terkait dengan kecurigaan adanya simbol iluminati di salah satu Masjid di Jawa Barat.
Ramat Baequni beserta jajaranya memprotes arsitektur masjid tersebut yang dalam pengamatan mereka menyerupai “bentuk phallus dan segitiga bermata satu ala iluminati. Sementara Ridwan Kamil selaku arsitektur masjid mencela tunduhan tersebut dan beranggapan arsitektur Masjid terinspirasi dari estetika geometri, yang didominasi bentuk-bentuk lingkaran dan segitiga.
Tidak ada yang salah dari interpertasi Rahmat Baequni, begitu juga klarifikasi dan argumentasi yang dipertahankan Ridwan Kamil dalam mencela tuduhan tersebut. Rahmat Baequni dengan prespektif dominasi wacana simboliknya dan Ridwan Kamil dengan prespektif estetikanya.
Peristiwa ini menjadi hangat karena perdebatan di belakang layar antara pihak-pihak yang merasa terwakili oleh kedua belah aktor. Mengutip prespektif Heryanto peristiwa ini dapat dibaca sebagai pertentangan antara pihak yang ingin “meng-Islamkan modernisasi” dan pihak yang ingin “memodernisasi Islam”.
Dalam sudut pandang Baequni, umat Islam bisa saja membangun masjid semegah apapun tanpa perlu merubahnya dari bentuk yang tradisional, apalagi menyerupai Iluminati momok besar dalam sejarah perdaban
Islam. Di pihak lain, Ridwan Kamil berusaha mengeksplorasi Islam dengan mengambil beberapa terobosan estetika baru dalam menciptakan arsitektur masjid.
Fenomena ini bukanlah barang baru di Indonesia, dan seolah-olah hanya menjadi perdebatan yang sia-sia. Pihak yang satu lebih cenderung dalam memerangi apa yang mereka anggap sebagai ancaman pihak luar bagi kehidupan Islam yang sejati. Sementara pihak yang kedua lebih kepada pembangunan agama secara subtansial dan transformatif.
Kelompok yang pertama biasanya memiliki modal agama yang kurang, sehingga ekspresi keagamaan mereka di ruang publik seringkali dibarengi dengan perasaan gelisah dan ketakutan. Sementara kelompok yang kedua cenderung memiliki modal agama yang lebih banyak, sehingsa mungkin lebih berkomitmen secara subtansial, tetapi sering kali terlampau progresif sehingga melupakan permasalahan di akar rumput, dan sesekali meremehkan mereka yang berada di pihak yang pertama.
Era baru Islamisasi di Indonesia kira-kira sudah berumur kurang lebih dua dekade, seiring dengan berkahirnya pemerintahan sekuler-militeristik orde baru. Sebagai muslim kadang-kadang saya mengahayati fenomena ini dengan bangga dan penuh harap, dan kadang-kadang juga penuh sesal dan
kecewa. Penuh harap dikarenakan perdebatan tersebut mencerminkan tahap baru dalam merumuskan ulang modernitas dan ke-Islaman di Indonesia, dan penuh sesal karena peredebatan ini tidak menuju titik temu yang pasti, dan sesekali memakan ongkos kemanusian yang mahal.
Perdebatan ini tidak akan menuju suatu tahap baru jika kedua belah pihak sama-sama tidak mau merefleksikan diri.