Lontar.id – Kita akhirnya sampai pada perdebatan, apa yang baik dari mengajak suporter lain mendukung PSM atau tidak. Alasannya awalnya adalah, di Pakansari, PSM dikhawatirkan kekurangan dukungan.
Presiden Red Gank, Sul Dg Kulle yang berkata begitu. Berpikir beberapa jenak, akhirnya ia mengaku kalau sudah seharusnya ada sila ketiga dalam sepak bola. Persatuan kecil-kecilan yang hangat.
Saya kira ajakan ini rasanya bagus. Demikianlah, saya tidak merasa harus memilih isi perdebatan itu. Saya menjadi corong saja untuk menyampaikan pendapat agar PSM lebih tajam. Sebab begitulah kerja-kerja saya.
Saya sudah belajar soal membelokkan arah dukungan kecintaan saya pada klub sepak bola. Misalnya, Real Madrid mengalahkan Barcelona di perempat final. Di pertandingan lain, Juventus mengalahkan Bayern Munchen.
Sebagai pendukung tim Azulgrana, saya pasti merasa bahagia kalau Real Madrid kalah oleh Juventus pada pertandingan final. Itulah nilai sebuah dendam, tidak buruk-buruk amat, tergantung cara menjalani dan menularkannya.
Akhirnya, karena kesumat, saya terus mengampanyekan kalau Juventus bisa memenangi laga melawan Madrid. Saya bilang, saya tiba-tiba jatuh cinta kepada mereka dan barangkali indah kalau Juventus angkat piala.
Pelbagai cara saya lakukan dengan mengumpulkan fans-fans sakit hati atas kekalahan itu, yakni memberi arahan bahwa gerakan menjadi fans karbitan demi melihat Madrid tersungkur.
Memang tak ada dampak apa-apa bagi kami. Hanya ingin melihat musuh bebuyutan kami tumbang di tangan orang yang tepat, kok. Kami akan dengan senang hati berpindah lagi, bergerak ke gerbong yang tepat, jika misi sudah selesai.
Begitu intinya. Saya rasa pembaca pasti paham dengan apa yang saya tulis. Asal jangan juga menyamakan bahwa ide inisiatif Sul soal dendam di atas, sepenuhnya sama. Tidak. Hal ini perlu saya luruskan, teman-teman.
Sama seperti politik, kita bisa saja berteman hari ini. Lalu ada kepentingan yang lebih besar kemudian untuk negara sebesar Indonesia. Mau tidak mau, semua politisi harus mendukung agar kita maju bersama.
Jikalau terjadi perdebatan soal langkah, itu menyehatkan, asal tidak terjadi pembelahan yang ekstrem sampai bunuh-bunuhan. Sebagai seorang awam, saya senang mendengar ide-ide baru, menimbangnya, lalu memilih di antara keduanya, atau mencari jalan tengahnya–mencari solusi.
Ide Sul sendiri, sebagai seorang yang paham dengan dunia sepak bola yang cukup lama di Makassar, pasti punya maksud untuk melemparkan idenya itu. Saya membacanya sederhana saja: PSM membawa nama Indonesia.
Di AFC, bukan lagi membawa hegemoni klub atau daerah tertentu saja, melainkan menyeret nama Indonesia ke percaturan sepak bola yang sengit di Asia. Jika PSM menang, ia jadi patokan klub Indonesia.
Jika nanti PSM kalah oleh musuhnya di liga domestik, otomatis, musuh itu juga dapat bingkai yang elegan di liga Indonesia dan AFC. Valuasi klub lawannya bisa naik, bonafide, sponsor berdatangan, dan maca-macam kelebihan memenangi pertandingan.
Semuanya berhubungan kok. Maka Sul memang harus mengucapkan: kita harus bersatu, demi PSM. Jika tidak karena PSM, setidaknya demi Indonesia. Sul pada intinya ingin melihat PSM juara.
Saya hampir lupa menjelaskan kalau tulisan ini tak akan biosa sampai di paragraf ini tanpa adanya kalimat yang kuat dari Ketua Gue PSM, Rio Verieza. Pemuda ini memang menyenangkan dari segala sisi, kawan-kawan.
Ide segarnya itu dituangkan dalam akun instagramnya, kalau sebaiknya PSM tak perlu mengajak orang lain untuk berbondong-bondong mendukung PSM. Tak perlu dimobilisasi secara besar-besaran.
Saya suka kalimat yang berbunyi seperti ini: jika seseorang punya nasionalisme, mereka pasti akan terpanggil mendukung PSM tanpa diajak besar-besaran. “Bukan karena baju merahnya saja. Kita butuh orang yang bisa berteriak dan beraksi selama 2×45 menit.”
Antara Sul atau Rio, secara pribadi, saya harus mengangkat topi. Dua ide itu baik secara kelangsungan PSM di masa sekarang dan nanti. Pendapat-pendapat itu harus ditampung dan jika boleh dipilih dan digabung.
Saya tidak membayangkan bagaimana jika orang yang mengemukakan itu, harus bertempur sebab memaksakan pikirannya untuk dipakai dan didengar pemangkukpentingan atau suporter-suporter lain.
Sekali lagi, saya pribadi, akan membuat satu garis besar dari isi akal tersebut. Di antara sengkarut suporter Indonesia yang kerap menumpahkan darah kawannya sendiri, ada baiknya memang kita semua harus berkumpul, tertawa bareng, demi Indonesia.
Sejujurnya, saya sudah lelah dengan pembelahan yang terlalu lebar. Saya kira, bahasa universal dan politik yang baik adalah bahasa sepak bola yang dibawa Sul serta Rio atau mungkin banyak orang yang tak sempat saya sebutkan.
Perdamaian dan saling menghargai antarsesama demi Indonesia yang lebih baik, ada di depan mata kita sekarang. Inilah waktunya kita mendewasakan diri atau mengangkat harkat Sulsel dengan kalimat sakti dari Rio di atas.
Sebenar-benarnya kita bisa melatih panggilan nasionalisme sekarang. Tanpa diajak. Akhir kata, dua keputusan di atas, sama-sama membuat kita belajar. Sekarang anda bebas memilih ide siapa yang patut dijalankan, dengan tujuan utama: PSM menang.
Datang ke stadion atau tidak, dengan doa, itu sudah cukup. Saya yakin, suporter di sana akan meneror habis-habisan. Banyak atau tidak. Masa Becamex bisa mengalahkan PSM dengan 10 pemain serta sedikit teriakan suporter, sementara PSM tidak?
Akhir kata, saya mengutip omongan bek tengah PSM asal Sidrap, Abdul Rahman. “Mohon dukungannya, kami tidak mewakili klub lagi. Kami mewakili Indonesia.”
Jelas, ada kata mohon di sana. Bahasa lainnya adalah, Rahman meminta dengan sangat teriakan dan semangat penonton, banyak atau sedikit, untuk membalikkan keadaan dan membelokkan pandangan kalau selama ini PSM tidak bisa apa-apa di kancah internasional.
Maka dari itu, bersatulah!