Jakarta, Lontar.id – Beberapa waktu yang lalu, kabar soal Andik Vermansyah diteriaki saat membawa bola, ketika Madura United melawan mantan klubnya, Persebaya, menjadi perbincangan hangat.
Meski aku tak menontonnya, tetapi ini menguras emosi. Momen yang sungguh tragis. Namun begitulah sepak bola. Anda bisa dianggap musuh selama jalannya pertandingan, sewaktu datang ke mantan klub yang membesarkanmu, bisa juga tidak.
Aku rasa, ketika mencintai seorang pemain atau klub, sulit untuk tidak membawa perasaan. Tidak berlebihan, sebab sepak bola memang tempatnya belajar bagaimana menggalang solidaritas dan hal-hal yang positif lainnya, tak terkecuali belajar beringas.
Perasaanku campur aduk. Tangisan Andik yang pecah membuatku tertegun. Banyak sedihnya. Andik ditebas di kota kelahirannya sendiri. Mentalnya diserang. Bagaimana tidak, saat dirinya membawa bola, puluhan ribu Bonek mencemoohnya dengan kata “huu.”
Terjadi perdebatan di ruang media sosial setelah patut atau tidaknya Andik dicemooh dan diteror. Ada yang bilang tidak patut, sebab Andik sendiri yang dicemooh, yang lainnya tidak. Ada yang bilang patut, sebab suporter ingin merusak mental Andik.
Andik memang adalah Bonek asli. Ia besar di Surabaya. Ia mencintai Bajul Ijo. Kalau tidak cinta, ia tidak akan menangis setelah menyanyikan Song for Pride, anthem Bonek untuk Persebaya. Tangisan lelaki, entah bagaimana, selalu lebih jujur dari ucapannya.
Aku ingat satu kutipan Cak Rusdi Mathari, untuk mereka yang menangis atau tidak, sembari menyapu dadanya karena letupan emosi yang akan meledak. Emosi yang membawa kesedihan tentu saja. “Lelaki itu memang tidak menangis, tetapi hatinya berdarah, Dik.”
Entah bagaimana bisa, Andik harus angkat kaki dan pindah ke klub tetangganya. Aku tidak tahu benar, sebab aku bukanlah seorang yang tahu soal bagaimana Persebaya. Aku bukanlah seorang Bonek.
Soal ingat-mengingat, momen ini membawaku pada masa transfer Lusi Figo rampung, dari Barcelona menuju Real Madrid. Ia kemudian jadi public enemy. Ia dibenci orang-orang Catalan karena pilihannya yang kontroversi.
Sewaktu ingin mengeksekusi sepak pojok, seorang Cules melemparinya kepala babi. Simbol kepala babi ini seperti menyiratkan bahwa Cules siap membuat lawan-lawannya hancur. Kebencian dan fanatisme memang beda tipis.
Soal kepala babi sendiri, sudah dituliskan dalam sebuah novel berjudul “Lord of the Flies” atau Tuhan (para) Lalat. Awalnya, kepala babi itu ditancapkan di sebuah kayu oleh Jack. Jack saat itu sedang berselisih paham dengan Ralph, dua tokoh yang membangun konflik dalam novel ini.
Berlatar setting di hutan, awalnya Jack berburu babi di sana. Ia kemudian mendapat babi, lalu memenggal kepalanya. Lama kelamaan, kepala babi itu dibiarkan sampai dikerumuni lalat. Saat itulah, mereka berpikir kepala babi itu adalah simbol jati diri mereka yakni tukang rusuh.
Seluruh kejadian itu tergambar dalam novel berjudul “Lord of the Flies” karya William Golding yang diterbitkan pertama kali pada 17 September 1954. Novel itu diganjar Nobel Prize in Literature pada 1983.
Kisah soal Figo pun menjadi perdebatan lagi. Oleh Van Gaal yang saat itu melatih Barcelona, Figo dianggap membuang-buang waktu sewaktu ingin menendang sepak pojok. Ia memperlambat langkahnya dan menyita banyak waktu.
Van Gaal menanggapi, itu adalah sebuah bentuk provokasi ke Cules, yang sedang berada di kandang mereka, Camp Nou. Rivalitas itu memang masih sangat panas, dan ditambah lagi kepindahan Figo di Real Madrid.
Mendengar Van Gaal, Figo menilai perkataan Van Gaal tak masuk akal. “Dia (Van Gaal) tak pernah mengatakan apapun kepada saya ketika dia menjadi pelatih saya selama dua tahun. Dan, saya menyelamatkan mukanya lebih dari sekali,” kata Figo. Sampai sekarang, soal mencari salah benarnya, masih menjadi perdebatan.
Itu satu contoh, bagaimana perdebatan-perdebatan di ruang publik terjadi, sewaktu bersikap bagaimanapun tentang eks pemain yang pernah sangat kita cintai, membela klub rival. Tetapi bukan itu yang akan aku bahas, melainkan bagaimana sebuah tangisan tercipta. Tangisan kasih sayang.
Dalam satu waktu, pada tahun-tahun yang sudah dilewati bersama, seseorang lelaki menangis di kantor PSM Makassar yang terletak di Jalan Balaikota. Bicaranya suit untuk terdengar jelas. Ada kalimat-kalimat yang tertahan saat itu.
“Tidak bisa. Rasyid harus dipertahankan. Saya yang akan melawan mereka, kalau Rasyid sampai pindah,” ujar lelaki itu.
Lelaki itu adalah Sumirlan. Eks pemain PSM serta Direktur Teknik, sewaktu Erwin Aksa memegang jabatan komisaris. Baru kali itu, aku melihat seorang lelaki tangguh di lapangan hijau, tumbang dalam satu momentum yang sungguh emosional.
Sumirlan biasanya mengenang kejayaannya di PSM. Ia lelaki periang, yang senang bercanda. Tapi tidak pada hari itu. Ia sedih bukan main. Mukanya merah padam karena menahan air mata yang akan banyak tertumpah, jika pertahanannya jebol saat itu. Sumirlan berubah jadi sosok melankoli.
Sumirlan juga seorang yang khusyuk di atas meja makan. Jika makan bersama dengannya, kita semua atau siapa saja tak boleh sibuk dengan aktivitas lain. “Makan dulu bos. Jangan pegang ponsel kalau sementara makan. Kau ini mau kerja atau makan?”
“Dulu saya kalau ada lawan PSM, pantang untuk membiarkan penyerang klub lawan bisa cetak gol. Apalagi kalau main di Mattoanging. Apa saja saya bisa lakukan. Saya keras saat itu, bos,” ujar Sumirlan, di hadapan banyak pewarta kala itu.
Rasyid Bakri memang pangerannya PSM Makassar. Ia sudah telanjur dicintai publik Tanah Daeng. Rasyid seperti garam, jika tak ada dia, PSM yang bisa dianggap sayur, akan kurang sedap dipandang atau dinikmati.
Permainan Rasyid memang mencirikan bagaimana anak-anak Makassar bermain bola: keras. Ia menjadi gelandang yang pandai menjaga kedalaman skuatnya. Gelandang bertahan yang siap tempur dengan gelandang serang lawan-lawannya.
“Apa jadinya kalau Riedl keluarkan dia? Suporter bisa marah. Dia aset penting PSM. Banyak yang minati dia, tapi ia pikir PSM jadi tujuan utamanya. Dia setia sama PSM.”
Saat itu, memang Rasyid sedang menurun performanya. Ia tidak lagi jadi pilihan, meski dalam beberapa kesempatan, ia main bagus. Pelatih berpikir, ia kalah saing dengan gelandang-gelandang serang PSM yang lain.
Hanya ada tangisan sore itu. Kami, para pewarta, hanya bisa terdiam menyimaknya memuntahkan seluruh uneg-uneg soal Rasyid dan PSM. Ia jadi benteng terakhir untuk melindungi pangeran yang diproyeksi akan menggantikan Syamsul Chaeruddin. Suasana Sekretariat PSM saat itu berubah murung.
Bukan hanya Sumirlan yang menangis. Sekelas tataran elite di Bosowa, Sadikin Aksa, juga pernah menjadi cengeng sewaktu PSM kembali ke pangkuan Makassar. Itu terjadi pada 2015 silam, setelah pemerintah Kota Makassar memberi bantuan.
PSM memang baru pulang dan melepas pakaian musafirnya, saat berkandang di Surabaya. PSM pernah berada di titik nadir. Namun karena melihat PSM begitu dicintai oleh publik Makassar, ia terharu.
Ia berinisiatif menyelamatkan PSM. Setelah ia tahu bagaimana cintanya para suporter dan publik Makassar. Bahkan, ia pernah berdebat dengan keluarganya soal siapa yang akan memegang PSM kalau ia melepas tangan?