Jakarta, Lontar.id – Saya tidak pernah membayangkan diriku menjadi seorang tukang ojek di Indonesia. Bagiku, menjadi tukang ojek di negeri ini adalah pekerjaan mulia dan berat.
Ke mana-mana, jika sedang tak ada kendaraan di rumah, saya memakai jasa mereka. Kadang, jika sedang di jalan, saya merancang satu cerita yang menarik untuk sekadar membuat dirinya tidak bosan di jalanan.
Kami berdua biasanya membahas soal politik yang remeh temeh, atau kriminalitas jalanan, dan hal lain. Kadang, perbincangan yang kumulai disambut baik. Jika sudah begitu, maka obrolan kami pun hangat. Apalagi jika di bawah matahari, pasti lebih hangat.
Setiap pekerjaan yang membantu meringankan masalah seseorang adalah pekerjaan yang baik. Semua pekerjaan punya konsekuensinya masing-masing, tetapi soal ojek, konsekuensi sudah di luar nalar.
Bayangkan saja, jika saat hujan badai seorang tukang ojek atau pengendara ojek online, menerima permintaanmu untuk menjemputnya. Tak sebanding itu dengan harganya, jika dipikir-pikir.
Di jalanan yang sudah makin besar, tetapi kendaraan yang bertambah, ia harus menghadapi macet. Belum lagi disemprot asap kendaraan, dan kaududuk manis di rumah sambil menunggunya dengan memakan satu sampai sepuluh biji kacang pilus.
Dalam banyak kasus, setelah melewati itu semua, para tukang ojek harus membesarkan hatinya karena rentan untuk ditipu dengan orang-orang yang tidak punya kerjaan sama sekali. Hobinya menyakiti orang.
Bisa saja para penipu itu punya kerjaan, namun hidupnya belum cukup nikmat jika tak mengerjai para tukang ojek. Ada yang membatalkan pesanan dan ada pula yang meninggalkannya tanpa jejak sama sekali.
Salah satu contohnya, di beberapa daerah, sudah banyak pengendara ojek online memesan makanan seharga ratusan ribu, dan tiba-tiba harus dibatalkan dengan alasan yang kurang jelas.
Menyusahkan apalagi mereka yang memesan ojek online ini? Si pengendara barangkali sudah rela mengantre, bensinnya terkuras, uangnya yang mungkin pas-pasan harus dibelanjakan barang keinginan para pelanggan.
Kita tidak pernah mau mencoba jadi mereka, makanya kita seenaknya saja membatalkan pesanan tanpa ada kejelasan. Maklum, jasa ojek bukan mimpi sewaktu masih sekolah. Tukang ojek di mata orang adalah pekerjaan yang kurang sedap dipandang dengan orang-orang konservatif.
Sampai sekarang saya masih berpikir jauh sekali soal apa alasan mereka membuat hal hina macam begitu. Kasus kedua, Anda mungkin tidak tahu, kalau ada tukang ojek yang harus meninggal karena kecelakaan sebelum ia menjemput pelanggan, mungkin juga kalian yang membaca ini.
Satu kasus itu datang dari seorang perempuan dengan akun Facebook, Ratna Hapsari. Ia membagikan kisahnya sewaktu memesan makanan melalui aplikasi ojek. Saat dinanti, pesanannya tak kunjung tiba ke tangannya.
Kabar tragis datang. Pengemudi ojek online yang menerima pesanan itu, ternyata kecelakaan tragis. Ia meninggal di tempat saat itu juga. Nama pengemudi ojek inline itu adalah Widodo.
Ratna sebelumnya memesan pizza. Awalnya ia sudah melihat, kalau Widodo sedang berjalan menuju kediaman Ratna membawa pesanannya. Nahas, sebauh panggilan telepon mengagetkannya. Teman Widodo mengabarkan bahwa Widodo dapat celaka di Jl. Adisucipto, Solo.
Begitulah resikonya, bayangkan saja jika Anda, seorang pelanggan yang rewel dan suka menipi para ojek online menjadi Widodo atau Ratna. Bagaimana kira-kira perasaan Anda? Kejadian itu menyedihkan benar.
Belum lagi persoalan receh yang kemarin sempat viral. Apa itu? Ya, seorang pengemudi ojek online haruslah tampan. Jika tidak tampan, maka pelanggan akan membatalkan pesanan. Ternyata ada sifat seperti ini di Indonesia.
Ia berdalih untuk melawan tukang risak di media sosial. Katanya ada tombol cancel dalam aplikasi, dan itulah gunanya: membatalkan pesanan. Ia punya hak untuk itu dan ia mengaku seorang anak ekonomi. Ia paham benar teorinya.
Ia bilang, suka-suka dia untuk memesan. Konsumen seharusnya mencari yang lebih baik. Begiti intinya, katanya. Jika toh nanti ia sudah selesai kuliah, atau sedang ingin mencari kerja, seharusnya mereka tidak kaget jika ada aturan para pekerja harus cantik.
Jika suatu saat ia protes, perusaahaan bisa berdalih dengan alasan, kalau itu adalah kebijakan dan hak perusahaan. Kalau kamu merasa jelek, ya tidak usah mendaftar. Cari perusahaan lain yang mau menerima wajah pas-pasanmu. Itu juga kalau ada yang mau.
Omong-omong, trik itu bagus juga dipakai di perusahaan penyedia layanan jasa ojek online. Jadi, nantinya, para pengendara harus cakep, kaya, dan tidak pernah capek. Untuk apa cakep? Biar nanti para pengemudi ojek online tidak lagi ditolak dan tak ada kasus pembatalan pemesanan karena tidak tampan terulang.
Soal kaya, ya itu soal masalah tadi: biar gampang mengikhlaskan uang yang sudah dipakai membeli pesanan pelanggan yang menjengkelkan, yang tiba-tiba hilang entah ke mana saat diantarkan pesanannya.
Ketiga, tidak pernah capek. Kriteria ini sungguh amat penting, sebab untuk meladeni para pemesan yang suka mempermainkan pengemudi ojek online, butuh tubuh yang sehat dan akal yang jernih juga tidak mudah capek. Sebab jika capek, takutnya pengemudi itu depresi dan berhenti bekerja.
Jika kriteria itu sulit dibuat dan dijadikan cetakan biru perusahaan, tidaklah masalah. Mungkin, para pelanggan yang harus sadar diri, kalau para pengemudi juga seorang manusia yang punya perasaan dan butuh uang untuk melanjutkan hidupnya, pada zaman serba merosotnya adab dan moral.