Pak Anhar percaya, arwah perempuan itu akan penasaran karena menaruh dendam kesumat kepada pembunuhnya
Cermis.id – Saya bersama keluarga tinggal disebuah rumah tua reot, tiangnya dari pohon purba. Atap rumah kami ditutupi daun rumbia, dan tepat di belakang rumah adalah hutan.
Kami sekeluarga sudah menetap di rumah itu 20 tahun yang lalu, rumah itu adalah warisan turun-temurun dari kakek. Setiap hari rumah kami hanya diterangi cahaya bulan yang masuk disela-sela atap dan lampu petak yang dipasang di dinding rumah.
Baca Juga:Istri Saya Seorang Parakang I
Setiap malam, pemandangan perkampungan kami yang dihuni sekitar 50 kepala keluarga, nampak gelap gulita. Tak ada lampu menerangi areal sekitar halaman rumah. Jalan setapak depan rumah yang biasa aku lalui saat pergi masuk hutan mencari kayu bakar dan membuat perangkap burung pun tak ada obor yang dipasang.
Kala malam tiba, anak-anak tak ada yang bermain keluyuran. Setiap pagi, saya pergi ke kampung seberang, jaraknya sekitar 10 kilometer dari rumah. Saya memikul setengah karung ubi Jalar untuk dijual di pasar. Uang hasil jualannya saya belikan beras, ikan teri dan menyisahkan sedikit uang untuk tabungan.
Sepanjang perjalanan saya melewati dua anak sungai, sesekali saya harus merebahkan badan untuk istrahat dan mengerikan keringat yang bercucuran. Begitulah aktivitasku setiap hari selain membantu ayah menggarap sepetak ladang di belakang perkampungan.
Namaku Zulkarnain, usiaku hampir menginjak kepala tiga, teman-teman sebayaku sudah menikah dan memiliki anak, mereka menjadi petani dan sesekali berburu hewan di hutan untuk menghidupi keluarganya. Namun saya belum kunjung datang melepas perjakaku, hampir setiap hari tetangga rumah menyuruh untuk segera menikah dan punya anak.
“Nak, kapan kamu kawin, tuh teman kamu sudah punya anak, apakah kamu tak tertarik dengan perempuan,” kata mereka.
Jawabku tetap sama, aku belum menemukan perempuan dambaan hati, yang mampu menundukkan perasaan ini. Tetapi pertanyaan tetangga terus terngiang-ngiang di kepala, seolah sebilah parang tertancap di batok kepalaku, tak pernah hilang meski saya sudah berusaha mengusirnya dari pikiran.
“Tidak, aku ingin menikah tapi bukan sekarang,” pikirku.
Suatu hari, saat aku masuk ke hutan hendak memasang perangkat burung.
Di dalam perjalanan, pikiranku terus diselimuti cerita tetangga yang mempertanyakan anak seusiaku belum juga kunjung kawin, perasaanku terus berkecamuk antara kesal dan membenarkan gosip yang tersebar meluas.
“Kenapa saya harus pikirkan desas-desus itu, toh kalau ada perempuan yang saya sukai, sudah dari dulu saya datang melamarnya.”
Tak terasa perjalananku semakin jauh ke dalam hutan, mataku terus mengawasi tempat burung bersembunyi. Perangkap pertama saya pasang tepat di bawah pohon, jejak burung saya temukan dari sarang yang tak jauh dari perangkap yang saya pasang. Kemudian saya berpindah tempat hendak memasang perangkat burung di tempat lain.
Baca Juga: Ada Hantu Perempuan di Rujab DPR Kalibata
Mataku terus mengawasi dahan pohon, mencari burung di sekitar yang terbang dan hinggap. Tetiba sebuah bekas batang pohon terpampang di belakangku, tak sengajaku injak dan saya pun terjatuh ke dalam jurang yang curam. Prak, badanku jatuh mengenai ranting pohon dan saya terguling jauh hingga tak sadarkan diri.
Hari sudah mulai gelap, cahaya matahari mulai perlahan sembunyi di balik gunung. Saya masih tergeletak pingsan tak sadarkan diri di tengah hutan tanpa ada teman. Ayah di rumah mulai panik mencari keberadaanku. Ia menghubungi tetangga, namun sama sekali tak mendapatkan kabar keberadaanku.
Meski ayah belum mendapatkan informasi keberadaanku, ia yakin saya berada di tengah hutan, karena sejak kecil saya keluar masuk hutan mencari burung. Atas inisiatif Pak Durami sang kepala suku, warga dikumpulkan di halaman rumah, mereka lengkap dengan membawa sebilah parang, ada yang membawa tombak dan masing-masing memegang obor di tangannya. Kepala suku memulai bicara kepada warga.
“Tolong dengarkan semua, Zukarnain anak Pak Hamidin sampai malam ini belum kembali dari hutan. Kita semua harus mencari ke dalam hutan.”
Mulailah dilakukan pencarian, rombongan warga masuk ke hutan dengan cahaya obor jadi penerang jalan. Suasana saat malam hari di dalam hutan terasa mencekam, aura mistis jelas membuat bulu kuduk merinding. Malam itu tak ada cahaya bulan. Praktis hanya cahaya obor yang membelah kegelapan malam.
Baca Juga: Kesurupan Setelah Hadiri Pemakaman Adik Kelas (I)
Berjam-jam masuk hutan mencari keberadaan Zulkarnain, hasilnya pun nihil, tak ada yang menemukan. Pak Anhar salah satu warga paling tua yang mengikuti pencarian itu, berkisah. Hutan tersebut diakuinya sangat angker, bahwa dulu telah terjadi pembantaian sadis satu keluarga.
Pak Anhar mendapatkan cerita itu langsung dari orang tuanya. Dia mengisahkan, saat itu di desa seberang perkampungan hiduplah satu keluarga yang berkecukupan. Mereka memiliki anak dengan paras cantik, selain itu mereka juga punya ladang dan area pertanian. Mereka mempekerjakan beberapa orang buruh mengurusi ladang dan sawahnya.
Singkat cerita, pada suatu petang, datanglah beberapa kompeni di rumahnya. Kedatangannya, tentu karena salah seorang kapten kompeni menyukai anak gadis sang tuan tanah. Tuan tanah yang tak menerima anaknya dibawa kompeni untuk dijadikan budak hawa nafsu, akhirnya terjadi cek-cok. Suara tembakanpun terdengar, peluru tajam menancap di bagian dadanya.
Gadis cantik yang mau dibawa paksa melarikan diri masuk ke hutan, di hutan tersebut ia ditembak dan mati tepat di dekat jurang. Setelah kejadian itu, seringkali muncul cerita warga, bahwa gadis itu menjadi hantu gentayangan. Tetapi sejauh ini, belum pernah ada kabar jika hantu jelmaan dari wanita yang terbunuh di hutan itu pernah mengganggu manusia.
Baca Juga: Disembunyi Kolong Wewe (I)
Tapi Pak Anhar percaya, arwah perempuan itu akan penasaran karena menaruh dendam kesumat kepada pembunuhnya. “Hust, jangan cerita yang aneh-aneh,” timpal Erlang menghentikan cerita Pak Anhar.
Pencarian sudah berlangsung hingga subuh hari, namun tak ada satupun jejak Zulkarnain ditemukan. Kepala Suku menyarankan agar kembali ke perkampungan dan melanjutkan pencarian selanjutnya besok hari. Rombongan pun pulang dan saya masih tersungkur di dalam jurang.
Saat saya terbangun antara sadar dan tidak, saya mulai merabah bagian tubuh, mengecek apakah ada yang patah. Kudapati kaki kanan dan tangan kiriku patah, sekujur tubuh penuh lebam dan luka goresan dari benturan batu.
Baca Juga: ‘Mereka’ yang Tampak Jelang Subuh di Sekitar Unhas
Masih dalam keadaan belum sadar sepenuhnya, saya melihat seorang gadis dengan rambut terurai mendekatiku dan memberikan aku minum.
“Bangun, minumlah sedikit air ini” ujar gadis itu.
“Iya terima kasih, kamu telah menolongku.”
Bersambung
Penulis: Ruslan