Saya Yuni. Depan rumahku ada ratusan pohon pisang yang berdiri di atas sepetak tanah wakaf Pak Muslimin, untuk ditinggali dan ditanami pelbagai macam buah-buahan.
Pak Muslimin sudah tua. Rambutnya putih kecoklatan dan tersisir rapi ke belakang. Minyak rambut yang ia pakai, merk brilkrim. Orang-orang tahu, karena baunya begitu khas.
Kadang aku menanyakan hal yang kurang penting. “Pak Mus, kenapa ya rambut Pak Mus sudah putih, sementara rambut Bapakku belum?”
Pak Mus menjawab seadanya sambil perutnya yang bergelombang berguncang-guncang. “Karena saya sudah ketagihan pakai minyak rambut dari dulu. Mungkin itu yang bikin rambutku jadi putih.”
Kulit Pak Mus berbintil-bintil, seperti orang kena sopak. Meski begitu, Pak Mus tidak malu. Ia senang sekali bermain-main dengan anak seusiaku. Aku masih 7 tahun.
Biasanya, kalau Pak Mus membawakan ibu dan bapak pisang raja. Pisangnya selalu gurih, apalagi jika digoreng. Namun, banyak bijinya. Begitulah seni memakan pisang.
Kami sekeluarga senang makan pisang. Apalagi dicampur mentega dan gula. Kalau pisang muda, ibu langsung mengulek cabai, tomat, dan terasi terlebih dahulu.
Biasanya, pisang yang diberi Pak Mus, akan digoreng dengan cepat, lalu diberikan lagi padanya beberapa biji. Aku pula yang mengantar kalau penganananya sudah jadi.
Kata Ibu, “pemberian harus selalu diusahakan untuk dibalas. Tidak boleh pelit, karena orang pelit pun takkan suka dikikiri.” Begitulah Ibu mengajarkan saya pendidikan moral dasar.
***
Waktu itu, sedang malam. Ibu menyuruhku mengantarkan ubi rebus di rumah Pak Mus. Ada gula pasir yang disiapkan di mangkuk, serta sambal kental yang dicampur parutan ubi.
“Biar bisa jadi pilihan, Nak,” kata Ibu.
Pak Mus itu tinggal bersama anak-anaknya. Rumahnya di samping rumahku, tepat bersebelahan dengan sepetak tanahnya yang kami pakai untuk tinggal dan pohon pisangnya.
Saat jalan ke sana sendiri, aku bernyanyi-nyanyi. Aku suka melantunkan lagu-lagu Sulis dan Hadad Alwi. Itu untuk membunuh rasa takutku saja.
Suasana daerah itu temaram. Rumahku rumah kayu. Lampunya kuning. Kalau sudah menjauh, rumahku tampak menyeramkan. Begitupun rumah Pak Mus.Takut adalah hal yang biasa menurutku.
Beberapa langkah, akhirnya aku sampai di rumah Pak Mus. Ia sedang duduk di atas kursi berkarat yang catnya sudah terkelupas, di teras rumahnya.
“Lagi santai, Pak?”
“Ia, Nak. Eh, bawa apa malam-malam begini?”
“Ini, Pak. Ubi dari Ibu. Sudah ada gula dan sambalnya.”
Tanpa banyak basa-basi, Pak Mus mengambil wadah plastik untuk menyimpan isi tentengan yang kubawa dari rumah. Angin berembus sejuk. Bulu kudukku merinding.
Aku memeluk tubuhku sendiri. Dingin. Suara katak dari parit dekat kebun pisang Pak Mus, depan rumahku, berdengkang ganti-gantian.
Pak Mus belum keluar dari rumahnya.
“Ini, Nak. Tempatnya sudah Bapak cuci. Terima kasih, ya Yun.”
“Oh ya, hati-hati pulangnya,” kata Pak Mus melanjutkan.
“Loh, kan, dekat banget Pak. Emang kenapa?”
“Tidak mengapa, Nak. Hati-hati saja. Dingin.”
Aku mengangguk. Kemudian pamit. Dingin menyergap tubuhku. Aku menghalau ketakutanku usai mendengar Pak Mus bicara. Aku berjalan dengan tergesa-gesa menjauh dari rumahnya.
Berhadapan dengan ratusan pohon pisang, aku mulai merasa tidak enak. Untung saja, aku masih hapal lagu Sulis dan Hadad Alwi. Jadi sambil bernyanyi, langkah juga kupercepat.
“Ya thoybah, ya thoybah…”
Cuman itu lirik yang kutahu. Selebihnya, aku menutup mulutku dan bersenandung. Asyik sekali. Saat berhenti melantunkan lagu yang tak kuhapal penuh liriknya, ada yang bersenandung di tengah-tengah kebun pisang.
Tak ada orang di sana. Kulanjutkan lagi sampai di depan rumah, dan aku berhenti menyanyi di depan pintu. Namun, sayup-sayup terdengar senandung yang sama. Seperti seorang ibu menidurkan bayinya.
Aku melempar pandangan ke seluruh penjuru. Tak ada kulihat apa-apa. Suaranya makin besar dan menganggu. Aku bertanya-tanya soal siapa yang bernyanyi, kemudian masuk ke dalam rumah.
Bersambung