Cerita sebelumnya bisa Anda baca di sini
Jauh di Semarang, pernah tersiar kabar kalau seorang lelaki menjadi preman di salah satu terminal di sana. Kerjanya tiap hari minum, dari sore hingga tengah malam.
Minumannya itu fermentasi anggur dan memabukkan. Kecut. Kabar-kabar tersiar, di atas kursi yang dibuat dari ban bekas yang sudah tipis kulitnya, bersama teman-temannya, mereka biasa duduk bersama.
Ada meja kotak yang terbuat dari papan bekas rumah reyot, hasil gusuran pemerintah kota. Papan itu masih kasar. Tidak dihalusi dengan baik.
Konon, anak-anak tukang pulung, mencabut papan-papan itu dan dijual pada Jarwo. Ya, Jarwo itu nama preman yang santer diberitakan belakangan ini.
Terbilang bagus karena Jarwo membeli hasil pulungan anak-anak tersebut. Biasanya, ia cuma tinggal palak saja. Mau ambil minuman pun, biasanya dia mengutang.
Pernah, Jarwo bersama temannya, enggan bayar minuman yang sudah mereka ambil. Satu, dua, sampai tiga botol anggur. Saat ditagih, kerak lendir disemprot Jarwo. Celaka, lendir itu menempel di muka tauke.
Tauke yang geram kemudian menelepon polisi di sektor terminal itu. Saat ditelepon, polisi langsung bergerak cepat. Kebetulan, para polisi sudah berapa kali dibikin jengkel dengan Jarwo dan kawan-kawan tengiknya itu.
Dengan mobil bak terbuka karatan yang di belakangnya ada resbang kayu yang panjang, para polisi menyamperi bajingan pengacau terminal di Semarang itu.
Dor! Satu peluru tajam ditembakkan ke udara. “Cuk! Udah, menyerah aja sampeyan. Kalau tidak menyerah, takutnya mulut pistol ini ciuman sama bibirmu.”
Orang-orang tidak ada yang lari. Gimana mau lari, kalau pelurunya diarahkan ke langit. Para penumpang, kernet, kondektur, dan sopir bus tidak kaget. Mereka asyik menonton. Para sopir membatin, “ini hari kaumodar, Jar…”
Cuma seekor monyet saja yang ketakutan. Ia memeluk kaki majikannya, yang cari nafkah menghibur para penumpang anak-anak kecil. Motor mini si monyet dibiarkan tergeletak begitu saja.
“Apa maksudmu datang ke sini?” Jarwo membentak para polisi itu. Ia tak mengerti apa salahnya. Ia berdiri, datang, dan memperbaiki resleting celana gombrangnya di hadapan polisi.
“Saya ke sini datang untuk mencabut nyawamu, Su. Tauke nelpon, katanya sampeyan ludahi mukanya dan tidak mau bayar minuman.”
“Terus, apa urusanmu?”
“Ya, karena kami ini penjaga keamanan di sini, Su.”
“Banyak bacot kau!”
Tembak diarahkan ke kepala Jarwo saat itu juga. Celaka dua belas. Yang disasar kepala, malah kena paha pangkal paha. Jika meleset, isi celana Jarwo bisa mati.
“Jing…”
Jarwo tumbang disertai erangan pedih. Teman-temannya kabur meninggalkan dirinya sendiri. Para polisi itu juga meninggalkan Jarwo. Tersisa keheningan. Monyet yang bertopeng pelan-pelan melepas pelukannya dari kaki majikannya.
Para penumpang terdiam. Seorang sopir membuka pintunya pelan-pelan. Dengan langkah cepat, ia melihat Jarwo yang tersungkur. “Tolong, antar saya ke rumah, Mas.”
“Di mana, bang Jarwo?”
Dibisiki lah sopir baik hati itu. Ia mengangguk pasti. Jarwo kemudian dibopong dan didudukkan di kursi kernet. Para penumpang tepuk tangan. Sopir itu jadi pahlawan.
Di rumah Jarwo, seorang perempuan yang hamil tua sedang memasak ikan nila dan sayur asam. Ia menanti Jarwo pulang. Ia tahu, suaminya bawa uang yang banyak hari ini.
Ia mencintai Jarwo, meski tiap hari ia menerima gamparan. Bibirnya pernah pecah, pelipisnya pernah robek, pipinya pernah lebam dihajar Jarwo.
Ia benar-benar mencintainya. Ia tidak tahu, atas perasaan cinta itulah, sesuatu yang tak pernah ia duga dan seantero Semarang, akan menimpa dirinya, Si Budak Cinta.
Bersambung…