Lontar.id – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan salah satu koalisi partai (oposisi) pengusung pasangan Prabowo-Sandiaga pada pemilu 2019. PKS bersama dengan Gerindra, PAN dan Demokrat sama-sama berjuang memenangkan duet Prabowo-Sandi. Namun hasil pemilu berkata lain, Joko Widodo (Jokowi) yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin, keluar sebagai pemenang.
Koalisi Prabowo-Sandi awalnya sangat solid bekerja. Meski tak membuahkan kemenangan, namun mereka telah bekerja maksimal. Pada akhirnya, Prabowo kalah dan koalisi oposisi mulai bubar teratur. Satu persatu partai oposisi–baik PAN, Demokrat, maupun Gerindra bahkan mulai membuka komunikasi dengan Presiden terpilih dua periode, Jokowi.
Bahkan induk koalisi mereka, Gerindra disebut-sebut telah menghasilkan deal-deal politik terkait jatah kursi Menteri dan unsur pimpinan di Parlemen.
Berbeda dengan sikap PKS yang tak mau ikutan mendulang asas manfaat dari koalisi pemerintah, hanya karena jabatan lalu merelakan segalanya. PKS bersikukuh, bahwa harus ada partai oposisi murni di pemerintahan. Fungsinya menjaga marwah demokrasi agar tidak dibajak melalui kekuasaan yang terlalu besar tanpa ada koreksi.
Seperti yang dikatakan Ketua DPP PKS, Andi Akmal Pasluddin. Menurutnya, sebagai partai yang kalah di pemilu, mereka akan konsisten berada di luar pemerintah. Tugasnya mengontrol jalannya pemerintahan, menegur eksekutif bila memanfaatkan jabatan untuk kepentingan individu kelompok dan partai politik. Meski pada akhirnya yang tersisa adalah PKS sebagai oposisi tunggal.
“Kalau kita inikan jelas, kemarin kan kita gagal mengusung presiden, ya kita oposisi saja. Kalaupun nanti PKS sendiri di luar (Pemerintahan) enggak apa-apa, itu sudah konsekuensi. Yang jelas kita tidak akan masuk di Kabinet Jokowi, karena faksun politik PKS begitu,” kata Andi Akmal Pasluddin kepada lontar.id saat dihubungi, Jumat (11/10/2019).
Andi Akmal Pasluddin merasa khawatir masa depan demokrasi, juga masyarakat, apabila semua partai politik merapat ke Jokowi-Ma’ruf. Tak ada lagi partai yang bisa menjadi jembatan suara lapisan masyarakat di bawah, karena semua partai sudah digembosi oleh pemerintahan.
Gabung ke Pemeritah jelas akan tersandera. Sedikit saja bermanuver akan langsung disentil. Berbeda halnya dengan oposisi tanpa beban kepentingan bila menyuarakan aspirasi dan kritik terhadap kebijakan yang tidak pro terhadap masyarakat.
“Ada kekuatan oposisi dan korektif, bukan untuk menjatuhkan (presiden), tapi oposisi yang konstruktif yang bisa memberikan solusi dan mengoreksi kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat dan janji-janji politik mereka,” ujar Anggota DPR dua periode ini.
Kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap masyarakat kata Akmal, berkaitan dengan kebutuhan dasar, kebutuhan setiap hari yang harus dipenuhi. Seperti kebijakan pemerintah yang menaikan tarif dasar listrik yang menyengsarakan rakyat.
Pemerintah kata Akmal, seharusnya tidak menaikkan tarif listrik karena akan berpengaruh dengan hasil pendapatan masyarakat kecil. Kebijakan lain yang sedang disoroti PKS terkait dengan kenaikan tarif BPJS.
“Kayak sekarang kita menolak kenaikan BPJS dan kenaikan tarif dasar listrik. Kalau jadi masuk di koalisi pemerintah, enggak bisa bersuara kita. Sementara realitasnya masyarakat butuh kanal untuk menyuarakan kepentingan mereka di Parlemen,” ujar Politisi asal Sulsel tersebut.
PKS lanjut Akmal, sadar betul dengan posisi sebagai partai oposisi, dan secara kuantitas PKS hanya 50 kursi, memang tak akan sanggup menang bila terjadi voting menyangkut kebijakan yang sedang diperjuangkan. Karena pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak dan PKS dapat dipastikan bakal keok melawan partai pro pemerintah dengan koalisi gemuk.
Tapi kata Akmal, bukan soal kalah di parlemen yang utama, melainkan adanya perhatian terhadap nasib bangsa dan negara. Bila semua usaha telah dilakukan termasuk melakukan lobi dengan sejumlah partai politik, terapi hasilnya nihil. Paling tidak, PKS telah berusaha melawan, dan tidak diam melihat permasalahan negeri ini.
“Jelas sangat jauh, kita kan (PKS) cuma 8,70 persen. Pasti kalahlah, tapi setidaknya kita tidak diam dengan masalah di negeri kita. Kita bukan soal menang dan kalahnya, cuma yang menjadi suara masyarakat harus disampaikan. Urusan menang kalah itu belakangan,” ujar Akmal.
Akmal menjelaskan, sejak awal PKS menutup diri dari komunikasi politik atau deal-dealan dengan pemerintah. Sebab PKS sudah seiya-sekata untuk menolak bergabung. Meskipun mantan partai pengusung Prabowo lainnya hampir pasti merapat dan mendapatkan jatah kursi Menteri.
“Kalau yang lain kan sudah, yang tegas menolak itukan Cuma PKS saja. Kalau Gerindra, Demokrat dan PAN mereka sudah mendukung malahan,” ucap Akmal.
Editor: Syariat