Lontar.id – Pertemuan Prabowo Subianto dan Megawati, kemarin, menjadi isu sentral di media massa. Kedua tokoh yang saling dibingkai seperti bersitegang pada pemilu 2019, duduk anteng bersama.
Biasalah, ada asumsi bahwa Prabowo sowan ke Megawati bukan sekadar silaturahmi biasa, melainkan punya tujuan tertentu yaitu bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma’ruf.
Desas-desus mencuat, kalau pertemuan itu untuk mengakomodir keinginan Gerindra yang mengincar kursi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan dua posisi kunci di Kementerian.
Sudah banyak tanya kepada Gerindra, tetapi mereka masih terlihat malu-malu mengakui kalau sebenarnya, di balik layar, ada lobi dan minta upeti.
Sebelum bertemu Megawati, Prabowo terlebih dahulu menemui Jokowi di MRT. Setelahnya baru bertemu dengan Megawati. Untuk apa mereka bertemu tanpa ada tujuan besar selain menurunkan tensi politik?
Jauh dari Jalan Teuku Umar, partai koalisi juga bikin pertemuan dan mengundang Anies Baswedan. Oposisi dan koalisi unjuk gigi. Dari kabar burung lagi, partai pengusung Jokowi-Ma’ruf menolak Gerindra masuk dalam koalisi, karena berpotensi mengambil kursi MPR.
Partai pengusung telah membaca manuver Gerindra, sehingga partai oposisi diminta untuk tetap berada di luar koalisi, agar tidak mengganggu pembagian jatah partai koalisi.
Lepas dari itu, ada fenomena menarik yang menurut saya penting dibahas dalam pertemuan Prabowo dan Mega. Bukan sekadar nasi goreng, tetapi merefleksi kembali kejadian pada saat pemilu.
Dulu kubu Prabowo kerap menyerang Jokowi menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pemilu, menfaatkan fasilitas negara, ASN, hingga melibatkan politik identitas.
Di publik, kita melihat seolah terjadi ‘perang’ politik yang sengit antara kedua paslon. Kubu Prabowo menyerang dan kubu Jokowi-Ma’ruf kadang bertahan dan sesekali menyerang balik.
Lapor melapor dari relawan dan pendukung seringkali menghiasi dunia pertelevisian. Seolah mereka sedang dalam keadaan perang dan negara sedang genting.
Pada akhirnya setelah Jokowi ditetapkan sebagai pemenang pemilu dan Prabowo kalah, kedua tokoh ini bertemu dan memperlihatkan keadaan yang sebaliknya. Adem sih, tapi…
Sekarang fenomena pertarungan Prabowo dan Jokowi di pemilu 2019, dapat dibaca dalam konteks teori dramaturgi politik. Apa yang dilakukan elite politik pada saat pemilu, hanya bersandiwara. Semua sudah dicatat dalam skenario. Hanya saja, penonton cenderung berempati pada salah satu atau kedua aktor yang memainkan perannya.
Dalam teori dramaturgi, penampilan Prabowo dan Jokowi di atas arena panggung dapat disebut sebagai front stage (depan panggung). Apa yang dilihat oleh publik adalah aksi front stage.
Tetapi publik tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di belakang panggung (back stage). Bisa saja kedua tokoh tersebut saling gontok-gontokan di arena panggung, namun berpelukan di belakang.
Di depan panggung mereka akan tampil seperti apa yang diinginkan penontonya, melakukan hal-hal besar bahkan diidentikan sebagai pahlawan penyelamat negara dari kehancuran.
Tetapi ketika pertunjukan selesai, Prabowo dan Jokowi saling menujukkan karakter aslinya. Bahwa mereka berdua tampak biasa-biasa saja.
Karakter asli kedua calon bisa kita buktikan pada saat usai pemilu, ketika Prabowo Bertemu Jokowi MRT dan Megawati di rumahnya. Jadi apa yang terjadi pada pemilu, hanyalah sandiwara.
Masih ingin mendukung Prabowo dan Jokowi, kawan-kawan?
Ditulis oleh Ruslan.