“If love, then what?” tanya seorang perempuan muda yang ditinggal suaminya kepada Dokter Minor.
“Then love” jawab sang perempuan muda itu kembali setelah dokter Minor hanya diam dan mengiggil mendengar pertanyaan sang perempuan. Kita bisa mengerti, pertanyaan itu tidak mudah hingga membuat tubuh dokter Minor menggigil.
Percakapan di atas adalah yang paling saya sukai di antara adegan-adegan percakapan yang lain. Meski demikian, film The Professor and The Madman (2019), bukanlah film romantis. The Professor and The Madman merupakan film yang berkisah tentang sejarah penyusunan salah satu karya besar di dunia, Kamus Oxford atau Oxford English Dictionary (OED).
Tak hanya tentang sejarah pembuatan OED, kisah juga dibaluti dengan percintaan, pengorbanan, amarah, dan yang paling utama adalah tentang sebuah kegilaan. Seperti judul filmnya, kita bisa langsung menebak bahwa film ini menarasikan kisah seorang manusia yang tersebut gila.
Pengalaman traumatis Dokter Minor sebagai salah satu tenaga medis di peperangan menjadikannya sangat mudah menciptakan ketakutan-ketakutannya sendiri. Fase kritis dalam hidupnya terjadi setelah membunuh seorang laki-laki yang kemudian mengantarkannya sebagai salah satu tokoh yang memiliki konstribusi terbesar dalam penyusunan OED.
Di dalam sel rumah sakit jiwa, Dokter Minor dirawat. Tidak ada perawatan yang berarti bagi kesehatan mental dan jiwanya, sampai ia bertemu dengan tumpukan buku. Buku menyembuhkannya, buku pula yang membuatnya jatuh cinta kembali.
Tokoh penting lainnya adalah James Murray atau The Professor. Meski tidak menempuh pendidikan formal, dengan kecerdasannya, ia dinobatkan sebagai ketua tim penyelesaian OED. Bersama keluarganya, Murray berangkat ke Oxford bersama kelima anaknya.
James Murray kemudian bertemu dengan Dokter Minor setelah Murray menyebarkan pengumuman kepada siapapun yang menggunakan bahasa Inggris bisa menawarkan diri menjadi kontributor pembuatan kamus.
Pengumuman tersebut sampai di tangan Dokter Minor. Bersama ketakutan-ketakutannya, di dalam sel, Dokter Minor menyusun, membaca dan mencari kutipan, dan secara teratur mengirimkan kutipan-kutipan tersebut kepada Murray. Tak kurang dari 10.000 kutipan telah disumbangkannya untuk membantu tim penyusunan kamus yang diketuai Murray.
Bagi Murray, kehadiran kutipan-kutipan dari Dokter Minor sangat berarti. Ia secara khusus menuliskan ucapan terima kasih di bagian pengantar kamus. Hingga pada suatu waktu, setelah menyelesaikan separuh pembuatan kamus, Murray memutuskan bertemu dengan Dokter Minor.
Masalah hadir setelah Dokter Minor jatuh cinta dengan perempuan yang merupakan isteri dari orang yang dibunuhnya. Ia mengajarinya membaca dan menulis dan kembali saling jatuh cinta setelah pertemuan beberpa kali. Peristiwa itu membuat Dokter Minor dikepung oleh ketakutan. Ia kemudian melukai dirinya sendiri setelah sang perempuan bertanya, if love, then what? Periwatiwa itu juga yang menjadikan Dokter Minor memutuskan berhenti menjadi kontributor OED.
Puncaknya adalah saat orang-orang mengetahui jika salah satu kontributor terbesar EOD adalah seseorang yang memiliki gangguan kejiwaan. Murray dipecat dan dikeluarkan dari tim penyusunan sampai akhirnya dipanggil kembali dan menyelesaikan penyususan OED sampai huruf T, sebelum ajal menjemputnya.
Berbeda dengan bukunya yang 10 tahun terbit lebih awal. Film ini tetaplah hasil adaptasi dari buku karya Winchester dengan judul yang sama. Beberapa narasi disederhanakan, misalnya dalam film tidak diceritakan latar belakang hidup James Murray sebagai anak yang berasal dari keluarga sangat miskin dan harus putus sekolah sampai mampu mendapat gelar professor. Gelar yang diraih melalui pendidikan tidak formal.
Selebihnya, film ini tetap mengagumkan. Kisah yang tersaji membuat kita mafhum bagaimana suatu kamus disusun dan menjadi rujukan di seluruh bidang ilmu pengetahuan. Kamus yang lahir dari pergulatan hidup seseorang yang tersebut gila. Hal itu juga membuat kita berpikir, semesta bahasa barangkali hanya dimengerti oleh mereka yang justru hidup dalam “kegilaan-kegilaanya”.