Jakarta, Lontar.id – Greenpeace Indonesia menyebut, dalam sebulan terakhir kualitas udara di DKI Jakarta tergolong kategori tak sehat alias berpolusi udara yang cukup tinggi.
Dalam foto-foto yang diabadikan Lontar, tampak langit Jakarta diselimuti kabut polutan. Padahal, cuaca di Jakarta jika siang hari, cukup terik dan sesekali saja turun hujan.
Menyoal itu, Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak mengatakan, ada dua faktor penyumbang polusi udara di Jakarta. Pertama adalah jumlah kendaraan bermotor di Jakarta semakin meningkat setiap tahunnya.
“Sehingga meningkatkan emisi kendaraan bermotor,” bebernya.
Sementara faktor kedua adalah, adanya pembangkit listrik tenaga uap batu bara dalam radius 100 meter di sekitar Jakarta. PLTU itu dituding berkontribusi menyumbang 33-36 persen polusi udara di Jakarta.
“Greenpeace juga melihat di sekitar Jakarta dalam radius 100 kilometer, ada pembangkit listrik tenaga uap batu bara. Jadi, itu juga penyumbang serius polusi udara di Jakarta,” tambah Leonard.
Jakarta menempati puncak daftar kota paling berpolusi di Asia Tenggara pada tahun 2018, menurut hasil studi oleh Greenpeace dan IQ AirVisual yang dipublikasikan pada Selasa (5/3/2019).
Udara Jakarta dinilai kualitasnya dengan indikator PM 2.5 pada tahun 2018, yakni 45,3 mikrogram per meter kubik udara. Adapun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan pedoman kualitas udara rata-rata harian 25 mikrogram per meter kubik udara.
“Rata-rata harian kualitas udara di Jakarta lebih buruk 4,5 kali lipat dari batas aman dan batas sehat yang ditetapkan oleh WHO. Angka itu juga meningkat dibanding tahun 2017, di mana rata-rata harian kualitas udara di Jakarta adalah 29,7,” tutup Leonard.
Naskah dan foto: Ghazali