Masa lalu itu adalah bunga kenangan. Ia mekar tidak tiap hari, hanya pada momen tertentu. Cuma orang picik yang ingkar.
Lontar.id – Tidak ada yang benar-benar memuaskan keinginan saya dalam debat Pilpres 2019 beberapa malam yang lalu. Jokowi sudah jadi politisi tulen: pandai bersilat lidah.
Barangkali karena sudah ada kisi-kisinya makanya sudah tidak menarik lagi. Tentu saja ini hanya asumsi saya. Perlu tinjauan khusus dan pendalaman untuk mengukurnya.
Prabowo terkesan lebih jujur dalam debat itu. Kalau ia bilang ada korupsi di Gerindra, ia bilang ada. Awalnya ia mengaku belum melihat data Indonesia Corruption Watch (ICW).
Kejujuran yang sudah tepat. Partai memang jadi sarang penyamun. Apapun. Prabowo bertanggung jawab atas pertanyaan Jokowi yang menyoroti tanda tangannya memberi rekomendasi bagi orang untuk maju jadi legislator.
Serangan Jokowi telak sekali semalam. Bahkan membuat Prabowo gerah dan memilih berjoget. Untuk menambalnya, Sandi bahkan harus memijat eks ketuanya di Gerindra itu.
Menyenangkan sekali mendengar sebuah pengakuan-pengakuan yang perlu disampaikan ke publik agar kita berhati-hati. Ini memilih calon pemimpin loh. Minusnya sudah diakui secara terbuka.
Setelah Jokowi menyerang dan Prabowo menjawab, saya membayangkan satu cerita fiksi dalam kepala saya. Soal betapa menyenangkan kejujuran itu. Meski agak janggal dalam dunia politik.
Satu contoh saja, bagaimana seorang mengaku pembunuh dan datang ke polisi untuk membeberkan kesalahannya. Masa lalu menghantuinya.
“Pak, tolong penjarakan saya.”
“Loh, Anda ini kenapa ya?”
“Saya membunuh orang. Ia menghina saya. Saya tidak tahan. Ini soal harga diri saya, Pak. Tapi saya akui kesalah saya.”
“Tunggu. Mengapa Anda melakukan hal itu? Maksud saya, mengapa Anda secara jujur mengakui hal itu?”
“Begini, Pak. Saya dihantui melulu dengan dosa yang sudah saya perbuat. Hidup saya makin tidak enak setelah membunuh orang. Setidaknya, hukuman bisa membalas semuanya.”
“Baiklah. Kalau begitu, di mana Anda simpan mayat orang yang sudah Anda bunuh? Bagaimana cara Anda membunuhnya?”
“Saya menyiksanya pakai selang saja. Ia kududukkan di kursi, mengikatnya, kemudian memasukkan selang kecil ke hidungnya dan kualiri air sampai ia tersiksa lalu mati. Di belakang rumah saya, ia kukubur hidup-hidup untuk menghilangkan jejak.”
Begitulah satu cerita itu pada akhirnya. Kesalahan apapun selalu punya dampak besar. Ia menghantui terus-menerus. Nurani akan berontak, jika kita salah.
Seperti kata Buya Hamka, ketika kau berbuat salah, mulutmu bisa bohong. Namun, hatimu tidak. Jika kata hatimu bicara, ikutilah ia. Tuhan mengontrolnya langsung. Sebenarnya, hati takkan bisa bohong.
Ini baru menyorot Prabowo dalam pengakuannya soal korupsi dalam partai. Belum yang lain. Saya tidak tahu, kejujuran apa lagi yang akan membuat Prabowo limbung.
*
Agak gemas dengan Jokowi setelah melontarkan pernyataan bahwa ia dan kabinetnya yang notabene orang partai punya hak untuk mengisi jabatan.
Padahal, sebelumnya, ia berjanji untuk tidak memakai orang partai dalam kabinetnya. Namun, ya, tidak ada niatan ia mau kembali melihat ke belakang.
Ia tertawan. Sebab begitulah realitasnya. Jokowi juga dengan telak membungkam kutipan Harold Laski kalau manusia adalah tawanan masa lalu. “Saya tidak punya beban masa lalu,” kata Jokowi dalam debat semalam.
Padahal banyak rekam jejaknya yang tak mampu ia hilangkan. Saya mafhum, dan sadar kalau ia mau menang. Begitulah palagan politik kita, segala cara dipakai untuk menjadi jawara.
Saya pernah punya kisah. Kawan saya itu punya banyak sekali mantan pacar. Namun, pada pacarnya yang sekarang, ia mengaku tak punya mantan.
Hubungan jalan seperti biasa. Pacar kawan saya itu bahkan kepincut sekali dengan kawan saya. Kawan saya sering membantu orang tua pacarnya membersihkan parit.
Kawan saya juga sederhana sekali. Meski ekonominya kelebihan, ia tampil sederhana. Ini jadi hal kedua yang membuat pacar kawan saya itu klepek-klepek.
Tidak selamanya berjalan lurus, ia pernah bertengkar hebat. Pertempuran sepasang kekasih ini berjalan cukup alot. Kawan saya kedapatan chating-an dengan mantan pacarnya.
Saat kedapatan, pacar kawan saya tak langsung memberi tahu kawan saya. Ia menelepon dulu perempuan mantan pacar kawan saya.
Berhamburan pertanyaan dari mulut pacar kawan saya. Intinya, kawan saya khianat dan bohong. Kawan saya terus bersikukuh tak punya mantan pacar.
Mungkin karena capek bertengkar. Pacar kawan saya meminta maaf karena menuduh kawan saya bohong. Ia belum mau pisah, sebenarnya.
Mengapa? Karena soal itu tadi. Ia sederhana dan rajin membantu ayahnya turun ke parit. Jatuh cinta memang bikin orang tak lagi waras meski tahu dibohongi.
Dua kisah fiksi di atas adalah fiksi, dan bisa diambil pelajarannya. Kita sedang menghadapi dua orang yang sama. Satunya mengaku salah, dan satunya berkelit.
Kalau belum cinta-cinta amat, saya sarankan untuk golput sajalah. Jika sudah cinta, silakan pilih salah satunya. Toh, sudah berapa kali berganti presiden, hidup kita (silakan isi yang di dalam kurung).