Lontar.id– Sebagai masyarakat Bugis, saya risih dengan kata animisme yang seringkali disematkan kepada kepercayaan nenek moyang masyarakat Bugis. Anehnya, penggunaan kata animisme itu juga banyak dihadirkan oleh orang-orang yang juga bersuku Bugis-Makassar. Meski demikian, istilah animisme ini telah digunakan untuk menyebut seluruh agama nenek moyang, entah itu yang datang dari pulau Sulawesi, Sumatera, Papua, Kalimantan, begitupun dengan Jawa.
Animisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti kepercayaan terhadap roh yang mendiami semua benda (pohon, batu, sungai, gunung, dan sebagainya).
Wikipedia mengartikannya lebih panjang lagi. Ia mengatakan animisme adalah kepercayaan kepada makhluk halus dan roh merupakan asas kepercayaan agama yang mula-mula muncul di kalangan manusia primitif.
Bagi Wikipedia, kepercayaan animisme mempercayai bahwa setiap benda di bumi ini, (seperti kawasan tertentu, gua, pohon atau batu besar), mempunyai jiwa yang mesti dihormati agar roh tersebut tidak mengganggu manusia, malah membantu mereka dari roh jahat dalam kehidupan seharian mereka.
Menurut Wikipedia, diperkirakan bahwa di provinsi Kalimantan Barat masih terdapat 7,5 juta orang Dayak yang tergolong pemeluk animisme, dan tergolong banyak untuk pemeluk animisme di Indonesia. Selain daripada jiwa dan roh yang mendiami di tempat-tempat yang dinyatakan di atas, kepercayaan animisme juga mempercayai bahwa roh orang yang telah mati bisa masuk ke dalam tubuh hewan. Roh-roh orang yang telah mati juga bisa memasuki tubuh babi atau harimau dan dipercayai akan membalas dendam orang yang menjadi musuh bebuyutan pada masa hidupnya. Bahkan hal tersebut dipercayai sampai turun temurun.
Jika melihat KBBI mengartikan animisme sesederhana itu, jelas kepercayaan nenek moyang kita, dalam hal ini dalam konteks masyarakat Bugis tidak bisa diganti dengan istilah animisme.
Wikipedia memang mengartikannya lebih panjang meskipun tidak bisa mewakili hati saya sepenuhnya jika harus mengatakan kepercayaan terhadap Dewata dalam masyarakat Bugis sebagai animisme.
Maksud saya, adalah setiap kepercayaan memiliki namanya masing-masing. Misalnya, di Sulawesi Selatan ada yang disebut dengan To Lotang. Suku Dayak dikenal dengan Kaharingan.
Selain itu, dalam kepercayaan masyarakat Bugis bukan sekadar penyembahan terhadap pohon, laut, dan gunung. Akan tetapi, mereka menghargai dan menjaga kelestarian alam. Bahkan, dalam masyarakat Bugis, setiap selesai panen, harus dilakukan sebuah ritual yang menunjukkan bahwa alam sebagai sesuatu yang sakral.
Pelras dalam bukunya The Bugis (1996) menyebut masyarakat Bugis memiliki entitas spiritual abadi yang dinamakan Dewata Sisine ‘Yang Maha Esa’ yang dilihat dari teks-teks I Lagaligo. Dari entitas tersebut, setelah turun tujuh lapis langit, bumi, dan tujuh lapis dunia bawah diciptakan, muncul sepasang dewa yang disamakan dengan matahari dan bulan yang masing-masing bernama La Tepu Langi’ (Langit Segenap) dan We Sengngeng Linge’ (Ciptaan Sempurna).
Bersamaan dengan itu, bintang-gemintang pun tercipta dari pertemuan pasangan Sang Matahari dan Sri Bulan saat gerhana terjadi, lahirlah pasangan dewa lain yang ditiup nafas oleh Dewata Sisine. Pihak laki-laki dari pasangan ini, juga seorang Dewa Matahari, bernama La Patigna- sedangkan dewinya bernama We Lette Sompa, dan seterusnya.
Kepercayaan terhadap dewa-dewa inilah yang kemudian dipercaya sebagai titisan untuk mengatur berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan, Tengah, Tenggara, hingga Sumbawa dan Kalimantan Timur.
Dalam melihat kepercayaan masyarakat Bugis, kita harus menjumpai siklus dan proses penciptaan manusia serta jagat raya terlebih dahulu yag komples. Dan oleh karena itu, dapat semakin meneguhkan bahwa animisme atau kepercayaan terhadap bendawi tidak dapat secara langsung digunakan untuk menamai kepercayaan nenek moyang kita.