Haruskah para tetua kembali membanggakan masa lalunya, soal siapa yang lebih bijak dalam memperlakukan guru?
Jakarta, Lontar.id – Saya ingat betul bunyi belebas yang dihantamkan ke tangan saya, waktu kuku saya kotor. Guru saya bilang itu tai kuku. Ia benar peduli sekali, kuku saja yang persoalan sepele dia urusi. Luar biasa.
Seusai menghantam tangan saya yang mungil-ya, karena waktu itu saya masih SD. Ia melihat tangan saya. Dengan nada pelan, ia berbisik: kukunya nanti digunting ya, Nak.
Saya mengangguk. Saya paham apa mau ibu guru saya itu. Saya menghabiskan masa belajar sehari dengan nuansa yang agak lain. Malu besar pada teman-teman sebab imajinasi saya, kuku kotor identik dengan bandel.
Saya pulang ke rumah pada siang hari. Kan, saat itu saya masuk pagi. Di meja sudah ada makanan. Ayam tumis kecap. Bagian paha ayam itu bikin saya ngiler sekali. Baunya saja sudah sedap. Kau bayangkanlah bagaimana kecap masuk ke daging, lalu aromanya masuk ke hidungmu.
Ingin makan, saya jadi berpikir untuk melepas pakaian dulu. Mana tahu, nanti orang tua saya marah. Bisa tidak, baju sekolah dilepas dulu, digantung, ganti baju, baru makan? Itu kalimat yang menghiasi masa kecil saya.
Pekerjaan pertama selesai, tinggal cuci tangan. Kuku saya perhatikan secara seksama. Kotor betul. Tak mengapa, yang penting sudah dicuci bersih. Begitu alasan buruk yang sering kupikir saat masih bocah.
Saya memburu meja makan yang diam. Mengambil satu paham ayam matang yang sudah dilumuri kecap serta sedikit lada. Manis dan pedas bercampur bersama nasi yang matangnya pas. Uap mengebul bersama bau ayam tumis kecap.
Tubuh yang kecapaian merasa bertenaga kembali sesudah makan, seusai belajar dari pagi sampai siang, dicampur jalan kaki di bawah terik dari sekolah ke rumah. Piring sudah tandas. Celaka, ini celaka, saya saat itu ngantuk.
Saya jadi tidur siang. Sebab sering diingati orang tua untuk tidur, dan hasilnya saya jadi mencintai rutinitas itu sampai sekarang. Meski sebelumnya ada pergolakan, kalau saya harus main pada siang hari.
Bangun tidur, saya dapati orang tua saya berada di halaman rumah. Duduk membaca buku agama. Saya hampiri, kemudian bercerita soal kelakuan guru yang membuat saya malu.
Ayah saya mengernyitkan dahi. Saya kira ia akan marah ke guru, namun pikiran saya salah. Ayah saya mengingatkan saya karena abai pada hal sepele seperti itu. “Coba lihat tanganmu, bagus dilihat atau tidak?”
Saya mendekatkan tangan saya ke wajah. Mengerikan betul. Kuku jari saya sudah menebal, dan isinya tanah atau mungkin lumpur yang berwarna hitam. “Agama juga melarang kalau kuku kotor.”
Kuku bukannya tidak boleh kotor dan panjang. Boleh saja, tapi dibersihkan jangan lupa. Apalagi kalau hari Jumat. Banyak pekerjaan yang mengharuskan kuku untuk kotor. Petani, buruh bangunan kasar, pengangkut sampah yang digaji kompleks dan pemerintah.
Saya makin malu. Ternyata memang saya salah. Soal aduan hantaman penggaris dari guru, saya ceritakan juga. Ayah bilang tidak apa. Harus dikerasi katanya, biar mental kuat dan tidak cengeng.
“Gurumu digaji untuk perhatikan kau. Bukan mengabaikan hidupmu. Kau tidak mati karena pukulan gurumu. Lagipula kau yang salah.”
Saya diam tertunduk. Saya salah.
***
Kemudian tubuh saya semakin besar, lebar, dan meninggi berikut tahun yang terlampau jauh untuk dikembalikan ulang saat masih kanak-kanak.
Guru saya berangsur susut dan keriput. Mereka menua. Ada yang dulunya cantik, sekarang sudah layu dimakan usia. Pendidikan sekolah bertahan hingga puluhan tahun lamanya hingga sekarang.
Sudah banyak yang berubah. Dari kapur ke spidol. Dari guru yang dihargai lalu tidak. Yang tidak berubah, murid nakal akan selalu sama, dan moralis tua akan tetap ada di tempatnya, memantau perkembangan dan berkomentar sesuka hatinya.
Sebut saja saya seorang moralis. Posisi saya rentan untuk tidak disepakati oleh Anda. Ya ya ya, saya paham. Dunia ini kejam saat digiring ke wajah maya.
Sebab terenyuh sekali, dengan modal semangat, saya menulis ini sembari menciptakan dendam pada anak badung. Dia nakal, bukan berarti kurang ajar, karena saya paham orang tua mereka mengajarkan hal yang baik-baik. Kalau kalimat yang sering saya dengar: dia hanya ingin menujukkan eksistensinya. Oh, ya?
Didasari dari kisah kusam dari tanah Jawa. Ini menjadi preseden buruk kedua, setelah kabar dari pulau Sulawesi perihal orangtua murid menghantam guru anaknya dalam suatu waktu.
Guru tua itu, kemejanya, dipenuhi darah akibat bogem mentah. Tersiar kabar kalau pelipis kirinya robek dan hidungnya terkupas saking kuat dan seriusnya pukulan orangtua murid.
Nama guru itu Dasrul. Ia telah berpulang akibat kecelakaan tragis. Anda boleh cari jejak digitalnya. Namanya melambung karena sempat diberitakan banyak media sebagai orang yang bermasalah dengan anak muridnya, MA.
Setelah bermasalah, MA melapor pada ayahnya. Terlalu sayang, ayah MA kemudian datang ke sekolah tempat Dasrul mengajar, tepatnya di SMK Negeri 2 Makassar pada satu siang yang cerah.
Di sana, kala Dasrul akan pulang ke rumah usai mengajar, tanpa ba-bi-bu, ayah MA langsung memukuli Dasrul. Dasrul juga mengaku kalau MA juga ikut memukul. Tragis. Tentu saja ini bisa dikemas dalam cerita silat.
Pendekar tangguh bisa saja dihujani cinta yang besar. Namun, jangan salah, korban juga bisa buat cerita yang aduhai. Dengan kejujuran saja, lewat kronologi, kasih bisa didulangnya lebih besar. Seluruh penjuru Indonesia bisa memberinya cuma-cuma.
Lalu berkisahlah Dasrul dalam kondisi babak belur, kalau awalnya ia menegur muridnya sebab tidak bawa peralatan gambar. Padahal MA sudah diingatkan sebelumnya. Dasrul tak soal.
“Anak itu keluar masuk pergi kantin dan WC. Jadi saya larang. Tapi malah dikeluarkan kata kotor, jadi saya tegur dan tepuk di bagian badan.” Itulah kata Dasrul. Hal itu yang membuatnya emosi. Pelampiasannya cuma menepuk badan MA.
Kasus kedua di tanah Jawa, di daerah Gresik, tepatnya di SMP PGRI Wringinanom, kejadian serupa terjadi lagi. Bedanya, tak ada pemukulan, cuma siswa memang tampil seperti bajingan tengik.
Di hadapan gurunya bernama Nur Kalim, ia merokok dengan rileks. Pelajar yang mengenakan topi, yang tidak penting benar diberitakan namanya karena bisa saja merusak kariernya kelak, didatangi Kalim.
Saat didatangi, remaja berusia 15 tahun itu tiba-tiba saja memegang kepala Kalim, yang notabene gurunya. Tak sampai di situ, Kalim didorong oleh muridnya yang merokok itu, sebelum baju Kalim dicengkeram.
Ada beberapa tingkah yang tampak dalam video viral itu. Si murid juga bertingkah seakan-akan hendak memukul si guru. Emosikah Kalim? Iya, dia emosi. Namun. Kisah-kisah menohok hati selalu saja punya kata namun dan tetapi.
Kalim tidak mau memperpanjang keributan itu. “Saya sempat emosi. Tapi saya ingat video-video tentang guru dan murid yang viral, akhirnya saya ikhlaskan (tidak marah),” kata Nur Kalim, dikutip Detik.
Di sekolah itu, asal tahu saja, Kalim digaji Rp450 ribu. Kalim adalah guru honorer, yang pastinya harus mencerdaskan manusia macam murid yang merokok di depannya, serta murid lainnya yang tertawa dalam kejadian itu.
Selain mencerdaskan, ia harus senantiasa bersabar dengan tingkah laku anak muridnya. Ada yang bajingan, baik, pendiam, cerewet, dan banyak lagi. Ia secara tidak langsung jadi orangtua yang harus mengayomi seluruh murid.
Sedih rasanya melihat dua realita di atas dan menjahit satu per satu kisah saya sewaktu masih sekolah. Ada banyak teori, ada banyak orang pintar di negara ini, namun kok semakin ke sini kita sama sekali tidak bisa kerja sama?
Kerja sama yang dimaksud adalah, guru mengayomi, murid menghormati. Ada adab yang membungkus ilmu. Ketika salah satunya tidak beradab, ilmu jadi luruh, dan konflik macam begini akan terus terulang.
Bisa apa saya? Saya cuma bisa kembali ke masa lalu, dan mengingat ilmu dan adab seperti apa yang ditawarkannya. Sebab sedih sekali lihat nasib guru dan murid sekarang.
Saya tidak bisa menyimpulkan apa-apa dalam kisah ini, kecuali menyalakan alarm tanya: Remaja yang makin bajingan tak ketulungan, atau kita yang sudah merasa maju, menjadi semakin moralis, teoritis, lalu gampang berkomentar atas semuanya dan tidak mau menghentikan kejadian ini?
Siapa punya urusan untuk menyelesaikannya? Ego yang merendah, atau suara kita yang meninggi?