Lontar.id – Momen pulang kampung atau mudik di masa memasuki hari Salat Ied (lebaran) sangat dinanti-nantikan oleh sebagian besar para perantau di kota-kota besar, terutama di Jakarta.
Betapa tidak, mudik ibarat ritual tahunan yang tetap dilakukan masyarakat Indonesia, berkumpul kembali dengan keluarga, teman dan orang-orang terdekat.
Entah kapan mudik yang sudah jadi tradisi ini mulai dilakukan, mudik sebagai tradisi karena dilakukan secara terus menerus. Anehnya, hanya penduduk muslim di Indonesia yang melakukannya, sementara di negara-negara muslim lainnya tidak mengenal tradisi mudik.
Itulah salah satu keunikan yang kita miliki, tinggal di negara yang beraneka ragam ini, dapat merasakan suasana mudik yang penuh haru biru.
Sebagian teman-teman saya yang merencanakan mudik ke kampung halaman, sejak awal sudah memesan tiket pesawat. Meski demikian diantaranya masih mencari dan membandingkan harga tiket antara maskapai penerbangan yang satu dengan yang lain.
Di saat mudik, harga tiket pesawat melonjak tinggi, tak mengenal pemudik yang sedang jeblok isi dompet karena kebutuhan hidup dan besaran gaji di Jakarta, yang hanya cukup untuk sebulan.
Meski harus berbesar hati dan sabar menerima lonjakan kenaikan tiket pesawat, para pemudik mau tidak mau merogok kocek lebih besar daripada biasanya untuk membeli tiket yang mahal.
Masih untung bila Anda memperoleh pekerjaan di perusahaan dengan gaji yang terbilang tinggi, harga tiket sebesar itu bukanlah sebuah masalah masalah bagi Anda.
Tapi bagaimana dengan mereka yang punya gaji pas-pasan, untuk menutupi biaya kehidupan di Jakarta sebulan saja masih ngos-ngosan. Setiap tengah bulan sudah mulai membatin, gegara gaji tak mencukupi. Nah kepada mereka lah tulisan ini saya buat.
Lebaran itu sangat identik dengan istilah bagi-bagi tunjangan hari raya (THR) pada sanak keluarga. Bila memiliki banyak keponakan, tante, paman atau keluarga besar di kampung halaman, sudah pasti Anda akan menyiapkan lebih banyak amplop berisi uang.
Akan sangat disayangkan sekali, bila Anda pulang ke kampung dengan tangan hampa tanpa membagi-bagikan uang. Tradisi bagi uang atau THR ini sudah jamak dilakukan sejak dahulu, bagi keluarga yang merantau jauh ke luar daerah, sudah pasti membagikan uang, entah besarannya berapa yang penting ada uang di amplop.
Inilah yang saya dan sebagian besar teman-teman saya khawatirkan, sudah lama bekerja di Jakarta tapi tidak cukup uang untuk bagi-bagi, akhirnya di cap tidak baik, pelit.
“Masak kerja di Jakarta tidak punya uang, yang benar aja”
Kata-kata ini akan menghantui Anda, biarpun seberapa cuek Anda tidak merespon mereka, tapi tetap saja terpikirkan.
Orang di kampung, punya penilaian sendiri terhadap perantau atau mereka yang tinggal di kota besar. Mereka akan mengira, kita punya pekerjaan bagus dengan gaji yang tinggi. Namanya juga tinggal di kota besar, coba bandingkan dengan bekerja di daerah, gajinya pas-pasan bahkan tidak mencukupi untuk keperluan lainnya.
Kami yang tinggal di Jakarta akan dijadikan sebagai role mode keberhasilan orang di kampung, membandingkan pekerjaan si A dan si B, punya kendaraan sendiri, tempat tinggal dan kebutuhan tercukupi. Padahal sebenarnya tidak demikian, kami justru tidak lebih baik dari mereka yang bekerja di daerah.
Kami tinggal di ibu kota, hanya karena malas saja berladang, bertani dan tidak tersedianya lahan pekerjaan yang cukup. Sehingga kami berlarian ke luar daerah mencari penghidupan layak.
Jika kehidupan Anda saja di ibu kota masih pas-pasan, lalu bagaimana cara menyiasati keluarga yang meminta THR. Apakah Anda tega katakan, kalau saya tidak punya uang kepada mereka yang menyodorkan tangan?
Ini sangat menyulitkan bukan, sama sulitnya ketika ditanya kapan anda kawin?
Apa solusinya, sebaiknya jangan mudik di saat uang Anda tidak ada, carilah momen lain seperti tahun baru atau liburan cuti panjang. Maka Anda akan terbebas dari sengkarut uang THR.