Lontar.id -Memasuki Bulan Suci Ramadhan dan hari Raya Idhil Fitri 1440 Hijriah atau tahun 2019 Masehi, sejumlah tempat hiburan malam dipastikan akan ditutup oleh pemerintah.
Penutupan ini disinyalir untuk menghormati ummat muslim yang sedang melakukan ibadah puasa selama sebulan penuh.
Bulan puasa memang saatnya bagi agama Islam memperbanyak ibadah, mendekatkan diri pada sang pencipta dan menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat menimbulkan dosa.
Sebagian orang akan mengkhatam alquran berkali-kali, membuat pengajian rutin bersama, kegiatan bernuansa islami dan beragam acara lainnya.
Mesjid-mesjid akan ramai di awal dan berkurang jelang akhir bulan puasa, di kampung-kampung akan ramai orang yang membangunkan tidur saat waktu sahur tiba. Mereka sambil membawa obor, pentungan dan perkakas untuk agar mengeluarkan suara di subuh hari.
Terlepas dari itu semua, apakah tempat hiburan malam seharusnya di tutup, begitupun dengan warung kecil dan pedagang kaki lima dilarang berjualan saat siang hari. Karena akan mengganggu kekhusukan ibadah setiap orang.
Seperti di Jakarta, pemeritah provinsi melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, telah mengeluarkan surat edara nomor 162 tahun 2019, tentang waktu penyelenggaraan Industri Pariwisata atau tempat hiburan malam.
Dalam surat edaran tersebut diperintahkan agar kelab malam, diskotek, mandi uap, rumah pijat, area permainan ketangkasan manual, mekanik atau elektronik untuk dewasa dan bar wajib ditutup selama satu hari sebelum memasuki bulan ramadhan dan satu hari setelahnya.
Aturan ini mengikat bagi industri pariwisata yang menjual barang-barang minuman beralkohol, karena dalam ajaran agama Islam meniman tersebut masuk kategori haram dan menimbulkan dosa.
Ya, dosa bagi pelaku atau pengunjung yang minum di siang hari dan penjualnya.
Aturan ini memang bukan kali ini saja dikeluarkan, tapi setiap bulan ramadhan tiba. Dipastikan akan ada aturan serupa yang melarang setiap industri membuka dagangannya.
Saya ingin menggunakan carapandang lain, bahwa menurut saya, pemerintah tidak perlu mengeluarkan aturan yang melarang tempat hiburan malam saat bulan ramadhan. Ini bukan maksud tidak menghargai ummat muslim yang sedang laksanakan ibadah suci.
Saya juga beragama Islam tapi punya perspektif lain masalah ini. Terlebih lagi kita di Indonesia bukan sebagai negara agama, atau agama mayoritas bisa membuat aturan kapan mereka mau melalui institusi negara.
Sejatinya sebuah negara demokratis tidak mengatur tentang agama, sebab agama adalah masalah pribadi. Jadi setiap orang bebas melaksanakan kewajiban dengan menjalankan agamanya atau berpindah agama lainnnya.
Jadi melarang atau menutup tempat hiburan malam selama bulan puasa, menurut saya tidak tepat. Orang berpuasa, ibadah atau ritual keagamaan lainnya tidak akan berpengaruh dengan adanya tempat semacam ini.
Karena saya percaya, mereka tidak akan mendatangi untuk sekadar minum wine atau mendengarkan alunan musik dj dengan gemerlap lampu warna-warni.
Orang yang meyakini bahwa perbuatan tersebut sebagai tindakan yang akan mendapatkan ganjaran dari sang pencipta, sekali lagi tidak akan mendatanginya.
Tempat hiburan malam seharusnya menjadi ujian bagi kalangan muslim yang sedang melaksanakan ibadah puasa, seberapa besar keteguhan dan keyakinannya untuk tetap konsisten tidak berada di tempat seperti itu. Jika tempat hiburan malam merupakan bentuk ujian, maka seorang yang beriman akan bersikukuh tidak melakukan perbuatan yang melanggar agama.
Bagaimana jika ada sebagian orang yang mendatangi tempat hiburan malam? Saya kira itu konsekuensi terhadap ornagb yang tidak mampu bertahan menyalurkan hawa nafsunya, lagian mereka yang akan menanggung dosa, bukan orang lain.
Saya selalu membandingkan seorang agamawan yang hidup dilingkungan agamais, seperti di pesantren. Para santri tidak akan mendapatkan ujian yang begitu berat karena disekelilingnya tidak ada tempat yang mempengaruhinha untuk berbuat diluar ketentuan agama. Jadi mereka akan secara khusyuk menjalankan ibadahnya.
Apakah mereka dianggap susah saleh sebagaimana definisi saleh hidup dilingkungan agamais, saya kira belum karena tidak ada tempat yang bisa mempengaruhi mereka untuk melakukan perbuatan maksiat.
Berbeda halnya dengan seorang yang hidup dilingkungan yang jauh dari lingkungan agamais, di mana-mana ada tempat hiburan malam, tempat maksiat dan sebagainya. Jika mereka tidak tergoda dengan semua itu, maka saya berkeyakinan, mereka lebih saleh dari siapapun. Karena tidak mudah mempertahankan keyakinan agama (puasa) di tempat seperti itu, karena godaan datang silih berganti.