Lontar.id– Waktu menunjukkan pukul 01.20 dan pesawat yang saya tumpangi dari Jakarta ke Makassar baru saja mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin (12/06/2019). Kali ini, perjalanan saya cukup mulus dan tidak seribet biasanya karena tidak membawa barang bawaan yang banyak, hanya satu ransel kecil berisi laptop, dan satu setel pakaian.
Perjalanan saya hampir tak ada hambatan sampai keluar pintu kedatangan bandara, hingga supir yang akan menjemput saya dari bandara menuju kampung halaman tiba-tiba menghubungi dan secara sepihak melalukan pembatalan. Saya lalu mencari kontak supir lain. Bersyukurnya, masih ada mobil daerah yang sementara menjemput di daerah Makassar dan bersedia menjemput saya di bandara. Mobil yang juga akan membawa saya menuju kampung tercinta.
Sekitar 30 menit menunggu, saya menelepon kembali supir daerah tersebut. Ia mengatakan agar saya menunggunya di tempat parkiran mobil, tepatnya di depan indomaret. Pada saat menunggu itulah, kesialan saya dimulai.
Sebuah mobil, saya sebut cukup mewah untuk ukuran mobil tumpangan ke daerah berhenti tepat di depan indomaret. Dia mengatakan kalau mobil daerah saya tidak bisa masuk sehingga dia yang akan mengantar ke luar bandara dan akan bertemu mobil yang akan membawa saya ke kampung halaman setelah berada di luar bandara.
Sang supirpun memulai tipuannya dengan bersikap manipulaif kepada saya. Dia mengungkapkan kalau saat ini bandara sangat ketat dan setiap mobil yang masuk pasti terekam sehingga tidak mungkin ada supir yang melakukan tindakan penipuan. Dia melakukan semacam defense mechanism, yang dalam kajian Freud merupakan sebuah strategi yang dilakukan suatu subjek untuk melindungi dirinya. Sang supir agar tidak disebut penipu, dia memberikan contoh bahwa bandara ini tidak mungkin ada penipu. Dia mencoba meyakinkan saya bahwa ia bukan seorang penipu dengan mengambil contoh objek lain yang terpercaya, yaitu bandara.
Mobil melaju dengan kecepatan pelan setelah beberapa meter menuju gerbang keluar bandara. Dia lalu meminta uang sebesar 20 ribu, padahal tagihannya hanya 10 ribu. Lagi-lagi dia menipu saya dengan megatakan, 10 ribunya akan diberikan kepada satpam. Saya diam saja dan tidak memberi respon apapun. Sejak saat itu, saya merasa mulai diperas.
Setelah melewati gerbang bandara, dari dalam mobil, saya melihat seorang laki-laki berseragam melambaikan tangan kepadanya. Sang supir yang dengan postur tubuh agak kurus itu membalas dengan lambaian tangan. Mereka bersapa akrab, dan sang supir mengatakan kalau orang itu yang mencatat semua mobil yang keluar-masuk bandara. Dengan kata lain, dia ingin mengatakan kepada saya bahwa “Saya tidak akan menipumu karena saya kenal dengan orang yang bekerja di bandara”. Artinya, ia bisa dipercaya.
Tindakan manipulatif lainnya yang dilakukan sang supir adalah dengan melakukan tindakan yang seolah-olah ingin melindungi saya. Misalnya dengan mengatakan, buka maki jendelanya dek, nanti takut ki. Dia juga mengatakan, nanti ku kasi turun ki di tempat yang agak ramai karena perempuan ki. Akan tetapi, alih-alih menyebut itu sebagai bentuk perlindungan, saya justru membacanya sebagai cara sang supir melakukan penyangkalan atas perbuatan manipulatifnya.
Tidak berselang lama setelah melewati pintu keluar, ia menunjukkan sebuah karcis yang berisi list harga yang harus saya bawar. Dari selebaran persegi panjang itu, saya disuruh membayar 170 ribu. Harga yang sungguh tidak masuk akal. Konyolnya, harga tersebut dua kali lipat lebih mahal dari ongkos mobil daerah yang akan membawa saya ke kampung.
Setelah mengkalkulasi dan memutar ulang peristiwa selama saya di atas mobilnya, saya mulai sadar bahwa saya ditipu. Dengan cepat, saya menelepon supir daerah saya dan tepat saja, dia tidak mengenal supir yang membawa saya keluar itu. Karena melihat saya menelepon, supir bandara itu lalu meminta hp saya dan meminta saya membiarkannya berbicara dengan supir daerah. Dia mulai menjelaskan bahwa pihak bandara melarang supir daerah untuk masuk.
Pernyataannya bahwa supir daerah dilarang masuk memang benar, namun bukan berarti saya harus naik di mobilnya, apalagi diminta membayar dengan harga yang tidak masuk akal.
Lagi-lagi, karena merasa ditipu, saya mengatakan kalau saya tidak akan membayar. Supir itu mulai kelihatan panik dan terus menjelaskan agar saya bisa memercayainya. Setelah berdebat cukup lama, supir bandara itu mengatakan, bayar maki 100 ribu saja kalau begitu supaya cepat daripada bertengkar ki. Tentu saja, saya tidak rela memberikan uang 100 ribu kepada penipu. Bayangkan saja, waktu tempuh dari bandara ke perbatasan kota tidak sampai 10 menit dan saya harus membayar jarak tempuh itu dengan harga 100 ribu.
Sang supir yang melihat saya tidak mau mengalah mulai emosi dan karena saya harus segera sampai di kampung, dengan terpaksa saya memberinya uang 100 ribu yang tentu saja disertai dengan umpatan.
Peristiwa di atas, jujur saja membuat saya kecewa dengan pihak bandara Sultan Hasanuddin. Sebagai bandara international dan salah satu yang terbagus di Indonesia, bandara seharusnya mampu memberikan pelayanan terbaiknya. Di sisi lain, saya merasa malu dan dongkol karena mengalami penipuan di daerah sendiri.
Ketika menelisik lagi, adegan sang supir yang akrab dengan petugas bandara menunjukkan bahwa penipuan rental mobil ini juga bekerja sama dengan orang yang berada di dalam bandara.
Memang benar jika supir daerah tidak bisa menjemput di dalam bandara, tapi toh saya bisa melakukan alternatif lain untuk keluar bandara, misalnya dengan memesan ojek online dengan biaya tidak cukup 10 ribu.
Pengalaman yang saya dapatkan ini tentu saja tidak hanya menimpa saya, namun telah menimpa banyak korban. Pihak Bandara Sultan Hasanuddin harus segera bersikap tegas dan melarang mobil yang berkedok rental mobil bandara beroperasi. Atau setidaknya memberikan pernyataan resmi kepada publik perihal banyaknya mobil penipuan di bandara sehingga masyarakat bisa berhati-hati.