Lontar.id – Hari ini, 15 Juli 2019, Ilham Arif Sirajuddin (IAS) bebas dari penjara Lapas Klas 1 Makassar, atas kasus korupsi yang membelitnya di PDAM Makassar. Empat tahun ia menjalani hidupnya dalam rumah tahanan.
Jika ingin dicap penjahat, silakan. Fakta hukum menyatakan demikian. Konon, ada banyak orang yang diuntungkan dari kasusnya. Uang panas mengalir di rekening mereka semua.
Tetapi adakah penjahat yang dinantikan-nantikan seperti IAS? Apa yang menyebabkan ia dirindukan? Apa yang hilang dari Makassar, setelah ia selesai dari jabatannya sebagai wali kota Makassar?
Untuk menjawab itu, saya akan bercerita. Hal yang pernah kawan-kawan dan saya rasakan. Ini tentang sombere, orang yang ramah kepada seluruh lapisan masyarakat.
Saya tidak tahu kapan waktu tepatnya. Terpenting, saat itu masuk dalam kampanye pertarungan IAS vs Syahrul Yasin Limpo. Hanya ada dua kandidat. Saya mewawancarainya di sebuah desa di Maros.
Saat ponsel saya sodorkan untuk merekam, dia mejawab pertanyaan saya dengan lugas. Sayangnya saya gampang lupa, jadi tak ingat pertanyaan yang kuutarakan. Siang cukup terik.
Gesturnya menunjukkan kalau ia sedang terburu-buru. Tim pewarta yang mendampingi safari politiknya beberapa kali memberi kode kalau ia IAS sudah berfasari ke daerah lain lagi.
Pundak saya dipegang. Ia tersenyum. Saya tidak menemukannya sebagai seorang pejabat. Tepukannya seperti seorang kawan karib yang berarti, jika di Makassar, kata-katanya begini: jalanka dulu nah, cika’!
Kebijakannya banyak yang tidak saya sukai. Merugikan. Nanti saya akan menulisnya. Tetapi biarkan saya mengeja IAS dulu, pelan-pelan dari sudut pandang yang lain.
Seorang sahabat saya, Yusuf, pernah satu kali mengaso di salah satu warkop di Makassar. Tak lama IAS datang. Pakaiannya sederhana. Seluruh orang berdiri menyambutnya.
Jika bertemu orang, ia sering tersenyum. Itulah IAS. Bertanya kabar pengunjung dengan sapaan: sehat-sehatjki? IAS, setahu saya, sering dipeluk masyarakat. Ia juga senang memeluk balik.
“Pernah itu nabilang sama saya, ‘eh, apa nubikin te****’ sambil meremas pundakku seperti seorang karib. Saya tahu, itu untuk mengakrabkan diri. Caranya yang saya suka,” ujarnya.
Sahabat saya yang lain, seorang pewarta bahkan berkata, kalau ia pernah menjenguk IAS di LP Sukamiskin, Bandung. Orang-orang padat bergantian bertemu dirinya.
Meski masih berstatus narapidana, ia dielu-elukan. Masih dianggap punya pengaruh dan terpenting banyak juga orang yang meminta bantuan dirinya.
Menurutnya, dulu, saat menjabat wali kota Makassar, IAS sering didatangi orang-orang yang mengaku kesulitan. Misal, ia ingin dibantu untuk lahiran anaknya dan lain-lain.
“Jadi Pak Ilham itu, kalau ada minta tolong sama dia, kemungkinan besar pasti dibantu.”
Jika tidak percaya dengan cerita di atas, datanglah ke Makassar. Tanyalah kepada masyarakat di sekitar Jalan Maipa, Datumuseng, atau di mana saja.
Saya mengusul satu pertanyaan saja kepada Anda, “bagaimanakah hubungan IAS dengan masyarakatnya selama ini?” Ini di luar kebijakan ya, tetapi pola silaturahminya dengan masyarakat bawah.
Bila kau rindu,
Aku kan datang segera
Senada
Kau rindukan waktu yang pergi
Datanglah kembali padaku
Potongan lirik ini ditulis oleh The Trees and The Wild yang berjudul Malino. Saya kira cukup relevan didengar saat sekarang. Apalagi yang menggempita menyambut IAS.
IAS dalam Potongan Lirik Bola Raya
Orang-orang boleh memuji IAS setinggi langit. Tetapi, tak elok memujanya seperti dewa. IAS punya kekurangan dan kebijakannya banyak berefek negatif kepada saya pribadi.
Awalnya, saya banyak menemui tanah merah tempat orang bermain bola. Itu hal yang menyenangkan dari masa remaja saya. Sekarang tidak lagi. Banyak yang hilang.
Saya tidak lagi bisa bermain bola saat sore dengan bertelanjang dada bersama kawan-kawan saya. Tanah merah itu berganti gedung dan rukan alias rumah kantor atau toko.
kami rindu lapangan yang hijau
harus sewa dengan harga tak terjangkau
tanah lapang kami berganti gedung
mereka ambil untung kami yang buntung
Itu secuplik kalimat dari lagu Bola Raya, Silampukau, yang bisa menggambarkan betapa pembangunan adalah hal yang mengerikan jika tidak ditahan gerakannya.
Saya tidak anti dengan pembangunan. Cuma gerah dengan perizinan yang terburu-buru, menyepelekan Amdal, dan lain-lain. Jika semua dilabrak, maka niscaya wajah kota akan berubah.
Pada masa IAS memimpin, sangat banyak pembangun rukan. Apalagi di Antang, tempat saya tinggal. Sampai sekarang, ruko-ruko yang berada di daerah Manggala banyak yang bermasalah.
Pertanyaannya adalah, apa memang masyarakat Makassar sangat butuh ruko daripada ruang hijau? Jika dari sudut kapital, sudah pasti orang akan memilih ruko. Jika kenyamanan, sebaliknya.
Barangkali IAS cuma beda cara melihat Kota Makassar. Saya tidak suka dengan masifnya pembangunan, sementara penghijauan dilupakan. Disimpan sebagai makanan penutup.
Keramahan boleh, tetapi jika tangan pempimpinnya terlalu lebar menyongsong investor masuk dan membuat gedung-gedung baru di Makassar, apakah itu tepat?
Sekarang, Makassar makin macet dengan dalih pembangunan. Setelah IAS melepas jabatannya, saya tidak menemukan Makassar yang kuidamkan sejak saya kecil.
Itulah konsekuensinya. Perlu jadi catatan, persoalan fasum fasos di Kota Makassar masih jadi bahan goreng-menggoreng politik. Apalagi pada 2020 mendatang, Pilwalkot Makassar akan dihelat. Siapa yang akan menang?
Masyarakat seperti saya akan kalah, tentu saja.
memang kami tak paham soal akta,
sertifikat tanah dan omong kosong lainnya.
kami hanya ingin main bola,
zonder digugat, zonder didakwa.
Lagu Silampukau itu enak ditemani dengan segelas kopi setelah Magrib selesai. Dengarlah dan lihat wajah kotamu, sejauh mana perkembangannya.