Lontar.id – Pemilu 2019 tinggal menghitung hari lagi, kedua capres saling berlomba-lomba melakukan safari politik ke daerah-daerah yang diangap kantong suara. Safari politik ini tentunya sangat diperlukan bagi kandidat, agar dapat meraih suara maksimal di pemilu. Demikian dengan masyarakat pemilih, lewat safari politik kandidat, mereka dapat mendengarkan langsung penyampaian visi misi dan program yang akan dijalankan selama 5 tahun kedepannya.
Tidak saja sekadar safari politik, masing-masing kandidat memasang banner, baliho, poster dan sejumlah alat peraga lainnya di sepanjang jalan-jalan utama, bahkan hingga masuk ke gang sempit. Tujuannya sudah pasti bisa ditebak, agar masyarakat mengenal mereka melalui foto, nama dan partai apa yang mengusungnya.
Baliho kandidat yang terpasang di jalan-jalan, memang sudah jadi hal lumrah di Indonesia. Mereka memasang disembarang tempat, meskipun regulasi sudah mengatur, ada tempat-tempat tersendiri yang tidak boleh di pasang baliho, karena mengganggu kenyamanan umum. Misal di mesjid, sekolah dan sarana umum lainnya. Namun dalam realitas yang sebenarnya, regulasi tersebut kerap dilanggar.
Memperkenalkan diri lewat baliho masih dianggap penting dilakukan, sehingga tak jarang ratusan hingga ribuan baliho paslon berjejeran. Baliho tersebut dipasang serampangan tanpa mempedulikan estetika keindahan kota. Asalkan foto mereka terpasang, dilihat masyarakat tak peduli dengan keindahan kota yang dijaga secara bersama.
Selain baliho kandidat capres, ada juga baliho caleg DPR, dan DPD yang ikut merunyam keindahan kota. Seolah mereka tak peduli dengan lingkungan, coba Anda lihat pohon-pohon di pinggir jalan, dipaku dibatangnya dengan baliho beragama jenis ukuran.
Tak hanya itu, pada masa-masa kampanye berlangsung, pengerahan massa untuk mendatangi ruang terbuka seperti lapangan ramai dilakukan. Mereka menggerakan massa sebanyak-banyaknya, meski sudah jadi hal lumrah, bahwa massa yang datang tidak sepenuhnya memilih kandidat tersebut.
Namun di politik Indonesia, seperti dalam kampanye terbuka, bila massa sedikit yang datang menghadiri acara kampanye, dianggap kandidat tersebut tidak memiliki dukungan yang banyak dari masyarakat. begitupun sebaliknya, massa yang memadati kampanye, dianggap kandidat tersebut didukung oleh banyak kalangan.
Kampanye di Indonesia menurut saya tidak ramah terhadap lingkungan, selain merusak estetika keindahan kota, pepohonan banyak jadi korban dimanfaatkan sebagai alat untuk memasang alat peraga kampanye. Belum lagi saat safari politik, kendaraan mereka berjejeran sepanjang jalan, seolah tak menghiraukan pengendara lain yang juga memiliki hak yang sama sebagai pengguna jalan. Mereka selalu mau didahului, bahkan menggerakan polisi sebagai pengawal, agar kendaraan mereka didahului.
Coba kita tengok cara kampanye di Negeri Sakura Jepang. Saat musim kampanye tiba, tensi politik tidak segenting Indonesia. Kita tidak akan menemukan poster kandidat yang tersebar di sepanjang jalan dengan berbagai tagline dan warna-warni partai pendukung.
Penyelenggara pemilu sudah menyediakan sarana khusus untuk memajang poster seluruh kandidat. Mereka terlihat tertib dengan aturan yang dibuat, bila melanggar mereka sendiri yang merasa malu dan tidak bertanggung jawab dengan perbuatannya.
Di Jepang tidak ada pengerahan massa, kandidat yang berkampaye menggunakan Mobil Van dengan beberapa relawan saja. Mobil Van didesain khusus, atapnya dibuat model panggung agar kandidat bisa berpidato. Mereka akan berkeliling disepanjang jalan sambil melambaikan tangan pada warga. Biasanya kandidat mengenakan sarung tangan warna putih, sebagai simbol bersih atau anti terhadap korupsi.
Selain kampanye menggunakan mobil Van, kandidat akan mendatangi tempat keramaian umum, seperti halte bus, stasiun kereta, taman dan tempat-tempat yang banyak dikunujungi masyarakat. Di sana kandidat akan berpidato menyampaikan visi misinya, kadang hanya seorang diri atau dengan relawan sekitar 10 orang.
Penduduk Jepang pada umumnya sibuk dengan pekerjaan, sehingga tak jarang istilah times is money sangat berlaku di sana. Meskipun kandidat berpidato berjam-jam lamanya, sangat jarang sekali masyarakat mengerumuninya. Mereka berlalu lalang seperti biasanya tanpa menghiraukan kandidat.
Apakah dengan demikian masyarakat Jepang anti politik atau tidak tahu menahu siapa kandidat yang akan dipilihnya? Jawabannya tidak. Orang Jepang sadar akan politik dan kebanyakan dari mereka sudah memiliki preferensi politik masing-masing. Tidak seperti di Indonesia, kandidat akan mengerahkan massa sebanyak-banyak mungkin, bila perlu massa didatangkan dari berbagai daerah untuk meramaikan gelaran kampanye.
Orang Jepang jarang mendiskusikan siapa pilihannya pada orang lain, sebabnya, selain sibuk dengan urusan kantor, mereka memilih pada kandidat yang memberikan perhatian pada kalangannya. Misal, Manula akan memilih kandidat yang punya program pro terhadap kelompok usia senja, demikian juga dengan kandidat yang pro terhadap jaminan kesehatan, pendidikan, ekonomi dan sektor lainnya. Jadi kesadaran politik orang Jepang sudah jauh meninggalkan kita di Indonesia, yang kerap berkoar-koar di publik, media sosial hingga memutuskan tali silaturahmi dengan tetangga hanya karena perbedaan pilihan.
Kapan Indonesia bisa belajar dari Jepang, politik ramah lingkungan dan tidak merusak estetika kota? Saya berpikir, sudah saatnya politisi kita menghentikan pasang baliho dan banner, karena masyarakat tak peduli siapa yang ada dalam foto. Sebab yang mereka butuhkan, datangi rumahnya tawarkan program yang pro terhadap mereka, niscaya Anda akan dipilih karena dianggap mewakili kepentingan mereka.
Selain itu, alat peraga yang dipasang turut menciptakan biaya politik mahal, ujung-ujungnya kandidat yang menang akan berusaha mengembalikan uangnya yang telah hangus lewat cara-cara ‘jahat’ korupsi.