Jakarta, Lontar.id – Jakarta selalu kupikir adalah tempat mencari nafkah. Di hadapan banyak orang, kuucapkan kalimat sederhana seperti: Jakarta tempat cari uang, bukan untuk hidup.
Kupikir, di desa tempatku menetap dulu, tanah dan sepetak sawah sudah bisa menghidupi tujuh keturunan sebuah keluarga. Semisal, di tanah itu ditanami sayuran dan buah.
Jika panen, padi dipenggal. Digiling. Dikemas ke karung besar untuk dibawa pulang ke rumah. Di Makassar, aku masih mendapati hal seperti itu, sebelum perumahan dibangun secara masif demi meningkatkan performa pemerintah.
Sulit untuk melepaskan hasratku untuk jauh dari kampung atau kota halamanku. Di Jakarta, beberapa orang yang kutemui menganggap Makassar adalah daerah yang tertinggal seperti desa. Tidak ada kendaraan yang bisa dipesan secara online.
“Mas, di Makassar, ada ojol gak sih?”
Bicaraku juga masih terbata-bata. “Mas bukan Jakarta ya? Bahasanya kelihatan. Gak fasih.” Lidahku tidak atau belum fasih berlagak ngomong seperti sopir dari Jakarta yang mengantarku ke Taman Ismail Marzuki.
Bawel. Bahkan ia menyebut kalau ia pernah ke Makassar. “Aku pernah ke Bone, ke Bosowa.” Aku manggut-manggut saja. Selama perjalanan, aku berdiri di posisi antara menyesal dan bangga. Di tengah-tengah.
Maksudku, ingin menyesal karena aku tidak bisa berlogat Makassar di hadapan orang-orang yang baru saja kukenal. Bangga karena aku selangkah lebih maju dari teman-teman sekampung, dalam berbahasa televisi.
Kota ini diciptakan untuk sibuk dan mencitai lampu-lampu yang remang dan kelap-kelip. Kesibukan ini membuatku selalu betah untuk berada di rumah dengan membaca, bermain domino, makan, tidur, dan diulang.
Di media sosial, terpampang foto yang tak berpigura dengan tampilan hotel, pusat perbelanjaan, dan masih banyak lagi gedung-gedung tinggi semacamnya. Orang-orang bertepuk tangan dan membanggakan sebuah cahaya buatan.
Setiap pagi, orang-orang bangun lebih cepat. Mereka tidak menemukan langit yang biru dan sejuk. Ada kabut setiap harinya. Padahal, Jakarta bukan daerah pegunungan. Kendaraan dan pembangkit listrik membuat Jakarta berkabung sekaligus berkabut.
Setiap pagi pula, di ponselku yang sudah ringkih dan tua, kudapati alat pengukur cuaca mengingatkan kalau cuaca Jakarta sekian derajat dan kabut polusi. Polisi bahkan tidak bisa menghentikan polusi itu.
Dari green peace aku tahu, polusi bisa membunuh jutaan penduduk di kota ini. Kualitas udara Jakarta sudah sangat buruk. Tercemar. Pabrik, emisi, dan banyak hal penyebabnya. Sebuah penelitian dari Universitas Indonesia mencatat, bahwa sekisar 60 persen penduduk Jakarta menderita masalah pernapasan yang terkait dengan kualitas udara yang buruk.
Pada tulisan yang sudah sampai di paragraf ini. Aku mual dan ingin muntah. Entah mengapa. Barangkali aku sakit. Barangkali aku salah minum air. Barangkali karena tercemarnya udara. Jika aku ke dokter, mungkin saja penyebabnya sama seperti yang ditulis green peace. Nauzubillah.
Di media-media, seorang demonstran ditangkap karena memukuli polisi dengan dalih. Polisi memukuli demonstran dengan dalih pula, tapi demonstran tak pernah bisa memborgol seorang polisi yang lalim.
Di Jakarta, orang-orang berpikir perjalanan jauh akan membuatnya lelah. Padahal, berlelah-lelah dalam silaturahmi itu penting. Di kampungku, silaturahmi dihargai dengan segelas teh hangat dan kacang berbalut terigu juga sebungkus rokok. Apalagi jika datang dari jauh, bisa-bisa disuguhi nasi, ikan, sayur asam, tempe goreng, dan sebuah kamar untuk istirahat.
“Besok aku akan bekerja,” katanya. Jam tangan sangat berguna di kota yang sibuk ini. Juga saat menguap. Tanpa berkata-kata, aku harus pulang. Aku tidak menyesal, karena menghiraukan mata yang ingin terpejam adalah kejam. Di kota ini, orang mudah mendapatkan pahala.
Para pekerja lebih senang menghabiskan waktunya di kendaraan, daripada menyusuri jalanan yang jauh untuk sekadar memeluk seorang kawannya. Ia kalah dari seorang ondel-ondel yang kesepian, meski ada musik Betawi yang mengiringi jalannya.
Kawan semasa susahku dulu, bahkan sangat sulit untuk ditemui. Aku paham, dia punya waktu yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Padahal, di Makassar, aku pernah makan nasi bungkus saat dini hari di rumahnya.
Di Makassar, orang menganggap kalau di Jakarta tak ada orang udik. Tetapi banyak orang Makassar yang keliru. Di Jakarta, sebenarnya banyak orang udik, awalnya. Namun seiring waktu, mereka menjadi orang kota. Lalu datang lagi orang desa, lalu jadi orang kota. Begitu siklusnya.
Orang-orang di Jakarta dan perusahaan yang berdiri kokoh di tanah yang berhubungan dengan Neng Anjarwati ini, tidak mencintai laut, sebaliknya malah mencintai hasil laut. Dua hal yang berbeda bukan?
Aku mengubah pola makanku karenanya. Di Makassar, aku bosan makan dan melihat ikan segar. Di Jakarta, aku bosan melihat ikan yang tidak segar yang seperti mati berkali-kali seperti politisi. Aku sungguh selektif.
Di Jakarta, orang mencintai para pekerja daripada para perindu silaturahmi. Kerja, kerja, kerja. Silaturahmi, silaturahmi, silaturahmi. Dua jargon itu saling bertentangan dan membuat masyarakat harus mengambil pilihan.
Kerja lebih penting daripada membangun hubungan emosional. Begitu juga sebaliknya. Di Jakarta, tak muncul gagasan kerja dan silaturahmi jika digabung bagaimana dahsyatnya. Jakarta adalah adalah miniatur acara who want to be a millionaire.
Masyarakat Jakarta suka menonton dan mendengarkan band indie. Tapi tidak suka mendengarkan ocehan polisi tentang pelanggaran rambu lalu lintas. Tidak suka mendengarkan kata-kata kasar sekaligus kata-kata meneduhkan dari pemimpinnya.
Kampung halaman dan Jakarta punya hal yang sama dalam membisiki masyarakatnya: kapan pergi atau kapan pulang?