Beberapa hari yang lalu, setelah dari Taman Ismail Marzuki, saya sempat kongko di warung minum yang cukup besar di sekitar Jakarta Pusat
Banyak pengunjung di dalam. Mulai dari segala usia. Bapak-bapak, pemudi, dan pemuda. Gaya mereka nyentrik. Apalagi pemudinya, banyak juga yang sedap dipandang. Ada yang tergerai rambutnya, pakai jilbab, dan berpupur tipis dengan pemulas merah di wajahnya.
Saya senang masuk ke sana. Saya memesan es kopi, kemudian memerhatikan seluruh pengunjung, baik yang masuk dan keluar. Saat itu sudah menginjak waktu tengah malam.
Obrolan banyak terdengar. Ada makian-makian bernada candaan dan sesi curhat yang nyaring sekali. Di sana, saya jadi pencuri dengar. Kamu kamu-saya saya. Sistem itu berlaku. Abai.
Untung saya sudah beli rokok dan telah meminta tolong mengambilkan asbak pada pelayan. Saya duduk diam mengamati sembari ngudud, dan menanti teman yang pergi memesan camilan tahu pedas dan sosis goreng juga kapucino.
Kami bercerita banyak hal. Salah satunya kehidupan Jakarta. “Jakarta itu keras,” kata teman saya dan banyak orang yang pernah saya kenal juga berkata seperti itu. Kami berempat duduk di meja bundar berpelitur coklat dan ada payung kecil tersambung ke meja yang menahan kepala kami dari embun.
“Di sini bisnis hitam itu banyak. Lihat di berita kan, banyak ranjau paku yang ditebar untuk menghidupkan satu bengkel. Harus hati-hati di sini,” katanya padaku. Saya mendegar secara serius dan takzim.
“Di sini nyari duit susah. Kalau tidak ada kemampuan berlebih, bakal sulit dapat kerjaan. Harus lihat dan simak kehidupan di sini lebih lama, untuk benar-benar paham omonganku dan bikin opinimu sendiri,” tambahnya lagi.
Memang sih. Ada benarnya juga. Dari data yang saya kumpulkan, di Jakarta ada beberapa tempat hiburan malam dan bisnis lendir.
Harganya juga beraneka ragam. Mulai dari yang terendah dan termahal. Semua kelas, dari buruh hingga orang gedongan, bisa menyalurkan hasrat seksualnya dan kebosanan sekadar hahahihi dengan orang yang tepat.
Tentu saja kesimpulan soal susahnya cari kerja itu benar. Mereka, para cewek dan cowok pemuas hasrat, pasti takkan melakukan pekerjaan itu jika mereka dapat kerjaan yang sesuai bidangnya.
Pemerintah juga tak bisa disalahkan total. Mereka juga sudah mengatur sedemikian rupa agar di ibu kota ini, pekerjaan terbagi dengan adil, sesuai kompetensi dan strata pendidikan.
Saking rumitnya, jika ingin memetakan cara bagaimana bisnis gelap tumbuh subur di Jakarta, akan didapati banyak masalah dan tarik ulur kepentingan.
Mereka yang sulit berpikir untuk itu, akan mengambil jalan pintas. Membuat jalur bisnisnya sendiri, dan tak lagi memandang moralitas demi sesuap nasi tiap hari.
“Saking susahnya nyari duit, banyak yang aneh-aneh di sini, yang jarang dilihat di kampung halaman. Seperti pengamen yang berpuisi, ondel-ondel, dan banyak lagi. Kreatif ada jalannya, yang gelap juga ada,” katanya pada saya lagi.
Kopi saya nyaris tandas. Sosis dengan sambal serta mayonaise juga tinggal sedikit. Lampu perlahan-lahan diredupkan. Meja sudah dirapikan. Kursi-kursi diatur sedemikian rupa.
Pelayan yang mengantarkan makanan dan minuman kami sudah beri aba-aba sambil menunjuk jam tangannya, sambil mengangkat kedua tangannya bak salam lebaran di kalender dan iklan teve.
Saya menyedot es kopi sampai habis. Slurp. Saat akan berdiri, saya ditahan oleh teman. Katanya santai saja. Habisi minuman dulu. “Masih lama tutupnya. Santai sajalah.”
Saya mengelak. Tidak enak jika tak segera bangkit, karena sudah ditegur sekali. “Saya pernah punya warung, dan tidak baik ditegur hingga tiga kali,” kataku pada temanku.
Mereka pun berdiri. Pelayan tersenyum. Saya meminta maaf karena agak lama. Ia bilang terima kasih. “Kenapa mesti minta maaf? Kita tidak salah.” “Saya tidak enak buat mereka menunggu. Mereka mau istirahat dan lekas pulang,” saya timpali pertanyaan temanku, ia angguk-angguk.
Maaf, tolong, dan terima kasih. Bagi saya adalah tiga kata yang sering diucapkan orang secara tidak sadar, namun besar dampaknya. Begitu juga kalau tidak diucapkan. Sekeras-kerasnya Jakarta, lebih keras jika kita semua melupakan tiga kata di atas.
Sekali duduk, saya benar-benar belajar di kedai kopi.