Mengomentari bentuk fisik dengan kalimat tak elok bukanlah hal yang baru. Mungkin tingkah laku manusia seperti itu sudah ada di era para rasul.
Jakarta, Lontar.id – Hingga kini dan kemajuan teknologi, mencemooh bentuk fisik seseorang tak mesti harus bertatap muka. Bully-an itu kian tak terkendali saat media sosial menjadi bagian dari gaya hidup kekinian. Karena pergeserannya, istilah itu pun kini beken dikenal dengan sebutan body shaming.
Sasaran body shaming sangat rentan terjadi kepada orang yang kerap eksis di media sosial. Apalagi yang punya banyak pengikut atau followers. Utamanya artis atau publik figur. Dan, yang berkomentar negatif, haters namanya.
Sudah ada beberapa artis kita yang pernah melapor kasus seperti ini. Yang terbaru, kasusnya Dian Nitami. Sang suami Anjasmara geram lantaran bentuk hidung istri terkasih mendapat komentar jelek dari netizen.
“Itu hidung ny jelek.bgt.. melar.. jempol kaki. Jg bs masuk..waduh.. operasilah.. katanya artis.. masa duit buat perbaiki hidung gag ada..waduh..” Begitu kalimat yang ditulis akun @corissa.putrie yang bikin Dian naik pitam.
Sebelumnya, Ussy Sulistiawaty juga mengalami hal serupa. Sasaran bully itu ditujukan kepada buah hatinya. Sebagai seorang ibu dia tak tega. Marah.
Baik Ussy maupun Anjas, sikap geram mereka akhirnya berakhir di kantor polisi. Harapanya, para pelaku medsos bijak dan tak serampangan memberi komentar di akun media sosial orang lain. Pertanyaannya, perlukah pelaku body shaming itu dilaporkan? Sebelum menjawab saya ingin mengutaran pendapat mengenai persoalan tersebut.
Beberapa hari yang lalu, saya pernah terlibat perdebatan dengan seorang kawan di instagram. Dia terasa terganggu karena diberlakukannya UU ITE untuk segala aktivitas body shaming. Seperti dikutip dari cnnindonesia.com, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Adi Deriyan berkata, perbuatan body shaming bisa dilaporkan.
Dasar untuk menjerat pelaku sudah ada. Mereka yang diperkarakan akibat perilaku body shaming bisa dijerat dengan pasal 27 ayat 3 (jo), pasal 45 ayat 3 (jo) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kini menjadi UU No 19 Tahun 2016. Ancaman hukumannya tidak main-main, bisa penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak Rp 750 juta.
Body shaming memang tak ada takaran yang tepat untuk menafsirkan perbuatan itu sudah fatal atau masih wajar-wajar saja. Karena dalam beberapa kesempatan ada juga yang sengaja mengejek temannya karena niatnya untuk becanda. Dikatakan gendutlah. Kuruslah. Jeleklah.
Ada yang bilang kalau teman sudah saling mencemooh itu menandakan tingkat keakrabannya. Makin erat. Tapi keakraban macam apa yang timbul dari bullyan. Sehingga menjadikan tubuh orang lain sebagai bahan candaan lalu ditertawakan sepuas hati.
Menganggap body shaming sebagai sebuah tindakan wajar menurut saya adalah kesalahan besar. Miskinnya empati manusia terhadap manusia lain dalam memaknai tubuh ciptaan Tuhan. Tidak banyak yang tahu bahwa body shaming bisa memberi dampak yang luar biasa pada korbannya. Mereka yang gendut akan berjuang mati-matian demi mendapatkan tubuh langsing seperti yang diharapkan lingkungan. Mereka yang kurus akan insecure dan tidak percaya diri terhadap tubuh mereka sendiri. Tuhan pun kerap dipersalahkan akan kondisi yang dialaminya kini.
Mungkin memang terasa menyenangkan saat bisa mengomentari tubuh orang lain. Atau dengan dalih itu adalah motivasi untuk agar yang diejek itu berubah. Seperti suntikan penyemangat agar yang kurus mau menaikkan badan, dan yang gendut mau lebih menjaga porsi makan dan menjadi sedikit kurus.
Tapi pernahkah coba membayangkan bagaimana perasaan orang-orang yang menerima banyak komentar atas tubuh mereka? Secara tidak sadar, kalimat-kalimat negatif yang selalu saja ditujukan kepada mereka itu akan terus mengulang di kepala mereka lalu akhirnya membuat korban membenci dirinya sendiri. Sugesti negatif yang berlebihan.
Saya pernah berada pada kondisi itu. Merasa tidak percaya diri karena tubuh yang kurus. Setiap kali bertemu orang lain, seringnya teman dekat atau bahkan keluarga yang baru melihat saya pasti mengomentari tubuh saya, “Kenapa tambah kurus“? Biasanya saya hanya menanggapi dengan senyuman. Lalu sepanjang hari, saya akan selalu mengingat komentar-komentar itu.
Bahkan saya sempat ingin mengomsumsi pil untuk menaikkan berat badan saya. “Saya harus gemuk, bagaimana pun caranya.” Hanya itu yang ada di kepala saya. Tapi saya tidak pernah melakukannya sampai sekarang, setelah saya membaca banyak tulisan yang mengerti perasaan orang-orang yang menerima perlakuan seperti saya.
Saya memutuskan mencintai diri saya sendiri. Selalu merasa cantik tanpa perlu memenuhi standar kecantikan yang dibangun oleh media dan iklan-iklan televisi. Apa yang dicitrakan media memang telah berhasil membentuk persepsi di masyarakat bahwa cantik itu adalah putih, tubuh montok, rambut hitam berkilau, dan tinggi yang ideal.
Akan tetapi, pesan itu justru tak mewakili kemajemukan negeri ini. Definisi cantik di Papua dan Jakarta bisa saja berbeda. Makanya saya tidak sepakat kalau ada yang dengan semena-mena memberi komentar negatif dengan bentuk tubuh seseorang. Itu salah besar!
Jika kalian masih percaya kalau tindakan body shaming itu tidak berbahaya, maka UU ITE tidak mungkin diberlakukan. Ini mungkin bisa memberikan efek jera kepada orang-orang yang sering menghina.
Atau bisa menjadi kontrol diri untuk lebih menjaga ucapan. Meskipun saya sendiri tidak sepenuhnya setuju dengan adanya UU ITE ini, sebab memenjarakan pelaku body shaming tidak akan langsung menghilangkan dampak depresi yang dialami korban.
Dan bisa saja ke depannya UU ITE ini akan menimbulkan lebih banyak masalah. Akan lebih bijak, jika orang-orang bisa belajar dari banyaknya kasus bunuh diri karena body shaming, lalu meminta maaf dan berjanji untuk tidak lagi melakukan tindakan rendahan seperti itu. Karena setiap perasaan manusia berhak untuk dijaga dari perkataan yang menyakitkan.
Penulis: Miftahul Aulia