Jakarta, Lontar.id – Dunia dan publik Inggris pernah geger. Matanya tertuju ke pemain Manchester United , Eric Cantona, usai melakukan tendangan kung fu. Sebenarnya terdengar biasa saja dalam olahraga kegemaran lelaki itu, namun tak biasa karena diarahkan ke dada suporter.
Setelah terjadi, pemain asal Perancis tersebut menyesal. Namun, di sisi lain, ia merasa itulah konsekuensi, dan insiden tersebut adalah jalan yang tepat menurutnya. Serba salah.
Syahdan, 25 Januari 1995, Manchester United melawan Crystal Palace. Dalam pertandingan tersebut, Cantona dihadiahi kartu merah akibat melanggar Robert Shaw, bek Palace.
Tendangan keras tersebut menyusul, setelah beberapa pelanggaran dari Shaw pada Cantona tak membuat wasit Alan Wilkie memberi kartu ke Shaw. Cantona marah. Ledakan emosinya membuat dua kubu adu mulut di Stadion Shelhurst Park.
Kesialan kedua membuat Cantona gelap mata. Saat menuju ruang ganti, Cantona diejek pendukung Palace bernama Simmons. Dengan kerepotan, Simmons bahkan disebut berlari menuruni 11 anak tangga cuma untuk mengumpat.
“Sialan! Kembalilah ke Perancis!”
Cantona yang mendengar ucapan Simmons, langsung mendepak Simmons tepat ke dadanya. Sempat terjatuh usai menerjang, Cantona kembali berdiri lalu menonjok Simmons. Kekerasan itu akhirnya terlerai.
“Saya mewujudkan mimpi banyak orang. Saya melakukan untuk mereka dan mereka gembira. Itu adalah sebuah kebebasan untuk mereka.”
“Kalian tahu yang dirasakan penonton ketika melihat gol, namun menendang hooligan adalah sebuah hal yang tak bisa dilihat setiap hari. Namun tetap itu merupakan sebuah kesalahan,” imbuh Cantona tentang tragedi itu dalam wawancara dengan BBC di tahun 2011.
Pascadieskpose besar-besaran, Cantona bahkan sempat menghadapi tuntutan hukuman penjara hingga dua pekan dan dilarang bermain hingga bulan September 1995.
Tahun berganti begitu cepat. Perbuatan Cantona dicatat dan jadi sejarah kelam persepakbolaan.
Jauh dari Inggris, di Makassar, pemain PSM melakukan hal yang sama ke suporter. Rahmat, lelaki bernomor punggung 11 itu, menyepak Dul, seorang pencinta PSM dari Curva Sud Mattoanging, kelompok pendukung Juku Eja.
Alasannya, sebab pada pertandingan terakhir PSM melawan PSMS, para suporter sempat menyalakan suar. Olehnya, pertandingan sempat dijeda beberapa kali karena sinar dan asapnya cukup mengganggu jalannya pertandingan.
Rahmat yang terbawa amarah, langsung mendatangi Dul dan kelompoknya. Ia memanjat pagar penghalang antara curva sud dan lapangan. Melihat Dul masih mengangkat cerawat, gasakan pun dikirim Rahmat. Dul terjengkang.
Suporter yang tahu perbuatan Rahmat, menjadi berang, tapi banyak pula yang mendukung. PSM pada saat itu memang dalam posisi susah dalam mengejar poin, juga jumlah gol, tanpa tahu hasil akhir pertandingan Persija melawan Mitra Kukar.
“Saat itu, kami pemain ingin mengamankan 3 poin, sembari mengharap keajaiban di pertandingan lain. Setidaknya mereka (Persija) bisa seri. Kami belum menyerah saat itu.”
“Pak Munafri (CEO PSM) dan Abdul Rahman bahkan sempat berlari untuk meminta tolong agar suporter memadamkan flare-nya. Tapi belum juga dipadamkan. Lelah bercampur kesal dan marah, akhirnya terjadi kekerasan itu.”
“Demi Allah itu spontan dan refleks di luar kendali saya. Kejadian itu memberi saya pelajaran untuk bisa lebih sabar dan tenang dalam menghadapi masalah,” ujar Rahmat usai petaka tersebut.
Kini Dul dan Rahmat sudah saling bermaafan. Masalah sudah selesai. Tidak ada yang diperkarakan, baik Dul maupun Rahmat. Meski begitu, suporter yang lain hanya berharap tak ada lagi aksi kekerasan seperti itu.
“Sebelum liga 1 2019 dimulai, pemain dan suporter harus tetap jaga tali silaturahmi agar kedepannya tidak terjadi lagi seperti tahun-tahun atau musim lalu yang tidak diinginkan,” ujar Kahar Madjaya, seorang anggota suporter dari Red Gank, pendukung PSM.
Dituturinya pula, untuk pemain, kalau ada hal yang tidak bisa diterima saat suporter melakukan sesuatu saat pertandingan berlangsung, cukup tenangkan suporternya saja.
Intinya, jangan melalukan hal yang di luar tugasnya sebagai pemain. “Pemain juga pasti tahu, semua di lapangan, maupun di luar lapangan, saat sebelum pertandingan dimulai, masing-masing punya tugas. Stewart bisa melaksanakan tugas yang Rahmat lakukan.”
Ia juga meminta kepada para kawannya sesama suporter, kalau menyalakan suar itu dilarang. “Tugas kita mendukung, bukan merugikan tim. Kita harus tahu porsi kita dan tugas kita sebenarnya. Ada masalah, lapor ke manajemen, sebab manajemenlah yang lebih tahu. Perkataan saya ini pribadi sebagai seorang suporter.”
Pada akhirnya, ia mendoakan agar PSM pada tahun 2019 bisa berbenah lebih baik beserta suporternya. PSM bisa juara dan berjaya, serta pemain tak lagi membawa sikap arogan Cantona di Indonesia.
“Juara maupun tidak juara, PSM tetaplah PSM,“ tutup Kahar.