Jakarta, Lontar.id – Calon Wakil Presiden, Sandiaga Salahuddin Uno melontarkan janji bakal merevisi pasal karet dalam Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE). Hal tersebut dikatakan Sandi–sapaannya saat mengunjungi musisi Ahmad Dhani di Rumah Tahanan Klas I, Cipinang, Jakarta Timur, Kamis (31/1/2019).
“Ini membuat kami semakin yakin bahwa di bawah Prabowo-Sandi kami akan lakukan revisi terhadap Undang-undang ITE yang banyak mengandung pasal-pasal karet,” kata Sandi.
Pasal karet dalam UU ITE memang telah banyak memakan korban. Sejak tahun Pilkada hingga Pilpres, UU ITE selalu disoal. Tak sedikit korban yang terjerat harus menanggung malu.
Namun, keinginan merevisi UU ITE hanya pemanis bibir di kalangan politisi. Mengingat desakan revisi kembali digaungkan di tengah momen Pilpres. Jika melihat poin-poin pada UU ITE, salah satu dari sekian banyak poin regulasi yang menjadi sorotan adalah Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang mengatur tentang penghinaan dan atau pencemaran nama baik.
Baca Juga: Usai Ahmad Dhani Ditahan, Giliran Rocky Gerung Dipanggil Polisi
Istilah “mendistribusikan, mentransmisikan dan atau memungkinkan informasi elektronik dapat diakses” yang termuat dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE memang tidak diubah. Namun ada penambahan penjelasan bahwa pasal tersebut dikategorikan sebagai delik aduan.
Beberapa kalangan menyikapi revisi UU ITE tersebut secara lebih kritis. Selain dianggap membatasi kebebasan berdemokrasi, aturan yang mengatur soal pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE juga dianggap berbenturan dengan regulasi yang sudah diatur dalam KUHP.
Baca Juga: Tolak RUU P-KS: Jaka Sembung Bawa Bakso, Gak Nyambung Ferguso
Regulasi soal pencemaran nama baik dalam UU ITE dianggap perlu diatur secara merinci dan tidak bersifat karet di KUHP agar tidak menimbulkan multitafsir yang berpotensi penyalahgunaan undang-undang untuk mengekang kebebasan berekspresi.
Beberapa Korban yang “Dikerjai”
Kasus Ahmad Dhani yang juga terjerat UU ITE merupakan satu dari beberapa korban yang ‘dikerjai’ oleh pasal karet UU ITE hingga harus menjalani hukuman. Yang peling menyita perhatian masyarakat soal UU ITE termasuk pidana yang menjerat seorang guru di Mataram, Baiq Nuril.
Dia merekam percakapan kepala sekolah yang dianggap tak pantas. Namun, rekaman itu beredar luas. Kepala Sekolah berinisial M menceritakan pengalaman seksualnya bersama perempuan lain yang bukan istrinya, disertai kalimat-kalimat bernada pelecehan. Baiq merekam pembicaraan telepon itu karena merasa terganggu.
Dalam persidangan terungkap, Baiq Nuril menceritakan soal rekaman ini kepada rekan kerjanya, Imam Mudawin, yang kemudian disebarkan hingga ke Dinas Pemuda dan Olahraga Mataram. Ironisnya M justru melaporkan Baiq Nuril ke polisi, bukan Imam yang menyebarluaskan rekaman.
Pengadilan Negeri Mataram pada Juli 2017 memutuskan Baiq Nuril tidak bersalah dan membebaskannya dari status tahanan kota.
Tetapi jaksa mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung, yang pada 26 September memutus Baiq Nuril bersalah, menjatuhkan hukuman enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta rupiah subsider tiga bulan penjara.
Koordinator Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE), Muhammad Arsyad juga pernah terjerat pasal karet UU ITE.
“Banyak orang yang dijerat dengan pasal karet UU ITE, tapi tidak punya daya untuk membela diri,” kata Arsyad.
Jeratan pasal itu membuat Arsyad harus mendekam di tahanan sejak 25 Februari 2014 lalu. Meski pada akhirnya, putusan hakim di Pengadilan Negeri (PN) Makassar memvonis bebas Arsyad.
Baca Juga: Karena Terjerat UU ITE, Arsyad Sukses Jadi Advokat
Tetapi beban psikologis hingga kesedihan keluarga sempat membuatnya terganggu. Jika UU ITE direvisi, bagaimana nasib korban yang telah terlanjur menjalani vonis?.