Lontar.id – Semburan liar bawah laut akibat penambangan minyak dan gas bumi di lepas pantai utara Jawa Barat, mengancam masyarakat nelayan yang tinggal disepanjang pesisir pantai.
Hal itu disimpulkan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan (Kiara). Semburan minyak mentah dari hasil eksplorasi dan eksploitasi di sumur YYA-1, dilakukan oleh perusahaan plat merah PT. Pertamina Hulu Energi (PHE), Offshore North West Java (ONJW).
Mereka mencemari wilayah penangkapan ikan para nelayan di Kerawang. Dalam catatan Jatam dan Kiara, kegagalan penambangan minyak mentah telah mencemari 10 kecamatan.
Delapan kecamatan tercemar mulai dari laut hingga daratan seperti kecamatan Tempuran, Cileber, Pedes, Cibuaya, Tirta Jaya, Batu Jaya, Pakis Jaya Muara Gembong. Dua kecamatan lainnya seperti Cilamaya Kulon dan Cilamaya Wetan masih tercemar lautnya.
Belum diketahui pasti berapa luas wilayah pencemaran akibat semburan minyak dan gas. PT Pertamina Hulu Energi pun hingga kini belum mengeluarkan detail laporannya.
Namun semburan minyak yang belum teratasi hingga saat ini diprediksi akan semakin luas menjangkau 20 kecamatan di pesisir pantai yang tercakup dalam konsesi wilayah kerja blok migas Pertamina ONWJ.
Koordinator JATAM Nasional, Merah Johansyah malah memprediksi lebih jauh. {encemaran laut akan semakin luas memasuki wilayah Indramayu, Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Kerawang, Subang.
Merah Johansyah menyesalkan perusahaan BUMN hingga kini belum merilis laporan tentang perkembangan semburan minyak dan gas day to day.
Laporan tersebut menurutnya sangat penting diketahui oleh publik, sehingga masyarakat di pesisir pantai, terutama mereka yang berprofesi sebagai nelayan, dapat mengantisipasi dampak yang terjadi.
“Kami menilai Pertamina gagal meneggakan batas-batas wilayah berbahaya bagi warga, di daratan maupun di perairan yang terdekat dari anjungan YYA-1 Pertamina,” kata Merah Johansyah pada konferensi pers di Bakoel Koffee, Senin (29/7/2019) kemarin.
Jatam merasa ada kejanggalan saat turun langsung di lokasi. Masyarakat nelayan sebagai korban langsung dari semburan minyak, tidak mendapatkan kompensasi dari pemerintah setelah mereka tidak lagi bisa melaut.
Tak hanya itu, pemerintah melibatkan masyarakat membersihkan tumpahan minyak di laut tanpa dilengkapi peralatan memadai. Para nelayan menggunakan kain untuk menutup hidungnya dan tidak menggunakan kaos tangan. Sebaliknya, pekerja Pertamina dilengkapi dengan peralatan lengkap seperti baju putih yang menutup seluruh badannya.
Akibat dari paparan langsung tumpahan minyak, masyarakat mulai merasakan gejala penyakit kulit, batuk, iritasi mata dan sebagainya. Hal itu dapat merugikan masyarakat yang bekerja membantu Pertamina membersihkan laut dari pencemaran minyak mentah.
Kata Merah, hal itu akan menjadi masalah baru, meski mereka bekerja dan digaji. Nelayan yang menggunakan perahu dan mengangkat minyak dengan jaring ikan dibayar di kisaran Rp1 juta sehari, sedangkan yang kerja di bagian pesisir hanya dibayar 100 ribu per hari.
“Melibatkan warga di desa-desa terdekat tanpa perlengkapan yang memadai, akan menambah masalah baru yaitu mudah terjangkit penyakit,” terangnya
Sementara Sekjen Kiara, Susan Herawati mendesak pemerintah agar membentuk tim investigasi independen agar menyelidiki penyebab blow up di anjungan YYA-1.
Tim tersebut harus bekerja secara profesional dan melaporkan kepada masyarakat secara luas setiap hasil investigasinya. Tim ini gunanya, kata Susan, agar memastikan adanya keterbukaan informasi kepada publik.
“Perumusan komposisi anggota tim harus memenuhi syarat independensi yang menjamin transparansi sepenuhnya, mulai dari pengumpulan data, pelaporan data dan informasi kunci yang harus dilaporkan kepada publik,” akunnya
Selain itu Susan mendesak agar pemerintah melakukan penanganan secepatnya agar memeriksa udara ambien di wilayah pesisir padat huni.
Susan khawatir, jika hal itu belum dilakukan secepatnya, maka berbagai penyakit akan segera timbul yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat itu sendiri.
Ditulis oleh Ruslan.