Jakarta, Lontar.id – Masa depan manusia adalah ledakan di mana-mana. Entah itu kiamat atau bertambahnya jumlah penduduk. Sampai sekarang, jika senggang, saya sering curi pikir tentangnya.
Di Indonesia betapa ledakan penduduk berusaha untuk dilawan. Beranak tiap tahun dianggap sebagai sebuah kesalahan, makanya pemerintah membuat slogan keluarga berencana.
Saya pikir, banyak anak banyak rezeki. Entah dari mana kepercayaan itu terus dipelihara masyarakat-masyakat bawah. Saya senang mendengarnya, sekaligus khawatir.
Dalam banyak bincang dengan seorang ibu-ibu di dekat rumah, ia merasa kalau kepercayaan itu telah usang. Banyak anak sekarang dianggap telah merepotkan.
“Itu dulu. Sekarang, bayangkan saja kalau semuanya tidak kerja, mau gimana?”
Kita barangkali perlu jujur-jujuran, kalau setiap anak punya rezeki. Tetapi rezeki bagaimana dulu? Makanya, negara mengatur sistem kehamilan dengan berjenjang. Jangan berdekat-dekatan.
Lebih tepatnya, jika seorang ibu dan ayah membesarkan anak, sementara ekonominya pas-pasan, itu akan sangat membebani mereka. Mungkin mereka menganggap itu anugerah dari Maha Kuasa.
Satu anak masih nikmat. Jika dua sampai tiga, dengan umur mereka beda setahun dari sulung sampai bungsu? Kebutuhannya seperti susu, popok, dan lain-lain, mau bagaimana?
Kita cuma bisa berpikir dan membayangkan itu, tetapi yang menentukan tetaplah Sang Maha Kaya. Ada saja keluarga yang merasa bahagia sebab banyak anak.
Namun anomali yang diciptakan pemerintah adalah, mereka menahan laju penduduk, tapi tidak menahan laju kendaraan di kota-kota besar. Ini semua berbicara dengan wajah buruk kuasa modal.
Pada akhirnya kota-kota akan jadi macet dan kepalang bikin pusing. Sebagian dari mereka yang tumbang di kota, akan memilih hidup di desa, menggerus lahan kosong lagi di sana, dan seterusnya.
Kalimat di atas anggap saja sebagai pintu untuk membahas hal yang lebih jauh seperti ledakan penduduk dan masa depan alam raya jika tidak dikelola dengan baik.
Demografi adalah keharusan yang harus dipikirkan sejak dini. Kita seharusnya bisa membantu pemerintah untuk tidak menambah beban pikirnya. Jangan cuma pemerintah saja yang membantu. Bekerja sama.
Demografi meliputi banyak hal, salah satu bahasan pentingnya adalah jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Di Indonesia, menurut penghitungan PBB, penduduknya 267.078.225 jiwa pada tahun 2015.
Populasi Indonesia setara dengan 3,5 persen dari total populasi dunia. Namun pada 2030, Indonesia akan menjadi negara keempat terbesar di dunia dengan populasi 295 juta, meningkat 14,7 persen dari 2015.
Orang menganggap Indonesia negara yang luas dan kaya raya. Apa akan tajir selamanya? Roda itu berputar. Indonesia bisa miskin, jika masyarakatnya mengabaikan kesehatan lingkungan.
Sebab efek penduduk itu, di Jakarta, kita bisa melihat banyak orang-orang yang tidak kebagian tanah dan lahan tinggal yang layak. Ada yang tinggal berdempetan di bantaran kali, ada juga di kuburan. Hal ini bikin saya terenyuh.
Dalam sebuah perbincangan kecil, di rumah kopi yang cukup padat pengunjung, teman saya berkata kalau di Jawa, gunungnya terlihat lucu dan menggemaskan.
Saya bertanya, mengapa? Ia bilang, di pos jelang puncak, ada penjual makanan. Di Gunung Slamet, ia sempat terheran-heran. Maklumlah, yang ia daki sebelumnya, di bukit dan gunung di Sulawesi Selatan, tidak ada model begitu.
Hanya ada sebuah pohon yang rindang, tumbuhan-tumbuhan yang hijau berseri, pendaki-pendaki yang ramah, air sungai jernih yang mengalir, dan kuncen gunung yang hidup sederhana.
Memanggapinya, saya bilang itu baru permulaan. Siapa yang tahu, jika nanti ada perumahan atau apartemen, atau warung makan bersertifikat luar negeri di puncak?
Orang-orang tak perlu lagi membawa tenda, kantong tidur dan makanan. Ia tertawa kecut. Sembari meminum es kopinya sedikit-sedikit lewat sedotan plastik.
Jika begitu, saat pagi kita bisa bangun dari tidur dan melihat matahari terbit di depan jendela, di sebuah puncak yang tingginya ribuan kaki di atas permukaan laut.
Saat itu juga, kita berfoto ramai-ramai bersama keluarga atau kerabat, memamerkannya di media sosial, orang akan kepincut, datang menyambangi gunung itu, membeli satu atau membangun sebuah rumah dan begitu seterusnya.
Sampai saya pulang, saya berpikir, di mana lagi manusia-manusia akan tinggal, jika di bantaran sungai, pinggir laut, dan ruang kosong kuburan yang belum digali, sudah hidup dan bergelimpang manusia karena ikut-ikutan?
Akhirnya gunung sudah tidak ada artinya lagi bagi para pendaki. Tetapi bagi pencari rezeki, alam sungguh berarti untuk mendapatkan duit. Mungkin untuk anaknya yang satu sampai tujuh mungkin, atau istri, atau keluarga mereka.
Lalu semboyan-semboyan yang selalu disiarkan politisi di televisi yakni bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; hanya menjadi kalimat kosong.
Kami akan jelang kerakusan dalam menciptakan penduduk baru, hari demi hari; kerakusan dalam mencari rezeki hari demi hari; kerakusan dalam hidup individualistik; kerakusan untuk surga kita sendiri.
Mungkin saja hari-hari sudah tiba, namun kita belum menyadarinya.