Ferdinand dan suporter sempat terlibat cekcok. Akibatnya, suporter membuat tafsirnya masing-masing. Ada yang membela Ferdinand, ada yang membela lawannya.
Jakarta, Lontar.id – Saya merasa agak miris ketika mendapati unggahan Ferdinand di akun instagramnya yang menyinggung soal seorang suporter. Begitupun sebaliknya.
Unggahan itu berisi untuk mengajak seorang suporter bertemu dan mengklarifikasi ceritanya, yang mengacungkan emot jari tengah pada Ferdinand. Suporter itu hanya menyebut nomor dengan kata, “saya tak menghormatimu lagi.” Sontaklah publik Instagram heboh.
Suporter itu kawan saya. Namanya Alis. Ia sosok yang mudah akrab dengan siapapun. Sekiranya, itu yang saya pahami darinya. Ia juga tidak serta merta menulis begitu jika sebelumnya Ferdinand santai-santai saja. Ferdinand punya salah.
Saya tidak mau membela keduanya, sebab saya tidak ingin masuk dalam masalahnya. Lagipula, mengapa mesti ada emot jari tengah, walau kita sebut tak respect lagi? Itu jelas sebuah kesalahan. Dilemparnya ke publik, menjadi alasan kedua.
Lebih jauh, saya enggan ikut terseret dalam masalah Ferdinand juga. Sebab saya pikir, buat apa? Soal sosok, Ferdinand saya kenali sebagai orang yang keras dan bengal.
Jadilah mereka saya simpulkan punya masalah besar untuk PSM kedepannya jika terus memupuk kesumat dan tak ada permaafan. Ini pikiran saya saja. Sungguh subjektif. Jika ingin dipahami dan tidak, juga tak masalah.
Saya sangat mengapresiasi kedatangan Ferdinand di PSM. Begitupun dengan sikap berapi-apinya. Siri na pesse. Jujur saja, sebagai orang biasa, saya juga menikmatinya. Toh, saya dulunya menjadi warganet yang suka dengan keributan. Namun, waktu memudarkannya.
Kini, sikapnya tampak mengerikan kalau cepat panas dan ingin mengamuk pada lawan jika tak sepaham malah diperuntukkan pada orang yang setiap ia bermain, disoraki dan disemangati. Ferdinand bukanlah seseorang yang sadisme dan suporter bukan masokis.
Sejarah mencatat, ada beberapa sikap keras Ferdinand yang sempat dilakukannya. Pertama, sewaktu ia memanjat pagar. Ferdinand saat itu membela tim nasional pada laga pertandingan amal melawan ASEAN All Star di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, pada Mei 2014 lalu.
Pada momen itu, ia terpancing emosi karena dirundung suporter setiap menggiring bola. Setelah pertandingan selesai, Ferdinand yang tampak emosi, memanjat pagar dan lari ke arah tribun suporter.
Untungnya ada pihak keamanan, yang membawa Ferdinand menuju ruang ganti. Ferdinand masih terlihat emosi dengan memukul bangku penonton saat berjalan menuju ruang ganti.
Akibatnya, Ferdinand tak dipanggil Riedl untuk membela Indonesia di Piala AFF 2014. Selain itu, Ferdinand juga dihukum Komdis PSSI berupa larangan membela timnas selama dua laga dan denda sebesar Rp 50 juta.
Cukup satu saja sejarah yang saya tulis. Saya tak ingin terlalu jauh mengungkit masa lalu. Toh, ia pemain yang saya sukai dan saya harap agar ia pensiun di PSM.
Mungkin saja kita sepakat, kalau Ferdinand orang yang tepat berseragam merah Juku Eja. Tipikal permainannya yang tidak kenal lelah, dan semangatnya di lini depan, akan dicintai publik Makassar sampai kapanpun.
Kini, 2014 berlalu, barangkali ada yang salah dari Ferdinand beberapa hari yang lalu. Dan sayangnya, penonton di media sosial ikut merayakannya dan mengompori.
Hasilnya, orang-orang yang notabene pendukung PSM, membela dirinya. Ada juga yang membela Alis. Keduanya terpecah. Efek terburuk, akan tercipta residu yang merugikan keduanya.
Saya lantas bertanya-tanya, apakah gerombolan pengompor ini orang yang paham masalah atau hanya melihat dari luarnya saja, serta dengan enteng memaki Alis, juga memaki Ferdinand dengan kalimat-kalimat yang tidak elok?
Dari akar masalahnya, saya sudah cukup paham, ini cuman miskomunikasi dan ego pribadi. Biasalah. Itu manusiawi. Saya juga sering begitu. Untung saja, banyak orang yang menegur kalau saya salah.
Usai berbuat satu kesalahan, atau merasa lebih besar dari orang lain, saya selalu menyesal pada akhirnya. Ada satu kutipan dari Derry Sulaiman yang membekas dalam ingatan saya: sebaik-baiknya kita, lebih baik orang lain.
Apalagi? Konflik sudah terjadi. Waktu tak lagi bisa diulang. Malu sudah menciprati muka kita, itupun kalau ingin meminta maaf atas sembrononya kita bersikap.
Sebenarnya, apa yang hebat dari memaki suporter dan pemain, di luar dari gaya mainnya yang mengecewakan? Sama sekali tidak ada. Hanya menghabiskan energi dan membuat dirimu tercatat jejak digitalnya sebagai orang yang bodoh dan menyisakan preseden buruk.
Mengapa bodoh, sebab suporter dan pemain bukan pilihan. Ia jadi material yang kesatuannya utuh tidak bisa dipisah. Masihkah kita harus menjadikan mereka seperti sayur, jika tak ada, tak mengapa? Dan kita dengan enteng saja makan dan melupakannya?
Tidak bisa begitu. Jika suporter tak ada, maka PSM harus kehilangan huruf S dan menjadi PM. Begitupun jika pemain tak ada, maka yang tinggal hanya SM. Jika keduanya tak ada? Yang tinggal cuman M, yakni manajemen. Maukah kita begitu?
Sudahlah. Mari kita doakan tiga hal yang menjadi satu itu bisa bekerja sama dengan baik. Kalaupun ada salah, kritiklah. Jangan sampai gontok-gontokan. Sebab kita semua PSM, bukan dia, atau saya.