Jakarta, Lontar.id – Mengapa setiap tahun PSM Makassar selalu dapat masalah di lampu melulu? Jika terus begini, bukan tidak mungkin PSM akan pindah kandang.
Awalnya saya kira takkan lagi hal itu menjadi masalah besar. Sebab, beberapa kali saya bertanya soal lampu, manajemen PSM zaman Irsal Ohorella, selalu menganggapnya aman saja.
Kalau aman mengapa harus disoal tiap tahun? PSM kah yang belum menuntaskan persoalan itu, atawa PT LIB yang setiap tahun membuat aturan yang tak mampu dipenuhi manajemen PSM?
Pindah kandang adalah hal yang harus disambut, jika PSM menyerah untuk mengurus kerumitan dalam mengelola Stadion Mattoanging dan menanti Stadion Barombong yang kelamaan.
Mereka bukannya tidak membangun apa-apa. Mereka sudah mengecor tribun terbuka, mencabuti rumput di tribun, dan lain-lain. Sampai-sampai pimpinan manajemen ikut bergabung.
Stadion Mattoanging, selain soal lampu, masih berkutat di masalah kepengurusan antara Pemprov Sulsel dan YOSS. Mereka masih berebut kuasa atas stadion tua.
Sementara Stadion Barombong tak kunjung jadi. Entah bagaimana bisa, stadion itu selalu meminta dana tambahan dan tambahan dan tambahan. Narasi soal permintaan dana awal, tidak pernah benar-benar dihitung.
Yang sempat bikin heboh adalah, robohnya bangunan tribun lantai tiga bagian selatan Stadion Barombong. Saya mengingat kejadian ini seperti judul cerpen A.A Navis, Robohnya Surau Kami.
Belum apa-apa sudah roboh. Apa yang ingin diharapkan dari pembangunan stadion itu kalau nyatanya, belum sempat ditempati untuk berjingkrak, sudah rusak.
Saya benar-benar pesimis kalau satu atau dua tahun stadion ini akan rampung. Jika wacana dilempar lagi, saya tertawa dalam hati dan merasa, “mainan apalagi ini?”
Dalam soal ini, saya selalu ingin berbicara jujur dan apa adanya. Tidak harus selalu merasa optimis dengan keadaan. Kita benar-benar sudah sering dikecewakan elite di Makassar itu.
Terakhir, kabar tak sedap datang yang saya akan duga sebelumnya. Pejabat-pejabat kita minta dana tambahan lagi hingga Rp500 Miliar. Sebelumnya, mereka disuntik dana seratusan miliar lebih, total dari 2017 sampai 2018.
Tentang anggaran tambahan itu, Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah mengaku akan membangun banyak hal di sekitar stadion.
“Anggaran itu akan kita gunakan untuk bangun lahan parkir, akses jalan masuk. Rencananya akan kita lebarkan jalan, mulai dari jalan Metro Tanjung Bunga sampai di dalam gerbang Stadion Barombong ini.”
Adakah aliran anggaran itu terkucur mulus atau mampat? Ya tergantung bagaimana kesepakatan dan haha hihi sambil teleponan atau jabat tangan atau minta restunya Nurdin Abdullah dengan pejabat-pejabat gede di Jakarta.
Bicara proyek itu, siapa dapat apa. Jangankan ngurus stadion. Mengurus KTP saja, prosesnya bisa lama. Kita bisa kecwa setelah pulang dari dinas catatan sipil atau kecamatan. Begitulah.
Sampai sekarang, yakin masih optimis dengan ribetnya berurusan dengan pemerintah dalam mengurus pelbagai hal? Pemkot Makassar dan Pemprov Sulsel tampaknya tidak mencintai sepak bola.
Sekarang tinggal merasa-rasa, jika PSM pindah kandang, ke mana bagusnya? Soal ini, kemarin, saya banyak berdiskusi dengan Ketua Komunitas VIP Selatan, Erwinsyah atau Ewink.
Kami berbcerita tentang banyak hal. Terkhusus soal stadion, ia bilang kalau sebaiknya PSM harus melihat tempat-tempat yang banyak dihuni oleh orang Makassar.
Apa alasannya? Sebab tak elok jika PSM bermain sendiri di kandang orang. PSM harus disemangati baik dari tribun dan vip di stadion yang ia pilih nantinya.
Ewink menyarankan beberapa tempat jika memang, pada akhirnya, PSM jadi tim musafir lagi karena hal-hal yang mendesak, yang mau tidak mau harus dilakukan daripada tidak sama sekali.
“Saya pikir sih di Balikpapan dan Samarinda itu bagus.”
Lebih rinci, karena ia pernah ke sana untuk away day, menurutnya banyak orang Makassar, orang Sulsel di Kalimantan. Mereka juga banyak yang jadi pejuang untuk Pasukan Ramang.
“Deh, banyak. Kalau PSM main, orang-orang pelosok biasanya datang untuk nonton. Bayangkan saja perjuangannya dari kota a ke kota b demi PSM.”
Satu hal bagus, yang masih kita bisa banggakan sampai sekarang adalah, masih ada yang peduli. Masih ada yang mencintai klub paling senior di Indonesia ini.
“Kalau memang PSM mau di Bali, lebih baik urungkan.”
Ia menolak, sebab biaya perjalanan dari Makassar ke Bali itu mahal. Apalagi soal kepastian penurunan harga tiket pesawat, masih jadi batu pengganjal.
Ia menyarankan kalau memang ada niatan untuk berkandang di pulau Jawa, ia memilih agar bertempat di Surabaya saja. “Tentunya itu semua harus dapat izin dulu. Jika memang boleh, di sana juga bagus.”
“Alasannya karena di sana banyak orang Makassar. Makassar-Surabaya kalau naik kapal juga makan waktu sehari. Insyaallah orang-orang sanggup bayar tiket kapal lautnya. Tidak masalah.”
Setelah berbincang dengan Ewink, saya punya pertanyaa untuk diri sendiri: sudah siap PSM jadi tim musafir? Jika iya, di mana kandang sementara yang cocok untuk Juku Eja?