Jakarta, Lontar.id – Sewaktu belia, memasuki masa SMA. Ada banyak musik yang menemaniku tumbuh dewasa. Dari segala aliran musik. Dari yang bising sampai easy listening, yang mudah untuk diterima telinga.
Saat itu, di ruang kelasku, aku bernyanyi dan memukul-mukuli meja. Menggebraknya. Kawan-kawanku menoleh dan seraya berkata, “lagu apa itu?” Aku lalu mengenalkannya pada The Used, musik bising yang vokalisnya, Bert Mccracken, gemar sekali berteriak.
Bert seorang yang modis. Rambutnya gondrong, di tangannya penuh dengan tato. Aku menyukai gayanya setelah kulihat kegemarannya memakai celana pendek kargo, dan tekniknya dalam menyanyi, seperti memutar kabel mig.
Namun ada satu hal yang membuatku merasa aneh. Sewaktu ia mencium seorang lelaki di atas panggung. Ya, french kiss dengan lekas. Banyak kabar yang menyebutkan kalau ia seorang biseksual. Ia punya seorang istri dan juga bisa mencintai seorang lelaki juga.
The Used juga kerap mengampanyekan hak-hak seorang gay dengan pelbagai teorinya. Di Indonesia, seperti yang kita ketahui bersama, hal itu sangat tabu dan kau seketika akan dibenci jika dirimu seorang homo. Aku sendiri membenci hasrat seksualnya, tapi tidak pribadinya. Pribadinya tidak salah, hasratnya yang menyimpang.
“Aku mendengarkan The Used?”
“Apa itu?”
“O ya, judulnya Buried My Self Alive.“
“Eh? Band tidak jelas.”
Aku tertawa. Kuabaikan omongannya karena memang ia tidak mengerti dengan band-band bising yang kudengar. Di kelasku, cuma seorang yang kerap kuajak diskusi tentang band yang saat itu lagi booming di kalangan pemuda di Makassar.
Kupikir pergaulan akan membentuk selera musik. Memang begitu. Teori itu benar adanya, setelah aku merasa kalau lingkunganku sewaktu dulu banyak mencekokiku dengan pelbagai macam jenis dan aliran band baik lokal atau internasional.
Aku sudah lama tidak mendengar The Used secara intens. Aku rasa umurku sudah tidak cocok dengan musiknya. Musiknya yang dulu terlalu muda buatku yang lelaki yang sudah ditoyor dengan pertanyaan kapan menikah.
Satu hal yang kutahu, Bert, pernah berterima kasih pada mendiang Chester Bennington. Chester, sewaktu aku SD, juga kucintai karya-karyanya. Siapa yang tidak kenal dengan Linkin Park di kalangan manusia belia di kota, medio 90-an?
Chester akhirnya bunuh diri, setelah sudah menyelamatkan Bert yang akan menghabisi umurnya sendiri. “Chester ada di sana untukku pada saat aku ingin bunuh diri. Dia menyelamatkan hidupku pada tahun 2004.”
Bert pikir, tindakan Chester membunuh dirinya, terjadi karena ia kesepian. “Fakta bahwa tidak ada yang bisa berada di sana untuknya pada saat-saat itu, adalah sesuatu yang harus kita semua pikirkan.”
Aku mencintai karya The Used dan Linkin Park, tetapi aku kurang sepakat dengan tingkah laku dua vokalisnya, kadang-kadang. Tetapi begitulah fans, bukanlah mencintai secara fanatik, jika belum menuntut pujannya perihal bagaimana gerak-gerik yang baik.
Sewaktu SMA, kawan-kawanku tidak cuma seorang anak sekolah. Ada juga montir bengkel mobil, buruh kasar perumahan, nelayan, dan pelbagai macam profesi. Musik yang ia dengar juga lain. Melayu. Ya, melayu.
Suatu ketika, pada era keemasan ponsel N-Gage, kawan-kawanku di sekolah juga memutar lagu yang cukup ngenes. Suara vokalisnya tampak menyedihkan. Lengkingan suaranya benar-benar nggak banget. Liriknya buruk.
Namun, mereka semua menyukainya. Musik menemukan pasar. Taktik band itu cukup jitu. Nama band itu belakangan kuketahui adalah Kangen. Kangen Band. Band itu cukup menyita perhatian publik pada zamannya.
Kucoba untuk menjauh dari musiknya, tetapi tidak bisa. Lapisan masyarakat Indonesia sudah takluk dengan lirik dan irama musiknya. Aku ingin berontak, tapi tidak mungkin. Kenyataan harus diterima. Begitulah mayoritas masyarakat Indonesia.
“Apa sih ini? Lagunya menyedihkan sekali.”
“Loh, dengar dulu.”
Aku lalu membeli satu cd bajakannya. Aku dengar musiknya. Tak cukup beberapa lagu, aku sudah tidak tahan. Ia menyeretku dalam kesedihan yang mendalam. Kesedihan yang sama sekali tidak elegan. Kesedihan yang tidak menjual. Tidak bisa bikin orang simpatik. Boro-boro simpatik, kalau tahu dengar lagu itu, aku malah dirisak.
Semakin kujauhi musik itu, semakin musik itu datang. Bagaimana tidak datang, jika hampir setiap orang terbius. Kawan-kawanku yang menjadi nelayan, buruhm dan segala macam, mendengarnya. Di tempat keramaian, musik Kangen juga diputar.
Aku mencari tahu vokalisnya, setelah liriknya perlahan-lahan masuk di kepalaku. Benarlah, kalau liriknya lebih mudah dihapal daripada pancasila yang kerap kita lupa bunyinya. Nama vokalisnya, Andika. Kini, ia dipanggil Babang Tamvan.
Andika, sewaktu menjadi musikus Kangen, rambutnya memang bikin gerah. Poninya cukup menganggu. Gayanya. aduh. Bayangkan saja, kalau poniku menutupi mata, pastinya ujung rambut itu akan menusuk-nusuk wajahku. Andika kok betah ya dengan rambutnya?
Secara pribadi, Andika bukan tipikal orang yang bisa kujadikan patokan dalam bermusik. Liriknya menye-menye. Seluruh personelnya punya gaya yang tidak nyentrik. Namun, sekarang sudah berubah. Pandanganku akhirnya berubah pada Andika juga Kangen.
Sebabnya adalah Andika punya kisah yang menarik. Itulah mengapa judulnya kuberi kalimat sepeti itu. Aku tidak menyukai cara bermusik Kangen, tetapi aku menyukai kisahnya yang gigih dan mau berjuang secara kuat melewati masa-masa sulitnya.
Sejak Andika diwawancarai secara ekslusif di channel youtube Gofar Hilman, pernyataan Andika semakin menegaskan, kalau ia bukan untuk dibenci. Perjuangannya harus dipelajari pada pemuda dan pemudi atau anak cucu kita nanti.
Si Babang Tamvan sudah berubah. Rambutnya tidak lagi gondrong dan menakutkan. Ia sudah merapikannya. Andika sekarang bukanlah Andika yang kukenali lewat poster dan gambar-gambarnya atau meme yang beredar.
“Siapa yang tidak marah dimaki-maki begitu? Gue laki loh.”
Ya, makian yang kerap kita lontarkan membuat Andika emosi. Jika saja anak Andika sudah besar, ia pasti marah dan mencari kerumunan pemaki itu. Tetapi tidak. Andika harus takluk dengan pikirannya sendiri.
“Setelah beredar meme, kok rezekiku makin bertambah? Kupikir ini cara Tuhan memberi aku rezeki.”
Mulailah ia dipanggil televisi dan diulas media-media yang cukup besar. Kerumunan pemaki Andika membuat Andika menjadi sosok yang bersinar terang di mata media. Makian tidak menjatuhkan dan merugikan Andika.
“Saya malah berterima kasih kalau ada yang memaki saya. Jadi yang ingin memaki, silakan.”
Andika tahu apa dampak makian yang dihunjam padanya. Ia tidak mati. Ia malah bertabur rezeki. Jika dalam teknik pemasaran, Andika berhasil membuat dirinya menjadi merek yang diolah dari noise atau suara bising.
Yang paling membuatku harus khusyuk mendegar wawancara Andika dengan Gofar adalah, sewaktu Andika menjelaskan pada kita semua, soal bagaimana seharusnya berjuang. Bagaimana tidak patah arang karena hujatan.
Saya pikir Andika patut menjadi contoh generasi masa kini. Jika bukan karena musiknya dan liriknya yang menye total. Paling tidak, ia bisa disukai karena sikapnya yang kokoh dan tahan banting. Sebab kariernya berawal dari tukang batu, hingga menjadi seperti yang kalian kenal saat ini.