Lontar.id – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya mengecam keras deportasi terhadap buruh migran sekaligus jurnalis warga, Yuli Arista, yang dilakukan pemerintah Hong Kong.
Ketua AJI surabaya, Miftah Faridl, melalui rilis tertulis, menjelaskan, pendeportasian terhadap Yuli diduga akibat aktivitas jurnalistik yang dilakukan Yuli. Perempuan yang sudah 10 tahun menjadi buruh migran di Hongkong itu rutin melaporkan kejadian di sana, baik melalui tulisan maupun foto, langsung dari titik demonstrasi.
Menurutnya, informasi-informasi yang disampaikan Yuli sangat bermanfaat bagi semua orang yang ingin mendapatkan informasi terkait apa yang sebenarnya terjadi di Hongkong.
Yuli menyajikan semua informasi yang didapatnya melalui media alternatif bernama Migran Pos yang digagasnya bersama sejumlah pekerja migran.
“Yuli menyajikan informasi dari narasumber yang ada di lokasi, ketimbang hanya informasi dan peringatan normatif yang diberikan perwakilan Indonesia, dalam hal ini KJRI Hong Kong,” jelasnya.
Miftah menambahkan, aktivitas jurnalisme warga yang dilakukan Yuli tersebut, dianggap berbahaya oleh otoritas Hongkong.
“Yang dialami Yuli menjadi bukti semakin buruknya kebebasan berekspresi di era demokrasi. Sebelum membuat media sendiri, Yuli tercatat sebagai kontributor Suara, media lokal berbahasa Indonesia di Hongkong,” lanjutnya.
Sebelum dideportasi, pemerintah Hongkong melalui departemen imigrasi menjebloskan Yuli ke tahanan Pusat Imigrasi Castle Peak By selama 28 hari.
Yuli ditangkap pada 23 September 2019. Dia lantas mengajukan banding, dan pada 4 November, pengadilan pun menyatakan Yuli tidak bersalah karena minimnya bukti yang diajukan kepolisian.
“Namun pihak berwenang di Hongkong mencari celah agar bisa menghentikan aktivitas Yuli. Yuli pun dituduh melewati masa izin tinggal,” imbuh Miftah.
Miftah melanjutkan, berdasarkan pengakuan Yuli, masalah izin tinggal sebenarnya bersifat adiminstratif dan bisa diselesaikan dengan pengajuan izin. Terlebih majikannya juga melakukan pembelaan. Namun, pihak berwenang malah menjebloskannya ke tahanan.
“Saya diperlakukan seperti kriminal. Mereka melanggar aturan yang mereka buat sendiri,” ujarnya menirukan perkataan Yuli.
Kata dia, Yuli mengaku diperlakukan tidak manusiawi selama dalam tahanan. Tahanan imigrasi, menurutnya, lebih buruk dari tahanan atau penjara kriminal.
“Pertama, case saya bukan sebuah case yg biasa. Saya ditahan dengan alasan yang sebenarnya tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku di Hongkong,” tuturnya.
Selain itu, dalam penahanan, dia merasakan banyak kejanggalan. Yuli juga menemuka teman-temannya yang bukan pelaku tindak kriminal, tetapi diperlakukan lebih dari orang-orang yang ada di penjara.
Sebelumnya, polisi Hongkong juga menembak mata jurnalis Indonesia, Veby Mega Indah. Veby dilaporkan buta setelah terkena peluru karet dari polisi Hong Kong. Veby ditembak saat meliput demonstrasi yang mengguncang sejak Juni. Peluru itu menembus ketika kacamata pelindung dalam bentrokan pada 29 September 2019.