Jakarta, Lontar.id – Sebenarnya masih terlalu dini untuk mendesak turunnya harga tiket, sebab puasa saja belum. Tetapi lebih baik pengambil kebijakan atas naiknya tiket pesawat diingatkan.
Dari kemarin banyak memberi jalan untuk mencoba naik kapal laut, di tengah janji-janji Bapak Menteri Perhubungan Indonesia, kalau tiket pesawat akan turun. Saya kira sarannya bisa diterima. Bagus.
Tetapi mengapa sih, Pak Menteri harus berbicara dengan nada politis di musim politik, sebelum pencoblosan? Kenapa gak bicara saja kalau tiket sedang diusahakan turun? Disuruh siapa Pak?
Ya, andai Pak Menteri mau jujur-jujuran juga orang tidak akan berharap. Dari awal, sebenarnya, saya sudah tidak peduli dengan kenaikan harga tiket.
Memang, sebagian masyarakat Indonesia itu cepat lupa. Saya masuk dalam hitungannya. Contohnya, dijanji soal mobil saat kampanye, lalu dilupakan pada akhirnya. Orang juga sudah tidak lagi meminta.
Yang penting, kata seorang bijak, masyarakat cuma ingin perut kenyang. Jika perut sudah kenyang, daya nalarnya hilang. Yang ada planga-plongo dan tidak punya kekuatan untuk protes lagi.
Analoginya, seperti macan yang kekenyangan, jika ditawari daging lagi, maka ia sudah tidak lagi ingin memakannya. Insting buasnya kemudian hilang. Kalau mau tahu lebih jelasnya, silakan tanya pada penjinak hewan di kebun binatang.
Saya itu sudah ikhlas loh. Lah, mau ngapain lagi, kalau tiket pesawat naik, mau gimana? Awalnya, di Jakarta, saya cuma fokus kerja saja. Mengumpulkan rupiah dengan semangat. Memutar otak untuk membawa oleole ke kampung halaman saat mudik.
Lalu tiba-tiba Pak Menteri kita yang baik itu bicara, berjanji. Salah siapa kalau saya atau banyak orang menagihnya? Makanya, jangan diingatkan!
Sekarang apa? Harga tiket pesawat belum turun-turun juga. Air tenang itu pelan-pelan berubah jadi pusaran yang menyedot janji yang serupa kapal besi yang besar di lautan lepas.
Kalau akhirnya tidak bisa diturunkan, mau bagaimana Pak Menteri? Apa tetap menutup telinga dengan tagihan-tagihan? Untung saja, tagihan yang Pak Menteri alami ini, bukan tuntutan dari kolektor pembiayaan.
Kalau dari pembiayaan, Pak Menteri sudah dibentak-bentak dan diteror terus dengan telepon gelap. Untungnya, manusia yang Pak Menteri janji itu orang-orang baik, yang suka cari jalan tengah. Tak suka ribut.
Sekarang, Pak Menteri, banyak saran untuk naik kapal laut kalau toh Pak Menteri tidak juga mengabulkan janjinya. Kapal laut dianggap sebagai alternatif terbaik, setelah kereta tentu saja, tergantung kita mau ke mana.
Saya sendiri mau ke Makassar. Belum ada kereta api di Sulawesi Selatan. Makanya pilihannya cuma dua, naik kapal laut atau naik pesawat. Kapal laut harganya bisa dipastikan lebih murah dari tiket pesawat.
Tetapi tunggu dulu, naik kapal laut, harus banyak yang dikorbankan. Apa itu? Sebentar saya jelaskan. Omong-omong, sebagai pekerja, pemerintah sudah mengatur libur Lebaran sedemikian rupa atau cuti bersama.
Apa nanti libur Lebaran akan seperti tahun lalu, yaitu lebih sepekan? Belum tahu. Siapa tahu berubah lagi kan. Kalau pun nanti libur menjadi lebih sedikit, maka sudah pasti kapal laut bukan pilihan yang baik.
Selalu ada potensi berubah atau tidak, tergantung bagaimana kebijakan yang mempengaruhinya diatur. Misal berubah menjadi lebih sedikit, maka tidak mungkin memilih kapal laut untuk mudik.
Contohnya saja dari Jakarta ke Makassar begitu juga sebaliknya. Perjalanan pulang pergi saja makan waktu empat hari. Lalu liburnya memang mau berapa hari, mas dan mbak? Keputusan baik, jika tahun ini liburnya lebih dari seminggu.
Kalau cuma empat hari, kita hanya buang kentut atau buang tai atau buang ludah saja di kampung halaman, kemudian kembali lagi ke Jakarta. Apa enaknya seperti itu?
Makanya, kapal laut menjadi opsi, seperti pada tulisan saya sebelumnya. Orang-orang seperti saya atau mungkin pegawai di instansi pemerintahan sepatutnya mengharap harga tiket pesawat turun. Biar pulang kampung lebih cepat dalam hitungan jam dan menghabiskan waktu bersama keluarga besar jadi lebih banyak.
Jika bertambah, maka saya kira kapal laut bisa dipertimbangkan. Empat hari dari perjalanan pulang pergi Jakarta dan Makassar, tidaklah menjadi masalah. Kan libur sudah bertambah.
Jika libur tidak bertambah malah berkurang, harga tiket pesawat tidak turun malah makin naik jelang lebaran, maka sebaiknya Pak Menteri memeriksa nuraninya, karena tidak semua orang dapat tunjangan hari raya dan tidak semua orang digaji dengan layak di ibu kota.
Jangan sampai keluar pernyataan nyeleneh yang kira-kira bisa bernada: ya tidak usah pulang kampung kalau harga tiket pesawat mahal; tidak usah terbang, kalau harga tiket pesawat mahal.
Hadeh!