Lontar.id – “Saya menangis karena jualanku tak ada yang laku.” Baru dua hari pulang dari Jakarta, Mama sudah berdagang seperti biasa. Minuman dingin dan makanan ringan.
Mama orang yang tak mau diam di rumah. Ia kuat bekerja. Kadang menjadi buruh cuci, tukang setrika dari rumah ke rumah. “Yang penting berkahnya.”
Mama pintar berkreasi di dapur. Di warungnya yang sederhana, dari seng yang berkarat dengan papan-papan tipis yang tak bisa menahan lompatan orang dengan berat 40 sampai 50 kilo ke atas, ia berdagang mi udang.
Mi udangnya berkuah dan bisa ditaruh sedikit cuka. Rasanya lebih enak ditambah sambal tumis. Mi yang ditawarkannya berasal dari mi instan dan diberi bumbu khusus bersama udang kecil. Anak-anak sampai orang dewasa gemar membelinya.
“Saya dituduh pembawa Covid-19 oleh tetangga,” kata Mama. Beberapa orang menjauhinya. Di telepon, kami berhadap-hadapan lewat video call. Mama tidak menangis lagi, ia cuma mengeluh.
Di Jakarta
Aku mengundang Mama untuk menghadiri pernikahanku yang sederhana di Indramayu, Jawa Barat. Dari jauh hari, aku sudah menyiapkan semuanya.
Aku membeli dua tiket pesawat atas nama Kasma (Mama) dan Fatimah Asdar (adikku) dari Makassar ke Jakarta dengan hasil jerih payahku sendiri serta membuka pintu rumah tinggal milik kawan untuk kami istirahat. Sebelum Mama datang, memang sudah kupikir akan membawanya ke mana yang ia mau.
“Mama, di Jakarta banyak mal. Mama bisa menyimak lampu yang tak pernah padam jika malam tiba. Jakarta hidup terus. Dan gedung-gedungnya besar. Aku yakin, Mama takkan melihatnya di Makassar.”
Kemarin, rencananya, akan kuajak ia dan adikku makan malam bersama calon istriku di tempat yang ia mau. Mau di rumah pizza atau makanan sejenisnya. Ada pedagang pizza yang tak bakal Mama jumpai di Makassar. Dow-nya enak. Tak seperti pizza yang kerap mengiklankan jenamanya di teve-teve. Rotinya mudah alot jika sudah tak hangat.
Sayangnya, mimpi itu sirna. Perekonomian Jakarta ambruk diserang wabah menyakitkan sampai mampu mematikan manusia. Orang-orang banyak yang dirumahkan dan di-phk. Menyedihkan.
Sudah jauh hari saya menjaga diriku dengan jarang keluar rumah. Jika bepergian, aku tak memakai masker, hanya ke kafe yang sepi, mengetik kerjaan, dan pulang ke rumah.
Tanggal 4 April, hari kedatangan tiba. Bersama kawan, aku menjemput Mama di Bandara Soekarno Hatta. Kami menunggu di Terminal 2. Keadaannya sepi. Jalan ke bandara sungguh lengang.
Kami berpelukan selaiknya anak dan orangtua. Adikku mencium tanganku. Mereka sehat walafiat. Tidak batuk, tidak demam, dan tidak menunjukkan gejala bahwa ia tertular virus.
Temanku masuk membeli segelas es kopi di warung berpendingin dan tampilannya oke. Cuaca Jakarta agak terik siang itu. Aku pergi melihat di depan pintu kedatangan.
Mama tiba. Ia memakai jaket jin, terusan bermotif bunga, tas kepit perempuan, dan masker. Adikku juga, pakai masker. Ia tampil trendi, sebab ini kali pertama mereka datang ke Jakarta.
“Di pesawat cuma 11 orang.”
Aku kaget. Kata Mama, angka itu memang nyata. Pramugari menyebutnya di depan pintu pesawat. Mama pikir, mereka tidak akan bisa sampai Jakarta. Media bilang apa, rakyat terima apa.
“Banyak yang menyarankanku untuk tidak berangkat, sebab mereka yakin kami akan ditahan. Nyatanya tidak. Suhu tubuh kami cuma diperiksa lalu dipersilakan masuk ke pesawat.”
Sampai di rumah, kami mandi bersih. Kami memesan makan lewat ojek daring. Dua hari berturut-turut selalu begitu. Kami tak keluar rumah berkeliling kota. Aku ingat, mereka sepertinya tertarik menghampiri Monas.
“Begini, Mama, mal-mal sudah tutup. Keramaian sudah tak boleh di sini. Mama memang mau ke mana lagi selain ke mal?”
Mama terdiam dan berpasrah dengan keadaan. “Ya, janganmi, Nak. Keadaan juga tidak memungkinkan. Lebih baik kita langsung ke Indramayu, saja.”
Kami tidur bersampingan kamar. Pagi sekali, 5 April, kami pergi ke Stasiun Pasar Senen, naik kereta ke Jatibarang, Indramayu. Di jalan, Mama dan adikku semringah. “Aku baru akan mencoba naik kereta.”
Pemeriksaan di stasiun sangat ketat. Orang-orang melindungi dirinya dari pandemi. Ada semprotan disinsfeksi di dekat rail pintu masuk. Pengamanan banyak disiapkan. Suasana stasiun sepi, tak seperti biasanya jika aku ingin ke Jogja atau Indramayu.
Di sana, Mama tak lupa untuk mencuci tangannya, tidak memegang benda-benda asing dan lain-lain. Kami langsung saja naik ke kereta. Tak sampai beberapa menit, kereta berjalan. Mama dan adikku tersenyum.
“Alhamdulillah,” aku membatin.
Di Indramayu
Selama di perjalanan, Mama dan adikku bertatap muka lewat layar ponsel dengan tanteku di Makassar. Mereka memperlihatkan hamparan sawah yang luas. “Ini jalanan ke Indramayu. Saya naik kereta. Yey…” goda Mama.
Adikku juga tak mau kalah. “Kami naik kereta. Ini mau ke Indramayu.” Beberapa kali ia memperlihatkan situasi dalam gerbong biar tanteku terkaget-kaget.
Selama tiga jam perjalanan, kami tiba di Stasiun Jatibarang. Kami mengangkat satu koper berat Mama yang isinya adalah baju pesta dan lebih banyak baju dari adikku. Selebihnya, tas ransel. Di depan pintu masuk yang juga pintu keluar, kami ditanyai dari mana.
“Kami dari Jakarta, Pak.”
Aku berbicara kepada seorang polisi yang ramah. Kemejanya biru dongker dengan dua kantung di dada. Aku tidak sempat mencatat namanya. Ia yang mencatat nama kami.
“Aku Almaliki, Pak. Kami berempat mau pergi ke Pawidean.”
Dari Jatibarang ke Pawidean, dekat. Menghabiskan jarak tempuh kurang lebih 10 menit. Aku mengambil motor yang sudah disimpan dari tanggal 3 April. Mama, adikku, dan calon istriku berangkat pakai ojek mobil daring.
Aku singgah membeli mi ayam dan bakso di daerah Jatibarang. Di sana tak ramai orang. Cuma ada empat. Aku berdiri di dekat gerobaknya. Pedagangnya langsung membuatkan pesanan. Aku tak berkontak fisik dengan siapa pun.
Pernikahan Kami
Di Indramayu yang luas, sampai pada tanggal 16 April, lewat catatan Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Indramayu, tersebut hanya ada dua positif covid.
Walau begitu, resepsi pernikahan tetap tidak diperbolehkan. Kami sempat didatangi petugas desa, aparat keamanan dan pemeriksa kesehatan dari kedinasan.
Setelah berbicang, jadinya kami tak boleh berkumpul ramai-ramai. Akad nikahnya, di dalam ruangan KUA, hanya boleh ada 10 orang. Tak boleh berdekat-dekatan. Benar, kami paham. Kami ikhlas.
Tanggal 7 April, pagi pukul 09.00, kami berangkat dari rumah ke KUA. Kami naik mobil bersama keluarga besar. Calon mertua, Mama, adik, aku dan calon istriku. Sebagian naik motor ke KUA.
Sampai di sana, tak banyak orang. Cukup sepuluh saja. Kami bergegas masuk ruangan untuk akad yang dingin. Aku akhirnya mengucap akad disaksikan oleh penghulu dan orangtua mempelai perempuan. Sah. Lega.
Setelahnya, kami menyambut beberapa orang di rumah. Makan ala kadarnya. Di rumah kami, yang sudah dipantau tentara dan polisi, sudah disiapkan cairan sanitasi tangan. Lengkap.
Keesokan harinya, masih ada tamu yang datang. Kebanyakan para ketua kelompok tani dan petani-petani yang tampilannya sederhana. Kami turut berbahagia.
Di Makassar
Pada Kamis, 9 April, kami balik ke Jakarta menggunakan kereta lagi. Sebelum kami pulang, kulihat Anies Baswedan berpidato soal PSBB di televisi. “Jumat 10 April, DKI Jakarta akan melakukan PSBB.”
Mama khawatir dan memegang tangannya. “Aduh, kita bisa pulang tidak ya?”
“Iya, Mama. Bisa. Tenang ya.”
Kami kembali ke Jakarta. Pelantang suara Stasiun Jatibarang mengabarkan, kalau kereta ke dan dari Jakarta, Jumat, sudah tidak ada. “Sudah disetop, Pak,” beber seorang petugas penjaga pintu stasiun.
Sampainya di Jakarta, kami cek lagi di aplikasi pemesanan tiket. Masih ada satu kereta untuk Sabtu siang. Kami periksa lagi di ruang informasi stasiun dan diiyakan. Kami memesan tiket kereta buru-buru.
“Kalian yakin bisa kembali ke Indramayu?”
“Kami yakin. Masih banyak jalan yang terbuka untuk kami pulang. Terpenting, Mama dan adik pulang dulu. Sampai dengan selamat.”
Mama berangkat Sabtu dini hari ke Makassar. Di bandara angin berembus pelan. Pukul 03.00 yang dingin meski tubuhku dibalut jaket. Lampu-lampu gedung di Karet Kuningan, temaram. Jakarta sedang murung dan kehilangan sinarnya, namun kejamnya tidak.
Mama melepasku dengan sedu yang pecah di dua bola matanya. Ia memeluk istriku. Lalu kami berpisah. Kami akhirnya menjauh. Mereka, anak Antang, Kampung Baru, menghilang di pelupuk mata. Masuk ke dalam lambung pesawat.
Dua hari sesampainya ia di Makassar, celaka menabrak batinnya yang mudah terenyuh. “Tidak apa, yang penting uang simpanan masih ada. Itu masih bisa dipakai. Biar, jangan menjual dulu, Mama.”
Mama bilang, ia sudah membuat sambal jalangkote, namun membuat jalangkotenya tidak, karena takut tak terjual. Adik lelakiku yang berdagang keliling Kampung Baru sembari berteriak, “Ooo, jalangkote…”
“Nanti tidak ada yang mau dengan jalangkote yang dibikin oleh orang yang pulang dari Jakarta.”
“Nanti kami dibilangi jalangkote corona,” sahut pedangan keliling jalangkote Mama, adik lelakiku.
Begitulah. Orang-orang kadang berlaku kejam dengan sesamanya tanpa alasan logis. Orang paranoid lebih cekatan mengasah lidahnya dalam berbisik dari tetangga satu ke tetangga yang lain.
Mamaku tidak sendiri, di daerah lain juga banyak yang digunjingi. Bahkan sekelas dokter tenar sekalipun, di Makassar, tak luput dari kesilapan bisik-bisik tetangga.
“Tapi mereka yang menggunjingi kita, yang takut itu, masih meminta jambu yang kita tanam. Aku teriak, ‘jangan, itu jambu corona’,” adikku tertawa.
“Hush, tidak boleh. Kalau tidak diberi, nanti jambunya busuk. Biar orang-orang mengambilnya, Nak. Tidak apa.”
Mamaku orang yang baik dan tidak pelit. Ya, kami sekeluarga sudah sering kalah dalam pergulatan hidup ini. Tapi kami tidak memilih jalan mati. Kami terus melanjutkan hidup dengan riang gembira.