Enam pemuda asal lampung, Kangen Band, mencoba menantang Jakarta dengan lagu “Tentang Aku, Engkau dan Dia”. Sukses mereka menciptakan gema dan gairah terhadap musisi daerah lainya. Nama-nama band lain kemudian bermuculan seperti Hijau Daun, D’Bagindas, Wali dan St 12 (idola gua). Berkat hijrahnya kangen band ke Jakarta ia telah mempelepori warna dalam Industri musik pop Indonesia.
Warna ini cukup merajai pasar musik Indonesia, band-band tersebut mengusai penampilan di TV, penggunaan Nada Sambung Pribadi (NSP), hingga penjualan album (kebanyakan bajakan), membuat musisi-musisi ibu kota lainya kebakaran janggut. Tidak lama berselang, Efek Rumah Kaca melalui lagu “Cinta Melulu” dengan sangat deskriptif (lagu perselingkuhan, ode pengusir rindu, elegi patah hati) menuduh band-band tersebut sebagai pengobral cinta, dan mengasosiasikan hal tersebut dengan etnis melayu. Hal ini tentu sangat aneh mengingat lagu-lagu Gled Fredly bahkan band Slank juga syarat akan patah hati, tapi tidak ada yang mengasosiasikan dirinya dengan melayu.
Menahan prasangka buruk saya, ternyata apa yang dituduh melayu dalam lagu “cinta melulu” bukan hanya persoalan lirik, akan tetapi lebih kepada persoalan teknik vokal “mendayu-dayu”. Lebih spesifik lagi teknik vokal yang mengutamakan cengkok dalam variasinya. Teknik vokal ini dapat ditemukan dalam musik dangdut. Selain gendang, lagu dangdut memang identik dengan vokalnya yang mengutamakan cengkok.
Bicara mengenai dangdut adalah bicara mengenai seribu satu mitos. Dangdut selalu mendapatkan perlakuan berbeda, walaupun merupakan bagian dari industri musik Indonesia, ia tidak pernah sejajar dengan musik pop lainya. Jika seseorang berbicara mengenai musik pop, penyanyi seperti Rhoma Irama tidak pernah terbesit dalam pikirannya. Jika Pop dalam Musik Pop merujuk pada kata “populer” bukankah dangdut sangat populer? Jika tidak, lalu apa sebenarnya musik Pop itu, khususnya musik pop di Indonesia?
Terlepas dari pertayaan tersebut, apakah benar lagu-lagu St 12 berciri dangdut dan melayu? Merujuk pada Emma Baulch dalam Pop Melayu Vs Pop Indonesia: New Interpertation of Genre 2000s , ia mengkaji bagaimana musik dari St 12 (PUSPA), ketimbang dangdut, repetoar musik mereka lebih mirip dengan musik Rock, tetapi dengan teknik vokal yang lebih cengkok.
Dalam Lirk lagu walaupun sering membicarakan persoalan cinta secara vulgar (non-puitis) sebagaimana juga dalam lirik lagu dangdut, akan tetapi St 12 tidak pernah menyangkutkan persoalan-persoalan sosio-ekonomi-politik dalam lirik cinta mereka, hal ini tentu berbeda dengan lirik dalam dangdut. Merujuk pada Weintraub, dalam “Musik dan Rakyat: Mengonstruksi “Rakyat” dalam Dangdut” apa yang paling berperan dalam menjadikan Dangdut sebagai musik rakyat adalah liriknya yang sering membicarakan realitas sosio-ekonomi-politik. Penelitian yang dilakukan oleh Solihun, Perjalanan Majalah Musik di Indonesia juga makin memperjelas hal tersebut, dalam sebuah wawancara, Charly Van Houten tidak pernah menyebutkan komposer/penyayi dangdut sebagai inspirasinya dalam bermusik, alih-alih dangdut ia malah merujuk pada Ari Lasso dan Peterpan. Lalu di mana dangdut dan melayunya?
Masih di dalam rasa penasaran , penulis melakukan survei sederhana di Instagram, dengan pertanyaan, siapa yang lebih pantas untuk go international (dalam konotasi seperti Agnes Monica)? Sheila On 7 atau St 12? Hasilnya tidak mengejutkan, St 12 jauh tertinggal di belakang. 20 (dua Puluh) untuk Sheila on 7 dan 1 (satu) untuk St 12 (pemilih St 12 adalah ibu saya, saya tidak pernah ingat, apa ia benar-benar tahu tentang band bernama St 12 atau Sheila On 7). Dalam selera followers Instagram saya, Duta berkelas ketimbang Charly. Pop Indonesia jauh lebih representatif di dalam “Melompat Lebih Tinggi” ketimbang “Cari Pacar Lagi”.
Atas nama rakyat St Setia, saya mengutuk hasil survei tersebut. Lalu berdalih selera (taste) tidak pernah turun dari langit, ia adalah bagian dari konstruksi sosial, proses diskursus dan tentu menyimpan berbagai selubung kuasa. Sheila On 7 tidak pernah lebih baik dari St 12.
Penulis: Abdul wazib, 23 tahun, seorang sarjana Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Saat ini, sedang meneliti genre musik pop, gender, dan gaya hidup.