Lontar.ID – Nabila May Swetha (17) adalah siswa kelas 3 Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 11 Makassar. Ia difabel netra sejak duduk di bangku kelas 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sejak itu, hidupnya berubah. Ia harus memahami, bagaimana beraktivitas di ruang publik. Termasuk mengenali fasilitas publik yang ramah bagi difabel.
Nabila menceritakan sulitnya mengakses layanan publik di Makassar. Meski Pemerintah Kota Makassar sudah membangun sarana trotoar bagi pejalan kaki, termasuk guiding block bagi difabel netra dan pemakai kursi roda di beberapa titik , di antaranya di jalan Penghibur dan jalan Jenderal Sudirman.
“Tidak tahu itu berfungsi untuk apa. Ada guiding block, tapi di tengah-tengahnya ada pohon. Jadi itu untuk apa? Ada guiding block trus kita tabrak pohon. Jadi guiding block hanya jadi hiasan,” ujar Nabila di Makassar, September 2020 lalu.
Hal yang sama dirasakan Abdul Rahman. Difabel netra ini mengaku pernah menjadi korban pembangunan drainase yang tidak mempertimbangkan akses bagi difabel.“Saya pulang sekolah, ada pengerjaan penutupan drainase dan tidak tertutup dengan rapat. Dan saya jatuh turun ke bawah. Bergelantung. Karena tidak adanya guiding block simbol kuning yang membantu saya untuk berjalan,” ujar Rahman.
“Saya juga kadang kaget kalau jalan sendiri, tiba-tiba ada pohon di depanku. Karena saya memperhatikan jalur kuning itu untuk memandu. Tetapi sewaktu ada pohon, tidak ada penanda bahwa ada pohon di depan. Dan itu banyak sekali kalau di Makassar,” ujarnya menambahkan.
Layanan publik tak ramah difabel tidak hanya dirasakan di jalan, namun juga pada layanan kesehatan. “Kalau ke puskesmas atau rumah sakit tidak terlalu akses juga, tidak ada akses untuk teman-teman. Bahkan masih banyak rumah sakit yang bertangga-tangga. Padahal, kursi roda tidak bisa lewat di situ,” ujar Nabila.
“Kayak kamar mandi tidak akses buat teman-teman pengguna kursi roda. Tidak ada guiding blok. Jadi otomatis kalau kita mau ke tempat pelayanan kesehatan harus ditemani sama keluarga atau teman,” ujarnya menambahkan.
Di sektor layanan publik angkutan umum di Kota Makassar juga dirasakan belum akses bagi difabel. Rahman mengatakan, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan sudah membantu sejumlah fasilitas angkutan umum DAMRI di Kota Makassar, namun terkesan dibangun tanpa perencanaan yang matang.
“Aksesibilitas angkutan umum tidak ada sama sekali sampai saat ini. Walaupun ada bantuan angkutan DAMRI dari Kementerian Perhubungan, tapi penempatan haltenya amburadul. Kadang halte tersebut ditempatkan di atas got atau di samping got dan tidak ada pembatas,” ujar Rahman.
Bagi pengguna kursi roda juga sangat sulit mengakses halte. “Kendalanya kalau masalah mobilitas. Rata-rata semua transportasi tidak akses. Untuk teman-teman pengguna kursi roda, kan mereka harus diangkat lagi kalau mau naik halte,” ujar Nabila menambahkan.
Lemahnya Perencanaan Pembangunan
Halte bus rapid transit (BRT) Mamminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa, Takalar) adalah salah satu proyek nasional untuk meningkatkan layanan publik di bidang transportasi. Sayangnya, proyek yang menelan anggaran puluhan miliar rupiah ini tidak berfungsi maksimal. Bahkan sudah rusak sebelum digunakan.
Berdasarkan data RAPBN 2014, proyek BRT ini merupakan arahan presiden yang dijabarkan dalam surat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas kepada Wakil Presiden Republik Indonesia Nomor: 0242/M.PPN/07/2013 tertanggal 31 Juli 2013 perihal Pemanfaatan Ruang Gerak Fiskal RAPBN 2014.
Surat itu berisi pembangunan angkutan umum BRT di 6 kota besar, dengan alokasi anggaran sebesar Rp. 382 miliar. Salah satunya di Mamminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa, Takalar). Proyek BRT Mamminasata ini telan anggaran Rp53 miliar sudah termasuk penyediaan 30 unit bus.
Anggota DPRD Sulawesi Selatan Irfan AB menilai, pembangunan ini pemborosan anggaran. Seharusnya fasilitas yang sudah ada difungsikan sesuai perencanaan awal untuk peningkatan pelayanan publik di bidang transportasi. “Ini kegagalan dan lemahnya proses perencanaan pembangunan,” ujar Irfan beberapa waktu lalu.
Irfan mengatakan, salah satu hal yang perlu dipikirkan dalam perencanaan fasilitas publik adalah mempertimbangkan aksesibilitas termasuk di dalamnya layanan terhadap disabilitas. Karena bagaimana pun mereka adalah pengguna fasilitas publik. Jadi harus ada affimative action (tindakan afirmatif) untuk kaum disabilitas. “Jadi harus menambah fasilitas yang bisa ramah terhadap disabilitas.”
Partisipasi Difabel
Pemerintah Kota Makassar mengklaim memiliki komitmen untuk memperhatikan penyandang disabilitas melalui konsep kesamaan hak dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas. Sayangnya, perda ini belum berjalan maksimal.
Hasil penelitian yang dilakukan Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) Sulawesi Selatan menunjukkan, tidak ada sinkronisasi pembangunan antara pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan pemerintah Kota Makassar.
“Jadi aksesibilitas pembangunan di Sulawesi Selatan atau Kota Makassar itu masih amburadul. Tidak ada koordinasi yang terjalin antara stakeholder itu. Masih ada keegoisan yang terjadi,” ujar Direktur PerDIK, Abdul Rahman.
Untuk menuju kota inklusi di Kota Makassar, kata Rahman, syarat utama adalah keterlibatan difabel dalam Musrenbang, mulai di tingkat RT/RW, Kelurahan hingga Kecamatan. Juga mendorong penganggaran yang berpihak kepada kelompok rentan khususnya difabel.
“Kalau memang RT/RW tahu bahwa di wilayahnya ada difabel. Kita harus dilibatkan dalam proses Musrenbang tersebut. Kita juga harus dengarkan suara mereka. Berarti itu suatu perubahan model pola pikir yang membuat RT/RW itu kota kita bakal inklusi,” ujarnya menambahkan.
Ishak Salim, seorang peneliti dari PerDIK Sulawesi Selatan yang aktif mengadvokasi kelompok Difabel di Makassar mengungkapkan, tradisi di kota Makassar untuk perencanaan pembangunan yang melibatkan difabel itu belum berjalan. Menurut Ishak, partisipasi dalam proses perencanaan belum berlangsung secara sistematik. Prosesnya, kelompok difabel baru memaksakan diri untuk hadir.
“PerDIK tidak pernah diundang untuk hadir (proses perencanaan). Yang ada, kami pernah memaksakan diri untuk hadir ke satu pertemuan pemerintah kota Makassar yang terkait dengan isu disabilitas. Dan kami dimungkinkan untuk hadir,” ujar Ishak.
Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sudah mengatur soal partisipasi difabel. Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2019 juga mengatur partisipasi difabel dalam mulai perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi. “Tapi faktanya, tidak pernah melibatkan difabel,” ujarnya.
Menurut Ishak Salim, kebijakan berbasis riset di Makassar tidak familier. Misalnya, kebijakan pembangunan sarana transportasi yang aksesibel, harus membuat kajian atau melihat hasil riset. Itu belum dilakukan.Selama ini, untuk aksesibilitas pembangunan infrastruktur dinilai masih bersifat parsial atau dilakukan per sektor. Pembangunan hanya di titik tertentu, kemudian kualitasnya sangat jauh dari memadai.
“Kita tidak melihat suatu konsep aksesibilitas saling terkoneksi dengan yang lain. Misalnya, trotoar tidak terkoneksi dengan halte. Trotoar tidak terkoneksi dengan jalannya sendiri. Kalau ada guiding block dibuat, dia akan bertabrakan dengan halte atau pedagang kaki lima yang resmi bisa jualan di suatu tempat. Di situlah sering terjadi tidak terkoneksi begitu.”
Fasilitas Publik yang Inklusi
Penjabat Wali Kota Makassar Rudy Djamaluddin mengakui, fasilitas publik di Kota Makassar masih banyak yang belum ramah difabel. “Saya kira benar ya. Karena memang beberapa fasilitas kita masih belum memenuhi standar difabel tersebut. Kita lihat pedestrian-pedestrian kita, kemudian sarana-sarana umum kita,” ujarnya.
Rudi mencontohkan layanan publik di kawasan wisata Pantai Losari yang menjadi ikon Kota Makassar juga belum ramah, terutama kepada pengguna kursi roda. “Coba lihat toilet di Pantai Losari, bagaimana kira-kira kalau kursi roda mau buang air,” ujarnya menambahkan.
Untuk mewujudkan Kota Makassar sebagai kota wisata. Rudi menekankan pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik harus memperhitungkan kelompok rentan, termasuk disabilitas. “Kalau kita ingin mengantarkan Makassar ini sebagai kota wisata, harus fasilitas infrastruktur buat teman-teman kita yang difabel itu harus diperhitungkan. Mulai dari pedestrian dan sarana fasilitas umum.”
Menurut Rudi, proses perencanaan pembangunan di Kota Makassar tahun ini memprioritaskan kelompok rentan, termasuk disabilitas. Semua perencanaan harus memperhatikan hak-hak disabilitas, termasuk dalam perencanaan pembangunan fasilitas umum. “Sekarang kan menjadi prioritas, difabel kita perhatikan,” katanya berjanji.
Meski begitu, Rudi mengaku dalam proses perencanaan pembangunan yang ramah disabilitas belum berbasis riset. Rudi meminta dalam pembangunan tetap mematuhi standar yang sudah diatur dalam Permen PUPR. “Tidak perlu riset. Dalam pembangunan infrastruktur ramah difabel ada kok standar-standarnya.”
RTBL Makassar untuk Memenuhi Hak Difabel
Ahli tata kota dari Universitas Hasanuddin Makassar Prof Ananta Yudono menilai, buruknya aksesibilitas layanan publik di Kota Makassar karena Pemkot belum memiliki rancangan detail, dan hanya memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
“Makassar baru punya rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang sifatnya umum dengan skala peta 1:50000, sehingga belum sampai ke perancangan mendetail ruang publik dan jalur pedestrian seperti trotoar termasuk fasilitas kelompok difabel,” ujarnya.
Menurut Ananta, hak kelompok difabel akan terpenuhi pada rencana tata bangunan dan lingkungan (RTBL) yang petanya skala 1:1000. Makassar belum punya RTBL, bahkan rencana detail tata ruang (RDTR) yang skala petanya 1:5000 pun belum punya.
Untuk itu, sangat penting melakukan riset sebelum menyusun perencanaan pembangunan infrastruktur, selain berpedoman pada standar dan prosedur yang diatur dalam Permen PUPR. “Riset penting sekali. Pedoman penyusunan RTRW Kota, RDTR dan RTBL sudah memadai. Masalahnya Makassar baru punya RTRW belum punya RDTR apalagi RTBL,” ujarnya.
Penyusunan RAD Berbasis Riset
Guna mengakomodir kepentingan difabel, Pemerintah Kota Makassar membentuk Komisi Daerah Disabilitas (KDD) untuk memantau kegiatan-kegiatan yang terkait dengan proses perencanaan pembangunan yang ramah bagi semua termasuk infrastruktur.
Data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Makassar tahun 2020, tercatat jumlah penduduk Disabilitas kurang lebih 900 jiwa dari jumlah penduduk Kota Makassar sebanyak 1.484.912 jiwa. Data ini belum mencerminkan jumlah penduduk disabilitas di Kota Makassar.
Pemerintah Kota Makassar melalui Kepala Bappeda Kota Makassar dr. Andi Hadijah Iriani mengatakan, sementara ini pemerintah Kota Makassar sedang fokus untuk penanganan infrastruktur yang ramah difabel yang dimasukkan dalam perencanaan tahun depan.
“Rencana Aksi Daerah (RAD) khusus Disabilitas belum ada. Kami baru bentuk Komisi Daerah Disabilitas sebagai acuan pembentukan RAD-nya. Jadi tahun depan rencana pelaksanaan penyusunan RAD Disabilitas, karena hampir seluruh kegiatan tidak bisa berjalan dengan normal, anggaran dialihkan ke Covid,” ujar Hadijah.
Selama ini, Pemerintah Kota Makassar dalam menyusun perencanaan pembangunan yang ramah terhadap disabilitas belum ada riset. Itu baru dibuat rencana tahun depan. Selama ini, kebijakan pembangunan yang ramah disabilitas hanya mengacu kepada SDGs dan RAD HAM.
“Kita sudah melaksanakan SDGs. Komitmennya itu tidak ada yang tertinggal dalam pembangunan, termasuk melibatkan teman-teman difabel dalam menyusun RAD. Dan pemerintah kota Makassar akan melakukan evaluasi dan diharapkan seluruh SKPD untuk mengakomodir kegiatan atau usulan teman-teman difabel dalam proses pembangunan,” terangnya.
Untuk mendukung proses perencanaan pembangunan Kota Makassar, Koalisi Disabilitas/Difabel Makassar sudah menyerahkan hasil survei ke pemerintah Kota Makassar melalui Bappeda Kota Makassar. Hasil survei itu meminta poin-poin usulan terkait keberpihakan kepada difabel dalam proses perencanaan pembangunan.
“Usulan kami cukup direspons bagus Bappeda Makassar dan itu sudah masuk dalam perencanaan pada tahun 2021. Karena Makassar menyusun perencanaan pembangunan jangka panjang, jadi momen itu cukup tepat kita masuk untuk mengusulkan pembangunan di Makassar yang berbasis inklusif tersebut,” ujar Direktur PerDIK Sulawesi Selatan, Abdul Rahman.
Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulawesi Selatan, Maria Un mengatakan, perlu mengapresiasi langkah-langkah positif yang sudah mulai dilakukan oleh pemerintah Kota Makassar melalui Dinas Pekerjaan Umum (PU) dalam pembangunan layanan publik seperti pembangunan trotoar atau pedestrian.
Meski demikian, masyarakat khususnya organisasi disabilitas tetap harus memberikan masukan, karena pembangunan yang ada saat ini tidak merujuk Permen PUPR. “Jadi ukurannya, termasuk dalam pewarnaan, itu semua diatur dalam kebijakan. Tapi itu belum diimplementasikan atau diterapkan dengan baik. Sehingga dilain sisi pemerintah kota menjadikan kota Makassar ini secara perlahan menjadi kota yang inklusif, kota yang ramah bagi semua. Tetapi di lain pihak juga pemahaman kebijakan yang ada itu masih sangat kurang sehingga dalam implementasi kemudian mengurangi tujuan atau nilai dari ketersediaan aksesibilitas,” ujar Maria.
Maria Un menilai, dalam penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) Disabilitas di Kota Makassar harus melibatkan penyandang disabilitas. Tidak hanya sebatas justifikasi bahwa ada pelibatan. Tetapi, memberikan ruang dan kesempatan lebih banyak bagi mereka untuk berbicara dan menyampaikan usulan. Juga melakukan prmantauan apakah usulan-usulan yang mereka berikan diakomodir yang dituangkan dalam rencana aksi daerah untuk disabilitas.
“Ketika kita berbicara tentang disabilitas, pengalaman disabilitas itu menjadi data yang sangat kuat di atas data riset. Itu yang perlu dipahami. Pengalaman mereka itu menjadi data yang sangat kuat, sehingga usulan-usulan di dalam RAD itu berbasiskan pengalaman.”
Penulis: Nurdin Amir (Makassar)