Lontar.id – Kebebasan pers di era pemerintahan Jokowi masih sebatas wacana dan jadi komoditas politik. Padahal kerja-kerja jurnalistik merupakan salah satu pintu terbukanya keran demokrasi.
Kasus kekerasan terhadap jurnalis belakangan ini masih belum menunjukkan ada political will dari pemerintah. Utamanya kepada jurnalis yang melakukan reportase konflik di lapangan.
Mereka kerap mendapatkan intimidasi dari pihak aparat keamanan, merampas kamera lalu menghapus foto kejadian, ancaman hingga jurnalis mendapatkan kekerasan fisik.
Sekretaris Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Revolusi Riza mencatat, pasca reformasi, ruang kebebasan pers masih belum baik.
Di era pemerintahan Jokowi misalnya, ada beberapa kasus saat aparat memperlakukan jurnalis sebagai objek kekerasan. Seperti saat kerusuhan di Bawaslu pada 21-22 Mei lalu, setidaknya Aji mencatat terdapat 20 jurnalis sebagia korban.
Kemudian, ada beberapa korban pada aksi mahasiswa bertajuk Reformasi Dikorupsi yang menolak pengesahan Undang-Undang KPK dan RKUHP di Gedung DPR. Pada peristiwa itu terdapat 14 jurnalis mendapatkan perlakuan kekerasan.
Menurut Revolusi Riza, para pelaku kekerasan jurnalis utamanya dari pihak keamanan atau polisi. Mereka merusak kamera jurnalis bahkan mengambil paksa dan menghapus sejumlah foto peristiwa saat itu.
“Kerusuahn di Bawaslu, AJI Jakarta mencatat ada 20 jurnalis yang mendapatkan kekerasan, menghapus foto, dipukul sampai dirampas kameranya. Aksi tolak UU KPK dan RKUHP ada 14 orang merasakan tindak kekerasan dan di pukul. Paling banyak melakukannya adalah polisi, ini catatan paling buruk setelah reformasi,” kata Revolusi Riza saat diskusi Media dan HAM di Gedung KomnasHAM, Jakarta, Jumat (13/12/2019).
Berdasarkan hasil riset, Reporter Without Border, mencatat beberapa negara dengan tingkat kebebasan pers mulai yang terbaik hingga yang paling parah. Indonesia menempati posisi terburuk yaitu 124, kemudian disusul oleh Filipina pada angka 134. Sedangkan negara bekas koloni Indonesia, Timur Leste berada di peringkat 84 lalu negara dengan kebebasan pers terbaik dipegang oleh Norwegia dan disusul Finlandia pada posisi 2 dan Swedia pada posisi 3.
“Kenapa kebebasan pers di Indonesia rendah, karena tingkat kekerasan terhadap jurnalis masih tinggi. Bagaimana jurnalis bekerja tanpa ada rasa takut dalam melaksanakan tugas sementara kasus kekerasan masih terjadi,” ujarnya.
Pelecehan Seksual
Selain para jurnalis yang merasakan kekerasan fisik saat reportase di lapangan, terdapat juga beberapa kasus pelecehan seksual utamanya jurnalis perempuan.
Revolusi Riza mengatakan ada banyak kendala saat menangani kasus pelecehan seksual karena sifatnya sangat sensitif dan menyangkut langsung pada korban.
Menurut dia, beberapa korban pelecehan seksual masih enggan melaporkan karena khawatir diekspose besar-besaran dan berakibat fatal pada dirinya. Sehingga mereka memilih untuk mendiamkan kasus tersebut.
“Kasus pelecehan seksual (jurnalis) kasus yang sensitif, agak susah bahkan korban tidak melaporkan. Tidak bisa diungkap secara gamblang. Beberapa kasus yang tidak diungkap secara besar, karena melindungi korban. Penyelesaiaanya lebih hati-hati agar tidak diekspose,” imbuhnya.
Editor: Ais Al-Jum’ah