Jakarta, Lontar.id – Tak ada yang menyangkal, bahwa penduduk Indonesia mayoritas dari kalangan agama Islam, sisanya terbagi pada empat agama lain seperti agama Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu.
Namun menariknya, pemilih dari kalangan muslim, secara politik tidak merata memilih ke partai yang mengusung jargon Islam sebagai basis ideologi politiknya.
Padahal, jika jumlah mayoritas kalangan muslim memilih partai-partai Islam, sudah barang tentu setiap pemilihan eksekutif maupun legislatif, akan dimenangkan oleh partai Islam.
Kalau ditelisik jauh kebelakang pasca reformasi 1998, setelah Presiden Soeharto Tumbang. Pemilu diselenggarakan pada 1999 dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) berhasil sebagai partai pemenang pemilu, dengan presentasi 33 persen.
Namun karena pemilihan presiden dipilih melalui sidang umum oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Amien Rais membentuk poros tengah, membangun koalisi partai Islam seperti PKB, PK (sekarang PKS), PPP, PAN dan PBB. Akhirnya Abdurrahman Wahid (Gusdur) terpilih sebagai presiden dan Megawati Soekarno Putri sebagai wakil presiden.
Pemilu selanjutnya pada 2004-2009 Partai Demokrat berhasil menang berturut-turut dua periode, di mana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden. Lalu pada pemilu 2014 PDIP keluar sebagai partai pemenang pemilu dan Jokowi sebagai presiden.
Kini memasuki pemilu 2019, partai-partai Islam belum juga mendapatkan dukungan mayoritas dari kalangan muslim, bahkan mereka hanya bisa puas sebagai partai pengusung berkoalisi dengan Partai Gerindra dan PDIP.
Apa yang menjadi penyebab partai Islam tidak mendapatkan dukungan besar dari kalangan muslim? Apakah karena pengurus partai ini tidak merepresentasikan kelompok muslim yang berjuang di bawah panji Islam, programnya belum sepenuhnya berpihak ataukah partai Islam dengan partai nasionalis sama saja?
Ketidakpercayaan kalangan muslim terhadap partai Islam, bisa saja muncul seperti pertanyaan diatas. Selain dari itu, dalam konstelasi politik di republik ini, transaksi politik, money politic dan saling jegal-menjegal satu sama lain, sudah bukan barang yang sulit ditemukan dari perilaku politisi saat ini.
Perebutan suara konstituen, memaksa politisi menggunakan cara bagi-bagi uang atau istilah populernya serangan fajar sebelum berangkat memilih ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Belum lagi mereka yang merepresentasikan suara rakyat di parlemen, hanya pada momentum politik saja mereka datang berkunjung, setelah itu tidak pernah muncul lagi.
Hal ini yang membuat perilaku pemilih termasuk pemilih muslim, enggan memberikan hak suara pada partai Islam, kecuali mau ditukar dengan uang.
Survei Partai Islam
Sekitar dua bulan kedepan, kita akan memasuki musim politik, yaitu pemilihan presiden dan anggota legislatif yang diselenggarakan secara serentak pada 17 April 2019 mendatang.
Dua calon presiden yang muncul yaitu Joko Widodo-Maruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, masing-masing diusung oleh PDIP dan Gerindra.
Berdasarkan data Lingakaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, menemukan fakta, partai Islam masih stagnan dan cenderung jauh di bawah partai nasionalis lainnya. Kecuali PKB yang mendekati angka 10 persen yang mampu mengimbangi partai nasionalis lainnya. Sementara PPP, PKS, PBB, dan PAN berada di bawah 5 persen.
Sementara Partai PDIP berada di urutan paling atas dengan presentase 18,4 persen mendapatkan suara pemilih muslim, di posisi kedua dari Partai Gerindra mendapatkan 16,6 persen dan Golkar 11,0 persen.
Meski hasil survei tidak sepenuhnya dapat dijadikan sebagai patokan, karena pemilu masih dua bulan lagi akan diselenggarakan. Tetapi berdasarkan data tersebut kita bisa melihat partai-partai Islam belumlah mendapatkan dukungan mayoritas muslim.
Apa yang perlu dilakukan partai Islam agar mendapatkan kepercayaan, di tengah polarisasi pemilih? Menurut saya, Partai Islam perlu melakukan terobosan besar untuk menegaskan kembali identitas Islam sebagai ideologi politiknya. Tentu saja membuat program dan solusi terkait masalah yang disuarakan kelompok-kelompok ormas Islam selama ini.
Selain membuat program yang bersentuhan langsung dengan kalangan pemilih muslim, partai Islam juga tidak mengesampingkan pemilih non muslim meski jumlahnya tidak terlalu besar seperti pemilih muslim.
Inilah pekerjaan rumah bagi partai Islam, agar mendapatkan kembali pemilihnya pada setiap momentum politik dan tidak sekadar menjadi partai yang melingkar di partai nasionalis.