Lontar.id – Tren berhaji orang-orang Indonesia setiap tahunnya semakin meningkat. Haji yang dulunya identik dengan orang tua, kini menyasar generasi milenial. Itu membuktikan jika praktik berhaji semakin mudah dilakukan.
Lonjakan jumlah jamaah haji di Indonesia dimulai pada awal abad 20. Tika Ramadhini, seorang mahasiswi doctoral di Zentrum Moderner Orient, Berlin yang sedang melakukan riset tentang perempuan dan haji pada masa kolonial mengatakan jika sejak adanya ide Snouck Hurgronje yang tidak lagi membatasi jumlah orang yang berangkat haji seperti ordonansi sebelumnya membawa perubahan yang besar.
“Ide Snouck untuk melihat praktik ibadah sebagai murni ibadah bukan selalu muatan politis diterapkan di pengorganisasian haji walaupun kontrol dan fungsi pengawasan di konsulat Jedah juga terus berjalan.” Ungkap Tika kepada Lontar.id.
Menurutnya, konsulat Jedah selalu membuat laporan setiap tahunnya tentang kodisi jamaah haji di sana, termasuk juga laporan dalam tema-tema khusus. Seperti keadaan pelajar di Makkah .
Aktivitas-aktivitas yang dianggap mencurigakan serta jumlah orang dari nusantara tidak pernah luput dari pantauan. Kontrol terhadap jamaah haji menjadi pekerjaan khusus bagi pemerintah Hindia Belanda waktu itu. Pihaknya khawatir jika muncul jamaah haji yang politis dan bisa membangkitkan nasionalisme seperti orang yang berhaji sebelumnya.
Sejak saat itu, jumlah orang yang ingin berhaji meningkat gila-gilaan. Aturan yang dibuat Snouck agaknya berhasil dan memberikan pengaruh sampai hari ini, sampai kemerdekaan Indonesia telah dikantongi.
Baca Juga: Menelusuri Perjalanan Haji di Nusantara dari Masa Ke Masa
Demi menertibkan para calon jamaah haji kelak di Arab Saudi, pemerintah pun membuat regulasi baru dengan tidak memberikan izin semua calon jamaah haji yang telah membayar tahun itu, dengan kata lain ada yang disebut dafar tunggu.
Orang-orang rela menunggu 5 tahun bahkan sampai 20 tahun agar bisa menginjakkan kaki di tanah suci, Makkah. Memang, kesakralan tempat itu sebagai tempat beribadah dan menemukan “jalan ilahi” sangat kuat, terutama bagi orang-orang Indonesia.
Menurut Tika, ada beberapa hal memang yang membuat jumlah jamaah berkurang, walapun trennya masih meningkat. Misalnya pada tahun 1915-1916, pemerintah Indonesia tidak menganjurkan rakyatnya berangkat karena sedang terjadi perang di Saudi.
Ada hipotesis menarik yang diberikan oleh Tika mengenai peningkatan jumlah jamaah haji sampai hari ini. Menurutnya fenomena berhaji yang semakin mudah dilakukan sebenarnya membuat ibadah haji menjadi kurang sakral.
“Peningkatan jumlah jamaah ini juga sebenarnya dianggap membantu membuat gelar haji atau orang-orang yang kembali dari ibadah haji jadi less mystical, less powerful. Karena sekarang lebih mudah dan lebih banyak orang bisa pergi haji dibanding dulu yang bikin mereka dianggap punya power lebih atau sakti balik ke tanah air,” tandasnya.
Perubahan peristiwa berhaji orang-orang dulu dan sekarang sangat besar dan secara langsung memengaruhi budaya masyarakat Indonesia. Berhaji pada waktu lampau memerlukan energi dan persiapan yang besar. Orang-orang harus rela menempuh perjalanan berbulan-bulan di atas kapal. Karena pengorbanan yang besar, banyak yang ke tanah suci tidak sekadar memiliki maksud berhaji, tapi karena ingin menuntut ilmu atau meninggal di tanah suci.
Alasan-alasan tersebut yang membuat orang-orang dulu sepulang berhaji mejadi sakti. Beberapa perang melawan Belanda banyak digaungkan oleh mereka yang telah dari beribadah haji. Hari ini, alih-alih menjadikan haji sebagai lahan ibadah, dana haji justru dikorupsi.